tirto.id - Suara Didik terdengar serak dan pelan, tanda flu mulai meradang. Pria 26 tahun yang minta nama aslinya tidak disebut itu mengalami kelelahan dan nyeri badan, setelah menunaikan tugas menjadi anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Didik bertugas di salah satu TPS di daerah Cilodong, Kota Depok.
“Ini mulai berasa tanda kayaknya sakit sudah mulai, badan juga sakit karena seharian belum rebahan,” kata Didik dihubungi reporter Tirto, Jumat (16/2/2024).
Didik merupakan satu dari 5,7 juta petugas KPPS yang bertugas di masa Pemilu 2024. Proses pemungutan dan perhitungan suara sudah dilaksanakan, Rabu (14/2/2024). Bagi Didik, hari pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan negeri ini justru terasa seperti cambuk kerja yang tak terkira.
“Yang utama sih waktu kerjanya overtime banget, sebagai petugas KPPS masa waktu kerjanya enggak pasti begitu,” ujar Didik.
Saat hari pencoblosan, Didik sudah hadir di TPS jam 6.00 WIB pagi. Hujan mengguyur wilayah Depok hari itu sehingga dia harus hadir dengan kondisi menahan dingin. Sebab hujan pula, alhasil proses pemungutan suara di TPS tempat Didik bertugas menjadi molor.
“Bayangkan DPT saya ada 259 yang hadir [mencoblos] dan numpuk di jam siang, bagaimana mungkin petugas tidak keteteran,” terang dia.
Jika ditotal mulai dari pembukaan TPS hingga Didik bisa beristirahat di rumah, dia menyebut hampir bekerja 24 jam nonstop. Waktu istirahatnya hanya saat waktu salat dan makan saja, sisanya dia harus menjaga fokus fisik dan pikiran. Didik mengaku baru pulang ke kediamannya pada Kamis (15/2/2024) pukul 07.30 pagi.
“Petugas PPS kecamatan bahkan ada yang bilang satu orang petugas KPPS masuk ICU dan dua orang saksi meninggal. Ini entah kebenarannya di Depok, tapi ingat, saksi juga kerja di TPS lama, jadi enggak heran,” ungkap Didik.
Tak jauh berbeda dengan Didik, Muhammad Yusuf, 26 tahun, juga mengalami kelelahan setelah menjalani tugas sebagai anggota KPPS. Yusuf mengaku bekerja di TPS lebih dari 18 jam. Setelahnya, dia harus istirahat total di kasur karena kelelahan membuat badannya terasa nyeri.
“Alhamdulillah, enggak sampai sakit keras, tapi memang ini rebahan harus bedrest kayaknya badan pada sakit pegel-pegel,” kata Yusuf kepada reporter Tirto, Jumat (16/2/2024).
Pria yang bertugas di TPS daerah Tonjong, Kabupaten Bogor, ini mengaku proses menyalin hasil suara menjadi proses paling lama dan menguras tenaga. Belum lagi, dia kebagian tugas meng-upload hasil di TPS tempat dia bertugas ke aplikasi Sirekap.
“Masalahnya sampai sekarang aplikasinya down buat daerah saya, ini udah [kerja] di TPS hitungannya masih kerja lagi ya,” kata dia sambil tertawa.
Dia menyayangkan jam kerja KPPS tidak diatur detail sehingga membuat beberapa petugas kelelahan bahkan jatuh sakit. Terlebih, waktu istirahat seakan-akan harus dicari sendiri saat bekerja sehingga tak heran ada petugas yang bekerja tanpa sempat beristirahat secara maksimal.
“Kalau jam kerja enggak diatur, kasihan yang hari plus satu pencoblosan bekerja, kan? Mereka kan pekerja formal, jadi harus cuti atau libur, kan mengurangi upah itu,” terang Yusuf.
Kasus Petugas Meninggal
Pemilu 2024 masih diwarnai dengan insiden petugas KPPS meninggal dalam bertugas. Kelelahan diduga menjadi penyebab tumbangnya para garda terdepan petugas-petugas pemilu ini. Misalnya dua orang petugas Pemilu di Tasikmalaya, Jawa Barat, meninggal saat bertugas. Mereka adalah Arman Ramansyah, petugas KPPS, dan seorang sekretaris PPS bernama Fuad Kholik.
Kejadian ini juga terjadi di Desa Sibanteng, Leuwisadeng, Kabupaten Bogor. Korban bernama Sinta Maharani, seorang petugas KPPS, yang diduga meninggal karena sakit saat tengah proses perhitungan suara. Korban sempat dirawat di rumah sakit namun berujung meninggal dunia.
Ketua KPPS di Rawabinangun, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, bernama Iyos Rusli juga meninggal dunia saat hari pencoblosan. Polsek Koja mengungkapkan Iyos awalnya sedang melaksanakan tugas, namun saat menghitung surat suara, dia tiba-tiba merasa tidak enak badan dan pamit pulang. Di rumah Iyos jatuh pingsan dan saat diperiksa lebih lanjut oleh dokter sudah meninggal.
Nasib serupa juga menimpa Mastur Safua di Seram bagian Timur, Maluku. Anggota KPPS itu diduga meninggal dunia akibat kelelahan pada hari pencoblosan. Mastur sempat mengalami muntah darah saat bekerja, setelah diantar pulang dan dibawa ke rumah sakit, Mastur menghembuskan napas terakhirnya.
Maraknya laporan petugas KPPS yang bertumbangan diduga akibat kelelahan, mengingatkan masyarakat pada insiden Pemilu 2019, di mana sebanyak 894 petugas KPPS meninggal. Kejadian saat ini seakan kembali menegaskan perlunya evaluasi dalam sistem pemilu agar tidak mengorbankan nyawa untuk ajang elektoral calon pemimpin negeri.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) hingga Jumat (16/2/2024), mencatat ada 27 petugas KPPS meninggal yang dilaporkan oleh fasilitas kesehatan. Selain itu, Kemenkes juga melaporkan bahwa masih ada sekitar 15 persen petugas KPPS memiliki penyakit bawaan atau komorbid. Mereka juga menemukan adanya petugas yang berusia lebih dari 55 tahun yang tentu saja berisiko.
“Sebagian besar mereka [korban] kalau kita lihat punya penyakit jantung dan hipertensi,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, kepada reporter Tirto, Kamis (15/2/2024).
Menurut data Kemenkes yang dibagikan Nadia, ada 9 korban mengalami penyakit jantung. Selain itu, akibat kecelakaan 4 orang; syok septik 2 orang; hipertensi 1 orang; acute respiratory distress syndrome 2 orang; tanpa komorbid 2 orang; dan masih dalam konfirmasi sebanyak 9 orang.
“Koordinasi [dengan] KPU [sudah dilakukan], saat kita mengimbau untuk merekrut petugas usia di bawah 55 tahun dan diutamakan yang tidak memiliki komorbid atau kalau yang punya komorbid sudah terkontrol,” jelas Nadia.
Kelelahan Berakibat Fatal
Pengamat kesehatan sekaligus epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, menegaskan bahwa kelelahan hebat memang dapat berakibat fatal pada kesehatan bahkan berujung kematian. Beberapa faktornya antara lain, karena ritme kerja yang berat terus menerus, termasuk adanya kondisi tubuh tidak fit, ditambah memiliki komorbid atau penyakit bawaan.
“Dampak buruk kesehatan karena begadang, durasinya yang lama, ditambah lagi beban kerja ini kan bukan hanya fisik ya, mental pun sama ya bisa berdampak dan merugikan kesehatan, bisa fatal,” jelas Dicky kepada reporter Tirto, Kamis (15/2/2024).
Dicky menilai, petugas KPPS yang menjadi korban kemungkinan memiliki komorbid atau berusia sekitar 40-45 tahun. Ditambah, dampak dari infeksi COVID di masa pandemi itu menyisakan sebagian masyarakat dalam kondisi kesehatan yang semakin rapuh. Beban kerja yang berat dan menimbulkan kelelahan akhirnya menambah potensi kerawanan.
“Dan kelelahan berlebih ini sekali lagi, menjadi pencetus ya, pencetus karena di sisi lain kondisi badannya memang sudah tidak dalam kategori sehat sebetulnya. Saya yakin ya dalam pemilihan petugas ini tidak ada screening kesehatan yang cukup teliti ya dalam artian misalnya dilakukan check up, medical check up,” ujar Dicky.
Sementara itu, Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, memandang masih adanya kasus petugas KPPS yang meninggal menunjukan bahwa perlindungan hak-hak pekerja di Indonesia masih memiliki banyak persoalan. Ia memandang insiden ini sebagai ironi, mengingat petugas KPPS adalah garda terdepan untuk memastikan kelancaran proses pemilu.
“Hak pekerja dalam konteks HAM tentu harus dipahami secara luas, bukan hanya kewajiban negara untuk memberikan akses ke lapangan kerja, tapi juga hak atas kondisi kerja yang adil dan baik. Mulai dari kondisi kerja yang aman dan sehat, hingga waktu istirahat serta pembatasan jam kerja,” kata Gufron kepada reporter Tirto.
Gufron menilai, perlu ada evaluasi secara menyeluruh tidak hanya berkaitan dengan sistem dan kondisi kerja petugas KPPS, namun juga menyangkut penyelenggaraan pemilu. Banyak catatan atas permasalahan yang telah disampaikan oleh banyak kalangan, termasuk mulai dari aturan hukum dalam proses pemilu. “Evaluasi dan koreksi secara menyeluruh menjadi penting.”
Respons KPU
Komisioner KPU RI Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU, Idham Holik, mengungkapkan sejumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia saat bertugas pada 14 Februari 2024. Namun, Idham enggan menyebutkan jumlahnya. Dia meminta publik menunggu informasi resmi yang akan disampaikan oleh KPU.
"Kami memang telah mendapatkan informasi dari berbagai daerah, ada beberapa anggota KPPS yang wafat. Itu nanti secara resmi KPU akan sampaikan kepada publik. Saat ini KPU masih melakukan pendataan," kata Idham Holik di Kantor KPU RI, Kamis (15/2/2024).
Idham mengakui, para petugas KPPS meninggal imbas dari beratnya beban yang mereka emban dalam bekerja. Idham mengklaim telah berusaha mengurangi beban para petugas KPPS dengan membuat dua panel penghitungan suara.
Ia menjelaskan telah melakukan uji coba di sejumlah wilayah di Indonesia mengenai konsep penghitungan dua panel. Akan tetapi, usulan tersebut ditolak saat rapat kerja dengan DPR RI dan pemerintah.
"Tapi ternyata pada saat kami rapat konsultasi dengan pembentuk undang-undang, pembentuk undang-undang masih memandang cukup satu panel. Sebagaimana yang telah dilaksanakan pada 14 Februari 2024, persis sama dengan 2019, 17 April 2019," ujar Idham.
Dia menambahkan, santunan kepada petugas KPPS yang meninggal akan dilakukan. KPU akan berkomunikasi dengan Kementerian Keuangan terkait nominal yang akan diberikan. "Santunan akan disiapkan berdasarkan putusan menteri keuangan," tutur Idham.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz