tirto.id - Eks Dirut PT Pertamina (Persero), Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, kembali diseret ke meja hijau. Karen didakwa oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan korupsi dengan memberikan persetujuan pengembangan bisnis gas pada beberapa kilang liquiefied natural gas (LNG) potensial di Amerika Serikat tanpa ada pedoman pengadaan yang jelas.
“Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini yang melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut secara melawan hukum,” kata Jaksa KPK saat membaca dakwaan pada Senin (12/2/2024).
Selain itu, Karen dinilai tidak meminta tanggapan tertulis kepada Dewan Komisaris PT Pertamina dan persetujuan rapat umum pemegang saham sebelum penandatanganan perjanjian jual beli LNG Corpus Christi Liquefaction trains 1 dan train 2.
Karen juga dinilai memberikan kuasa kepada Yenny Andayani selaku SVP Gas and Power PT Pertamina dari 2013-2014 untuk menandatangani LNG Sales and Purchase Agreement (LNG) Corpus Christi Liquefaction Train 1 walau belum seluruh direksi menandatangani risalah rapat direksi dan tidak meminta tanggapan tertulis dari Dewan Komisaris Pertamina.
Kemudian, mewakili Pertamina dengan memberi kuasa kepada Hari Karyuliarto sebagai Direktur Gas PT Pertamina 2012-2014 untuk menandatangani LNG SPA Corpus Christi Liquefaction Train 2 berdasarkan usulan Hari Karyuliarto tanpa persetujuan direksi, tanggapan tertulis Dewan Komisaris dan RUPS serta tanpa ada pembeli LNG Corpus Christi Liquefaction yang telah diikat perjanjian.
Karen juga didakwa melakukan komunikasi dengan pihak Blackstone yang merupakan salah satu pemegang saham pada Cheniere Energy dengan tujuan mendapat jabatan dan memperoleh jabatan sebagai Senior Advisor Private Equity Group Blackstone karena Pertamina telah mengambil proyek Corpus Christi Liquefaction yang dinilai bertentangan Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang (UU) 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 92 dan 97 UU 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; sejumlah peraturan Menteri BUMN; dan pedoman maupun dokumen keputusan RUPS PT Pertamina.
Akibat perbuatan tersebut, Karen dinilai memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Jaksa meyakini Karen memperkaya diri sendiri hingga Rp1,09 miliar dan 104.016,65 dolar AS serta memperkaya korporasi Corpus Christi Liquefaction sebesar 113.839.186,60 dolar AS yang mengakibatkan Pertamina merugi hingga 113.839.186,60 dolar AS sesuai hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan atas pengadaan LNG Corpus Christi Liquefaction pada PT Pertamina.
Dalam kronologi yang disampaikan jaksa KPK, Karen disebut bekerja sama dengan Dirut PT PLN periode 2010, Dahlan Iskan, untuk menjaga permintaan dan penggunaan gas hasil regasifikasi. Pada 15 Juni 2011, Karen menjelaskan dalam rapat direksi bahwa ada masalah ketersediaan LNG domestik dan pembangunan floating storage regasification unit.
Dengan alasan keterbatasan LNG, Pertamina lewat PT Pertagas Niaga dan PLN melakukan penandatanganan perjanjian jual beli gas bumi. Pertamina lantas melakukan pengadaan LNG dari Amerika Serikat demi memenuhi ketersediaan gas dalam negeri.
Karen lantas melakukan pengadaan tanpa melakukan pedoman pelaksanaan pengadaan LNG dalam rangka pengembangan bisnis gas Pertamina serta analisis secara teknis dan ekonomis.
Dalam pengadaan LNG dari Amerika Serikat, Plt Manager LNG Commercial PT Pertamina, Ari Gardia Kemal Hakim, mengirim surat minat kebutuhan 2 milion tonesperannum (Mtpa) kepada Mitsubishi Corporation. Pertamina pun melakukan pembangunan FSRU Jawa, small scale LNG receiving terminal di kawasan timur Indonesia dan mengubah kilang Arun sebagai terminal impor untuk memenuhi kebutuhan gas 6-8 persen per tahun.
Kemudian, SPV Power and Gas Pertamina, Nanang Untung, juga mengirimkan letter of intent (LoI) kepada Cheniere Energy bahwa Pertamina ingin membeli LNG dari proyek Cheniere Energy dengan transaksi dari 1 Januari 2017-31 Januari 2036 dengan total 40 million tones atau 2 million tones per annum untuk proyek FSRU Jawa Tengah dan potensi kargo reloading Sabrine Pass atau portofolio Cheniere Energy dengan membuat master sales and purchase Cheniere Energy dengan Pertamina.
Karen juga disebut tidak melakukan pelaporan pembatalan proyek FSRU Jawa Tengah sebagaimana hasil rapat di Istana Wapres pada 13 Maret 2012. Hal itu disampaikan Menteri BUMN kala itu, Dahlan Iskan, lewat surat per 19 Maret 2012. Karen pun tidak menginfokan kepada SVP Gas and Power PT Pertamina, Nanang Untung, bahwa proyek FSRU Jawa Tengah yang dilakukan Pertamina dicoret dalam Rencana Aksi Inpres Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2012.
Pada 23 Agustus 2012, pembangunan FSRU Jawa Tengah kembali dilanjutkan, tetapi kebutuhan refinery unit dan industri Jawa Tengah tidak perlu pasokan impor karena mampu dipenuhi dalam negeri. Perbincangan mengenai Sabine Pass dan Corpus Christi Liquefaction pun dibahas pada April 2013 di Amerika Serikat antara Pertamina dengan pihak Cheniere Supply and Marketing.
Setelah perbincangan panjang, Pertamina dan pihak Corpus Christi akhirnya menandatangani SPA pembelian Corpus Christi Liquefaction train 1 dengan volume 39.680.000 MMBtu atau setara 11,3 kargo dalam waktu 20 tahun. Pertamina kemudian membeli paket train 2 dengan mengacu potensi keuntungan. Padahal, posisi Pertamina belum punya pembeli spesifik untuk LNG Corpus Christi Liquefaction.
Pada 11 Juni 2014, Karen bertemu dengan Ian Angel selaku CEO Tamarind Energy Indonesia. Karen juga dikenalkan dengan Managing Director Private Equity Group Blackstone. Blackstone merupakan salah satu pemegang saham Cheniere Energy Partners. Karen pun disebut meminta jabatan kepada Blackstone di Cheniere karena memberikan keuntungan kontrak Pertamina dengan Cheniere lewat Corpus Christi Liquefaction.
Pada 27 Juni 2014, Karen menerbitkan surat kuasa kepada Hari Karyuliarto untuk menandatangani LNG SPA Corpus Christi train 2 dalam kurun waktu 20 tahun. Hari lantas mewakili Pertamina menandatangani LNG Corpus Christi Liquefaction train 2 untuk tambahan volume sebesar 39.680.000 MMBtu selama 20 tahun dengan metode Free on Board.
Secara terpisah, Karen bertemu dengan Angelo Acconcia untuk membahas kerja sama lanjutan di masa depan. Pada 19 September 2014, Blackstone lantas mengirimkan penawaran untuk menempatkan Karen sebagai senior advisor mereka.
Jaksa KPK juga menyampaikan sejumlah keuntungan yang diperoleh seperti menerima jabatan dari Blackstone sebagai senior advisor Private Group Equity setelah Pertamina menjadi pembeli LNG Corpus Christi yang merupakan anak usaha Cheniere Energy. Ia pun menerima uang dari Blackstone sebesar Rp1,09 miliar dan 104.016.60 dolar AS selama 28 April 2015 hingga 29 Desember 2015.
Di sisi lain, aksi Karen dalam pembelian LNG Corpus Christi Liquefaction tidak menyertakan analisis, kajian perhitungan keekonomian dan belum ada pembeli untuk LNG tersebut mengakibatkan oversupply ketersediaan LNG. Oversupply tersebut lantas dijual ke perusahaan lain seperti Total, Shell, Cheniere Marketing International dan Petronas.
Karena itu, Jaksa KPK mendakwa Karen Agustiawan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Jo Pasal 18 UU 31 tahun 1999 Jo UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Respons Karena terkait Dakwaan Jaksa
Di sisi lain, Karen Agustiawan menegaskan dirinya tidak menerima uang atau janji secara pribadi dalam aksi korporasi tersebut. Karen mengatakan kebijakan pengadaan dilakukan sebagaimana perintah jabatannya saat itu. Ia pun meminta waktu dalam menanggapi hal tersebut.
“Yang mulia saya minta waktu dan sampai saat ini pun sudah untung. Yang saya tidak tahu kenapa saya duduk di sini sebagai terdakwa," kata Karen dalam sidang pembacaan dakwaan.
Kuasa hukum Karen, Luhut Pangaribuan, mengatakan mereka akan mengajukan eksepsi atas dakwaan jaksa KPK.
“Kami akan mengajukan eksepsi atau keberatan. Terdakwa juga akan mengajukan dan juga dari tim advokatnya karena itu kami minta waktu," kata Luhut dalam sidang.
Pegiat antikorupsi dari Pukat UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman, mengatakan BUMN seperti Pertamina memang bisa mengalami kerugian, keuntungan, dan impas. Namun, BUMN memiliki sebuah perlakuan spesial karena mereka tidak hanya mencari keuntungan, tapi juga memenuhi tujuan pemerintah dalam pelayanan publik.
Lantas, apakah kasus Karen benar korupsi atau kerugian negara? Sebelum berbicara hal tersebut, Zaenur meyakini ada pembeda dasar antara BUMN merugi akibat keputusan bisnis dengan BUMN yang merugi akibat korupsi. Salah satu indikator mudah adalah apakah kebijakan korporasi yang diambil dilakukan dengan cara tidak benar seperti curang atau ada bentuk gratifikasi.
“Untuk membedakannya mudah saja. Kalau ada fraud, benturan kepentingan, kecurangan, ada niat jahat, ada pemberian gratifikasi, ada kickback dan lain-lain itu, maka ya di situlah kemudian sudah pasti itu merupakan sebuah tindak pidana korupsi,” kata Zaenur kepada Tirto, Selasa (13/2/2024).
Zaenur menambahkan, “Jadi kalau sebuah keputusan bisnis mengakibatkan kerugian bagi BUMN memang belum otomatis kerugian itu merupakan kerugian keuangan negara yang merupakan tindak pidana korupsi, tetapi juka kerugian itu timbul karena dalam pengambilan keputusan terdapat fraud dan kawan-kawannya atau gratifikasi dan kawan-kawannya, itu sudah jelas, ya bahwa itu adalah merupakan perbuatan tidak tidak korupsi.”
Zaenur mengatakan, pelanggaran tindak pidana korupsi tidak sekadar melanggar aturan perusahaan dan perundangan-undangan, menguntungkan diri sendiri atau kelompok tertentu, tetapi juga harus diikuti tindak kecurangan.
Dalam kasus Karen, Zaenur menilai, jaksa harus membuktikan dakwaan tentang dugaan kecurangan, fraud, kickback maupun gratifikasi di kasus LNG Corpus Christi Liquefaction. Ia mengatakan, kasus ini bisa saja sama dengan dugaan korupsi BNG yang berujung Karen lepas secara hukum meski bersalah.
Sebagai catatan, Karen tersandung kasus korupsi di Pertamina bukan kali pertama. Karen sebelumnya menjadi pesakitan oleh Kejaksaan Agung akibat dugaan korupsi investasi Basker Manta Gummy (BMG) Australia. Dalam kasus tersebut, Karen dinilai merugikan negara dan memperkaya perusahaan ROC Ltd. Ia divonis hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Namun, Mahkamah Agung memutus lepas Karen karena majelis hakim Mahkamah Agung meyakini kasus Karen bukan kasus pidana korupsi.
Karena itu, Zaenur menilai, KPK harus menyiapkan alat bukti untuk meyakinkan hakim bahwa Karen melakukan tindak pidana korupsi. Ia menilai, KPK harus membuktikan ada dugaan gratifikasi dan korupsi uang miliaran rupiah dan ratusan ribu dolar hingga tawaran jabatan sebagaimana dalam dakwaan.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz