Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Mengapa Sebaiknya PDIP & Parpol Pendukung AMIN menjadi Oposisi?

Kunto menilai kehadiran oposisi kuat seperti PDIP akan menguntungkan bagi publik.

Mengapa Sebaiknya PDIP & Parpol Pendukung AMIN menjadi Oposisi?
Ilustrasi Partai Politik Peserta Pemilu. tirto.id/Ecun

tirto.id - Pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul dengan angka di atas 50 persen berdasarkan hasil hitung cepat atau quick count sejumlah lembaga survei. Kemenangan pasangan dari Koalisi Indonesia Maju ini semakin terang setelah angka real count KPU juga menunjukkan angka di atas 50 persen.

Di tengah penghitungan resmi KPU, sejumlah partai pun disebut-sebut akan merapat ke kubu 02. Salah satu yang disebut akan merapat adalah Partai Nasdem lewat pertemuan sang ketua umum Surya Paloh dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Minggu (18/2/2024).

Pertemuan tersebut mendapat sorotan publik dan tak sedikit yang mendorong agar parpol pengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD agar menjadi penyeimbang pemerintah. Sebab, tanpa opisisi, tidak ada check and balances terhadap kebijakan pemerintah.

Karena itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur, berharap partai peserta pemilu yang lolos parlemen tidak menjilat lidah dengan bergeser ke koalisi pemenang dan enggan menjadi oposisi.

“Jadi kami mengharapkan, kami mendorong, kami meminta ya, kami mendesak partai-partai yang kalah ini tidak kemudian menjadi seperti apa namanya menjilat lidah ya, kritis kemudian menyatakan pendapatnya bahwa ada kecurangan dan lain-lain, tetapi ketika sekarang ada pihak yang menang bergabung, menjilat dari orang yang menang,” kata Isnur, Senin (19/2/2024).

Isnur mengingatkan, pemerintahan Jokowi pada periode 2019-2024 sudah menunjukkan ketiadaan check and balances, di mana pelaku yang kritis hanya koalisi masyarakat sipil. Kelompok masyarakat sipil ini kritis dalam upaya penghancuran demokrasi dan pelanggaran HAM, sementara partai kurang berbunyi.

Isnut menilai oposisi semakin penting karena pemerintahan masa depan akan dipimpin Prabowo yang dinilai militeristik. Oleh karena itu, kata dia, di 2024 ini penting sekali ada kekuatan yang akan menjadi menyeimbangkan koalisi pemerintah.

“Apalagi dengan naiknya Prabowo punya pengalaman dan pendekatan militeristik, pendekatan berbasis keamanan dan pengarahan aparat, senjata, dibutuhkan oposisi yang cukup kuat, oposisi yang kemudian bisa melakukan check and balances kekuatan pemerintah,” kata Isnur.

Sebab, Isnur menilai, kepemimpinan Prabowo berpotensi akan menghambat dan melemahkan status negara hukum dan demokrasi. Oleh karena itu, perlu ada partai politik yang mampu mengontrol anggaran dan mengawal demokrasi lewat legislasi seperti lewat hak angket atau interplasi.

Karena itu, Isnur berharap agar partai yang kalah tidak bergabung ke Prabowo-Gibran, melainkan fokus menjadi oposisi. “Konsisten bersikap dan jadilah penjaga demokrasi dengan menjadi pihak oposisi atau pihak yang melakukan check and balances di tengah kecurangan ini semua,” kata Isnur.

Harus diakui, keberadaan oposisi memang minim dalam lima tahun terakhir. Mengacu pada hasil Pileg 2019, mayoritas partai di legislatif merupakan bagian dari pendukung pemerintahan Jokowi-Maruf Amin.

Setidaknya ada 7 dari 9 partai yang bergabung dengan koalisi Jokowi-Maruf, antara lain PDIP (19,33 persen); Gerindra (12,57 persen); Golkar (12,31 persen); PKB (9,69 persen); NasDem (9,05 persen); PAN (6,84 persen); dan PPP (4,52 persen). Jika ditotal, maka koalisi pemerintah di parlemen mencapai 84,02 persen.

Sedangkan parpol oposisi hanya PKS (8,21 persen) dan Demokrat (7,77 persen). Kedua parpol ini berada di luar pemerintahan, tapi suara mereka tidak optimal, sehingga selama pemerintahan kedua Jokowi terkesan tidak ada oposisi.

Dalam 5 tahun terakhir, beragam kebijakan pemerintah dinilai tidak prorakyat dan kepentingan publik. Sebut saja UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan pekerja; UU Minerba yang dinilai pro-pengusaha tambang; hingga Revisi UU KPK yang dinilai melemahkan lembaga antirasuah.

Sementara saat ini, mengutip hasil quick count sejumlah lembaga survei, Koalisi Indonesia Maju memang tidak sekuat koalisi Jokowi-Maruf. Kekuatan mereka tidak sampai 50 persen atau setengah dari kekuatan parlemen.

Mengutip data quick count dari CSIS bekerja sama dengan Cyrus Network, hanya Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PAN yang memperoleh suara melebihi ambang batas parlemen 4 persen. Golkar mengantongi 15,14 persen, Gerindra 13,91 persen, Demokrat 7,54 persen dan PAN 6,99 persen. Jika ditotal, maka angkanya sekitar 43,58 persen.

Sedangkan dua koalisi lain punya total kekuatan berbeda. AMIN misalnya punya kekuatan lebih dari 20 persen. Nasdem (9,15 persen), PKS (8,64 persen) dan PKB (10,88 persen). Jika ditotal, mereka punya kekuatan sebesar 28,67 persen. Sementara itu, kekuatan koalisi TPN Ganjar-Mahfud yang masuk parlemen hanya disokong PDIP (16,46 persen) dan PPP yang belum aman dari ambang batas 4 persen.

Akan tetapi, situasi politik kemungkinan berubah. Hal itu tidak lepas dari pertemuan Presiden Jokowi dengan Surya Paloh. Pertemuan Paloh disinyalir sebagai upaya Jokowi merangkul kubu Nasdem ke pemerintahan Prabowo-Gibran, apalagi Jokowi mengakui ingin menjadi jembatan partai-partai.

“Ini baru awal-awal, nanti kalau sudah final, nanti. Sebetulnya saya hanya menjadi jembatan, yang paling penting partai-partai,” kata Jokowi di Rumah Sakit Pusat Pertahanan Negara (RSPPN) Panglima Besar Soedirman di Bintaro, Pesanggrahan, Kota Jakarta Selatan, Senin (19/2/2024).

Meskipun ada upaya merangkul semua kekuatan, tapi PDIP sudah terbuka menyatakan kesiapan untuk menjadi oposisi. Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristiyanto, mengatakan PDIP siap menjadi oposisi pemerintah demi membangun check and balance dalam pemilu.

Hasto juga mengaku berada di luar pemerintahan adalah tugas negara. Ia pun menyinggung bagaimana PDIP menjadi parpol oposisi selama pemerintahan SBY selama dua periode, mulai 2004 hingga 2014.

“Ketika PDI Perjuangan berada di luar pemerintahan 2004 dan 2009, kami banyak diapresiasi karena peran serta meningkatkan kualitas demokrasi. Bahkan, tugas di luar pemerintahan, suatu tugas yang patriotik bagi pembelaan kepentingan rakyat itu sendiri,” kata Hasto, Rabu (14/2/2024).

Hasto mengklaim kecurangan telah terjadi dari hulu ke hilir. Hanya saja, kali ini kecurangan berhadapan dengan dua hal. Pertama, pihak yang ingin menjadikan demokrasi ini sebagai kedaulatan rakyat tanpa intervensi manapun. Kemudian, pihak yang karena ambisi kekuasaan dan ini diawali dari rekayasa hukum di Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, kata dia, selain berjuang di luar pemerintahan, PDIP akan berjuang lewat jalur partai. “Karena apa pun yang terjadi dalam dinamika politik nasional, kami punya kewajiban untuk menyampaikan apa yang terjadi kepada rakyat,” ucap Hasto.

PDIP juga berkomitmen akan berjuang bersama gerakan masyarakat sipil prodemokrasi yang saat ini jumlahnya lebih banyak dibanding pada Pemilu 2009.

“Polanya mirip, apalagi kalau dilihat begitu kaget dengan hasil quick count dengan apa yang terjadi dalam dua bulan ini karena terjadi gap, kami akan analisis,” tutup Hasto.

Di sisi lain, PKS masih berkomunikasi dengan semua partai lain. Mereka baru bisa memutuskan usai Dewan Syuro PKS menentukan sikap politik di masa depan.

Ketua DPP PKS Bidang Humas dan Koordinator Juru Bicara PKS, Ahmad Mabruri, mengaku PKS masih berkomunikasi dengan semua pimpinan partai, tetapi belum menentukan akan masuk kabinet masa depan atau tidak.

“Sistem di PKS untuk soal koalisi ditentukan oleh musayawarah majelis syura. Jadi bukan berdasarkan opini salah satu pimpinan saja,” kata Ahmad kepada reporter Tirto, Senin (19/2/2024).

Peluang Lahirnya Koalisi Gemuk

Analis politik Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, menilai peluang pembentukan koalisi gemuk seperti kepemimpinan Jokowi-Maruf Amin sangat mungkin dilakukan di era Prabowo-Gibran. Ia menilai Prabowo akan mengikuti jejak Jokowi.

“Dalam perhitungan suara resmi maka sangat mungkin dia juga akan melanjutkan gaya politik dan koalisi ala Jokowi yang sangat gemuk, akhirnya merangkul semuanya dan mungkin kita butuh oposisi yang kuat dan PDIP punya tren sebagai posisi yang kuat, paling tidak selama kepemimpinan Pak SBY 2004-2014,” kata Kunto, Senin (19/2/2024).

Kunto menilai, kehadiran oposisi kuat seperti PDIP akan menguntungkan bagi publik. Meski ada kesan sensasional dalam lima tahun ke depan, pemerintah akan menjadi lebih hati-hati. Mereka akan sadar punya kelompok non-pemerintah yang kuat.

Kunto menekankan partai menjadi oposisi memiliki keuntungan dan kerugian. Dari sisi keuntungan, partai akan bisa mengkapitalisasi suara antipemerintahan. Mereka bisa membangun kebisingan dan menjadi perhatian publik dalam isi politik. Hal itu berujung pada pemilihan di masa depan.

“Kalau kerugian, ya lebih pada kerugian bukan sebagai koalisi pemerintah yang sedang berkuasa, maka tidak memiliki pos-pos jabatan eksekutif yang itu menjadi mungkin kekuatan partai atau bensin untuk menggerakkan mesin partai,” kata Kunto.

PDIP, dalam kacamata Kunto, sangat mumpuni dan paling mungkin dalam menjadi oposisi. PDIP tidak pernah berusaha masuk ke pemerintahan yang menang dan memegang harga diri partai.

Di sisi lain, Kunto melihat rekan oposisi lain adalah PKB dan PKS. Hal ini tidak lepas posisi Nasdem yang mulai dirangkul Jokowi. Namun, semua melihat dinamika ke depan. “Kalau potensial menjadi oposisi, ya kita lihat sekarang PDIP, lalu PKS, kayaknya PKB,” kata Kunto.

Analis politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, juga menegaskan oposisi penting dalam pemerintahan. Ia mengakui pemerintahan harus kuat, tapi oposisi juga harus kuat demi mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

“Atas dasar teoritik itu, maka kebutuhan oposisi menjadi sangat penting agar ada check and balance, ada pemerintah diawasi, dipelototi, dikontrol oleh partai-partai oposisi. Cuma persoalannya apakah partai-partai yang kalah itu mau menjadi oposisi, kan, ini pertanyaan,” kata Ujang, Senin (19/2/2024).

Ujang melihat hanya PDIP yang mampu menjadi oposisi. Hal ini tidak lepas dari posisi PDIP yang mampu melawan pemerintahan orde baru dan konsisten mengkritik pemerintahan SBY. Akan tetapi, Ujang pesimistis partai lain bisa seperti PDIP.

“Artinya DNA PDIP itu pernah dalam oposisi, pernah menjadi partai oposisi dan itu sudah biasa, sudah punya daya tahan yang kuat untuk menjadi oposisi. Sebab persoalan kalau Nasdem, PPP, PKB ini saya tidak yakin kalau mereka mau beroposisi," Ujang.

Ujang menilai, Nasdem sudah mulai mengarah tidak oposisi karena mereka sudah berkomunikasi dengan Jokowi. Ia menduga Nasdem sudah membangun komunikasi dengan Prabowo-Gibran untuk masuk pemerintahan masa depan.

Di sisi lain, kata Ujang, PKS ada di dua posisi. Mereka bisa menjadi oposisi atau bergabung ke pemerintahan. Semua tergantung situasi di masa depan.

“Kita tunggu saja. Sedang berjalan prosesnya, dinamika sedang berkembang lalu juga di politik semua mengklaim semua bisa terjadi,” kata dia.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz