tirto.id - Kejaksaan Agung resmi menahan eks Dirut Pertamina Galaila Karen Agustiawan, pada Senin (24/9/2018). Perempuan kelahiran Bandung, 60 tahun silam ini ditahan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi investasi Pertamina di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia tahun 2009.
Karen adalah salah satu dari empat tersangka lain di kasus ini. Tiga lainnya ialah: Chief Legal Counsel and Compliance PT Pertamina Genades Panjaitan, mantan Direktur Keuangan Pertamina Frederik Siahaan, dan eks Manager Merger & Acquisition Direktorat Hulu PT Pertamina Bayu Kristanto.
Penetapan Karen dkk sebagai tersangka memunculkan diskursus tersendiri di kalangan ahli hukum: apakah aksi korporasi yang dilakukan Pertamina bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan dapat dipidana?
Pengajar hukum pidana di Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyatakan kasus yang menyeret Karen ini membuka diskursus lama. Menurutnya, apakah BUMN tunduk pada Undang-undang (UU) Keuangan Negara atau tunduk pada regulasi yang mengatur korporasi atau badan usaha, seperti UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.
Jika pemeriksaan didasarkan pada UU Nomor 40/2007 dan UU Nomor 19/2003, Fickar menyebut, aksi korporasi Pertamina dalam investasi di blok BMG tidak bisa dipidanakan lantaran bagian dari keputusan bisnis korporasi.
Dalam perkara bisnis, kata Fickar, sangat wajar jika sebuah keputusan memiliki potensi merugi atau gagal. Akan tetapi, kata dia, hal ini baru dapat dibawa ke ranah pidana apabila Karen terbukti mendapatkan "kick back" atau pembayaran dari pihak yang diuntungkan dalam investasi tersebut.
“Jadi bukan aksi korporasinya [yang dipidana]. Jika pun ada diskon atau pembayaran balik, seharusnya diserahkan pada perusahaan karena menjadi hak korporasi,” kata Fickar saat dihubungi Tirto, pada Rabu (26/9/2018).
Sementara itu, ahli Hukum Administrasi Negara dari Universitas Indonesia (UI), Dian Puji Simatupang, mengatakan problem dari penetapan tersangka Karen adalah kerumitan serta inkonsistensi norma hukum yang dipakai jaksa di pengadilan.
Secara normatif, kata dia, status hukum BUMN dapat dikategorikan ke dalam aturan keuangan negara. Ini sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48 Tahun 2013 bahwa "kekayaan yang dipisahkan pada BUMN merupakan bagian dari keuangan negara."
Namun demikian, kata Puji, pengelolaan keuangannya tetap mengacu pada UU Persero Terbatas dan BUMN. Berdasarkan prinsip UU tersebut, kata dia, tindakan korporasi masih dapat dikoreksi sendiri. Sehingga, kata dia, sangat prematur dan tidak cermat bila Jaksa menyatakan tindakan korporasi sebagai tindakan melawan hukum pidana.
“Kecuali tindakan itu terbukti mengandung suap, paksaan/ancaman, dan tipuan untuk menghasilkan keuntungan tidak sah, ya silakan pidanakan. Lah, ini kan tindakan korporasi yang lahir dari rangkaian administrasi korporasi, masih banyak ruang mekanisme penyelesaian yang tersedia, baik dalam korporasi maupun dalam administrasi publik,” kata Puji kepada Tirto.
Menurut Puji, kerumitan dan ketidakjelasan norma ini harus diselesaikan oleh Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan secara umum. Jika situasi ini terus dipelihara, ia khawatir iklim berusaha atau kepastian hukum di Indonesia akan semakin dipertanyakan.
Selain itu, kata dia, hal ini berpotensi memberikan dampak buruk bagi pengelola BUMN lantaran tidak ada kepastian hukum bagi pengurus BUMN yang beritikad baik. “Bagaimana mau menjamin kepastian hukum apabila soal seperti ini tidak dilindungi negara dari upaya hukum yang prematur,” kata Puji.
Konteks Kasus
Kasus yang menyeret nama Karen ini berawal ketika Pertamina melakukan akuisisi (Investasi Non-Rutin) berupa pembelian sebagian aset (Interest Participating/IP) milik ROC Oil Company Ltd di lapangan BMG Australia. Akuisisi itu berdasarkan Agreement for Sale and Purchase-BMG Project tanggal 27 Mei 2009.
Pertamina kemudian menjadi pemilik Participating Interest (PI) 10 persen di Blok BMG Australia. Mitra Pertamina di pengelolaan blok BMG ialah ROC Oil, Beach Petrolium, Sojitz Energy, Anzon dan CIECO.
Kerugian investasi ini muncul sebab operasi Blok BMG dihentikan operator per 20 Agustus 2010, karena penurunan produksi migas dan angka cadangan tersertifikasi. Penghapusan nilai atas wilayah kerja di BMG sebesar 66,29 juta dolar Australia pun dinyatakan di Laporan Keuangan Konsolidasian Pertamina dan Anak Perusahaan edisi 31 Desember 2010 dan 2009 (Halaman 87, versi PDF).
Kejaksaan Agung yang mulai mengusut kasus ini sejak akhir 2016, menduga terdapat penyimpangan dalam pengambilan keputusan investasi ini. Sebab, diduga tidak sesuai dengan pedoman investasi, tanpa studi kelayakan berupa kajian lengkap dan tidak didasari persetujuan Dewan Komisaris Pertamina.
Penyimpangan itu dinilai membuat penggunaan dana 31,49 juta dolar AS serta biaya-biaya lain senilai 26,8 juta dolar Australia tidak memberikan manfaat atau keuntungan kepada Pertamina dalam rangka penambahan cadangan dan produksi minyak nasional. Sesuai perhitungan Akuntan Publik, Kejaksaan menduga investasi ini mengakibatkan kerugian negara c.q Pertamina senilai Rp568,06 miliar.
Akan tetapi, Karen Agustiawan mengaku hanya menjalankan prosedur dalam investasi perusahaan tersebut di Blok BMG Australia. “Saya sebagai Dirut Pertamina saat itu sudah menjalani tugas mengikuti prosedur,” kata Karen menjelang dibawa ke Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, seperti dikutip Antara, Senin lalu.
Susilo Aribowo, yang menjadi pengacara Karen juga membantah tudingan Kejaksaan. Dia menegaskan kliennya tidak berniat korupsi dalam kasus investasi Pertamina di Blok BMG. Aribowo juga menilai kerugian dalam investasi ini, tidak bisa begitu saja dianggap sebagai bukti telah terjadi korupsi.
“Sebenarnya ini lebih ke business judgement rule bukan ke tindak pidana,” kata dia seperti dikutip Antara, Selasa kemarin.
Dia juga membantah tuduhan Kejaksaan soal kesalahan dalam pengambilan keputusan investasi Pertamina di Blok BMG. Menurut Aribowo, persetujuan dewan komisaris sudah ada dan studi kelayakan pun telah dilakukan.
Berdasarkan bukti dokumen memorandum Pertamina Nomor 174/K/DK/2009 tertanggal 30 April 2009 yang didapat Tirto, dewan komisaris memang telah memberikan restu terkait investasi non-rutin yang disebut sebagai Project Diamond itu. Dalam memo yang ditujukan kepada direksi Pertamina itu, enam dari tujuh orang anggota komisaris saat itu telah membubuhkan tanda tangan atas persetujuan investasi.
Menanggapi kasus ini, Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, menilai tidak ada kejanggalan dalam investasi yang dilakukan Pertamina di Blok BMG. Sebab keputusan investasi itu telah disertai dengan kajian kelayakan serta proses dan prosedur yang benar.
Pembelian Participating Intereset Pertamina di BMG, kata Hikmahanto, merupakan transaksi internasional yang berada di lintas negara atas obyek tertentu. Dalam ilmu hukum transaksi bisnis internasional, Hikmahanto menyebut, hal ini bagian dari pembahasan hukum perdata internasional, di mana terdapat unsur-unsur asing dan karenanya terdapat dua atau lebih sistem hukum negara yang berlaku.
Oleh karena perjanjian itu dilangsungkan di Australia, kata Hikmahanto, maka syarat sahnya perjanjian didasarkan pada hukum negara tersebut. Dalam konteks ini, kata dia, menggunakan hukum Indonesia untuk melihat perjanjian tersebut adalah sangat tidak tepat.
“Proses pengambil-alihan participating interest melibatkan para konsultan di luar negeri mulai yang melakukan due dilligence, lawyer bahkan yang memfasilitasi transaksi adalah Citibank Australia,” kata dia kepada Tirto.
Binding Offer atau penawaran yang dilakukan Pertamina atas Blok BMG, kata dia, dalam sistem hukum Common Law yang dianut Australia, telah menjadi sebuah kesepakatan meski belum ada kontrak tertulis yang ditandatangani.
Kesepakatan ini juga bisa terjadi bila melihat niat dari para pihak. Pertamina, kata Hikmanto, telah mengajukan intention melalui surat Corporate Senior Vice President Upstream Pertamina pada tanggal 11 Mei 2009 Ref No. 385/D00000/2009-S0 yang ditujukan kepada Citibank--pihak yang mewakili Anzon dalam penjualan Participating Interest.
Jika dalam negosiasi itu Pertamina mengundurkan diri, kata dia, pihak Anzon dapat menggugat karena peserta--dalam hal ini Pertamina--dianggap wanprestasi. “Di samping itu, reputasi peserta tersebut menjadi rusak. Nilai gugatannya pun bisa termasuk kehilangan kesempatan (opportunity loss),” kata Hikmahanto.
Merujuk data-data historis tersebut, Hikmahanto berpendapat, kasus investasi Pertamina di blok BMG tidak bisa dibawa ke ranah pidana, apalagi jika pengadilan tidak bisa membuktikan ada unsur niatan jahat (mens rea) atau perbuatan jahat (actus reus) atas kasus tersebut.
“Kalau adanya kerugian negara, tapi tidak ada niat dan perbuatan jahat, maka menurut saya tidak seharusnya masuk ke ranah pidana khususnya tindak pidana korupsi,” kata Hikmahanto.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz