Menuju konten utama

Jamuan Keberagaman dalam Tradisi Imlek di Pecinan Semarang

Tuk Panjang memiliki semangat merajut keberagaman untuk menyambut Tahun Baru Imlek 2575 Kongzili.

Jamuan Keberagaman dalam Tradisi Imlek di Pecinan Semarang
tamu undangan menikmati hidangan tuk panjang di Pecinan Semarang.Foto/Baihaqi Annizar

tirto.id - Jamuan makan malam sudah siap disajikan di atas meja panjang merah. Terdapat 38 meja dengan 152 kursi berjejer di Gang Warung, Pecinan Semarang, Jawa Tengah, Kamis (8/2/2024) malam.

Berbagai hidangan menarik disuguhkan kepada para tamu. Jamuan istimewa ini bisa dinikmati untuk menyambut Tuk Panjang.

Ini merupakan bagian perayaan tahun baru Imlek di Kota Semarang, Jawa Tengah. Tradisi Tuk Panjang yang diberikan warga Tionghoa Pecinan Semarang kepada masyarakat luar pecinan.

Imlek Pecinan Semarang

tamu undangan menikmati hidangan tuk panjang di Pecinan Semarang.Foto/Baihaqi Annizar

Perjamuan ini sebagai wujud akulturasi budaya serta menunjukkan toleransi antar etnis dan antar umat beragama sekaligus untuk menyambut Tahun Baru Imlek 2575 Kongzili.

Tuk Panjang menyuguhkan berbagai menu hidangan pembuka, hidangan utama dan hidangan penutup. Makanan yang disajikan pun syarat makna.

Lumpia khas Semarang, kue keranjang, dan kue ganjel rel buatan warga Kampung Arab Kauman menjadi makanan pembuka. Kemudian, hidangan utama yaitu nasi hainan, pek cam kee, ayam rebus putih yang merupakan masakan campuran Hokkien, Cantonis, dan Sichuan.

Ada pula sup lobak putih sebagai simbol keberuntungan. Serta tujuh sayur hijau yang masing-masing melambangkan kesehatan hingga keberlimpahan.

Kemudian, sebagai hidangan penutup ada gui ling gao, jeli berwarna hitam yang terbuat dari ekstrak tempurung penyu dan berbagai campuran herbal. Para tamu pun dihibur dengan berbagai pertunjukan seperti atraksi barongsai dan naga liong, hingga pagelaran musik tradisional.

Penari bian lian

Penari bian lian sedang atraksi berganti topeng. Foto/Baihaqi Annizar

Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata, Harjanto Halim, menuturkan, Tuk Panjang memiliki semangat merajut keberagaman. Selain warga Pecinan, pihaknya mengundang tokoh lintas agama, masyarakat, hingga pejabat. Halim juga berharap agar kemeriahan Imlek dan hari raya agama lain bisa dirasakan banyak orang agar lebih bermanfaat.

"Jadi, inti Imlek itu makan malam bersama, menjaga kerukunan, keharmonisan, dan kedamaian di dalam keluarga besar," ungkap Harjanto Halim saat berbincang dengan Tirto.

Ratna salah satu tamu yang ikut jamuan terlihat sangat antusias. Walaupun tidak merayakan Imlek tetapi dia menilai, Tuk Panjang memiliki simbol keberagaman.

"Di sini kami dari berbagai latar belakang, membaur jadi satu, makan bersama dalam meja panjang. Tersirat makna luar biasa. Simbol keberagaman begitu melekat," kata Ratna.

Trenggono yang merupakan umat Katolik juga menilai tradisi yang digelar di Pecinan Semarang menjadi wadah mempererat persaudaraan tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, maupun antar-golongan. Dia menuturkan, Tuk Panjang mirip dengan Kenduri dalam masyarakat Jawa.

"Saat makan bersama, kenduri maupun tuk panjang tidak melihat kasta. Tradisi-tradisi seperti ini baik untuk kelangsungan keberagaman di Kota Semarang," ucap Trenggono.

Imlek Pecinan Semarang

Pedagang Pasar Imlek Semawis melayani pembeli.Foto/Baihaqi Annizar

Jamuan Tuk Panjang ini juga menjadi tanda dibukanya Pasar Imlek Semawis 2575 di 2024. Pasar ini akan digelar selama tiga hari. Terlihat di sepanjang Gang Warung, Kawasan Pecinan Semarang dipenuhi lapak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Suasana pasar disulap seperti Negeri Tirai Bambu yang dihiasi gemerlap lampion. Lapak makanan khas Imlek mulai dari yang halal hingga non-halal seperti aneka olahan babi pun ada di sana.

Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi

Peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Tedi Kholiludin, bercerita, dalam sejarahnya, Komunitas Pecinan Semarang untuk pariwisata pernah mengkhawatirkan munculnya sentimen Tionghoa saat awal membuka Pasar Semawis.

Namun, setelah pasar dibuka, kekhawatiran itu tidak terbukti. Acara di Pecinan Semarang ini justru menjadi civic space atau ruang sipil untuk perjumpaan orang-orang dari berbagai latar belakang.

"Kita tahu Imlek merupakan perayaan tahun baru orang Tionghoa, tapi Pasar Imlek Semawis ini akhirnya bisa jadi ruang terbuka yang diikuti banyak orang," ujar Tedi.

Dosen Universitas Wahid Hasyim Semarang (Unwahas), menuturkan rangkaian perayaan Imlek kini menjadi ikon budaya Kota Semarang. Bahkan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Imlek Pecinan Semarang

tamu undangan menikmati hidangan tuk panjang di Pecinan Semaran. Foto/Baihaqi Annizar

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Semarang, R. Wing Wiyarso Poespojoedho, melihat, tradisi di pecinan, merupakan simbol toleransi. Dia menuturkan, masyarakat yang tidak terlibat tidak hanya kalangan Tionghoa tetapi juga etnis lain seperti Jawa hingga Arab.

"Acara ini menunjukkan kerukunan antar-umat beragama. Masyarakat yang terlibat tidak hanya kalangan Tionghoa, tapi juga ada etnis Jawa, Arab, dan lain sebagainya," paparnya.

Toleransi dan akulturasi budaya menjadi kekuatan Kota Semarang. Dia berharap kerukunan masyarakat ini bisa terus dijaga sehingga memperkuat predikat kota toleran.

Berdasarkan Indeks Kota Toleran (IKT) 2023 yang diteliti Setara Institute, Kota Semarang dinobatkan sebagai kota toleran peringkat kelima se-Indonesia setelah Kota Singkawang, Bekasi, Salatiga, dan Manado.

IKT 2023 di Ibu Kota Jawa Tengah ini mengalami kenaikan dari tahun 2022 yang masuk peringkat ketujuh. Sementara pada 2021, menduduki peringkat 12 dari total 91 kota yang ada di Indonesia.

Dalam konteks yang lebih luas, kerukunan umat beragama di Jawa Tengah memang cukup baik dan terus menunjukkan tren positif dari tahun ke tahun, merujuk pada hasil survei Badan Litbang dan Diklat Kemenag.

Menurut survei, Indeks Kerukunan Umat Beragama di Jawa Tengah tahun 2023 masuk kategori tinggi dengan rerata indeks 77,90. Nilai tersebut mengalami kenaikan daripada dua tahun sebelumnya yang berturut-turut reratanya 70,28 dan 74,28.

Baca juga artikel terkait IMLEK 2024 atau tulisan lainnya dari Baihaqi Annizar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Baihaqi Annizar
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Intan Umbari Prihatin