tirto.id - Kasus dugaan korupsi dalam investasi PT Pertamina di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia tahun 2009 yang menyeret Galaila Karen Agustiawan memasuki babak baru. Setelah menjadi tersangka sejak 22 Maret 2018, eks Direktur Utama Pertamina itu resmi ditahan oleh Kejaksaan Agung.
Kejaksaan menahan Karen selama 20 hari, sejak awal pekan ini, di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Ia ditahan usai menjalani pemeriksaan, pada Senin lalu (24/9/2018).
Karen adalah salah satu dari empat tersangka di kasus ini. Tiga lainnya ialah: Chief Legal Counsel and Compliance PT Pertamina Genades Panjaitan, mantan Direktur Keuangan Pertamina Frederik Siahaan, dan eks Manager Merger & Acquisition Direktorat Hulu PT Pertamina Bayu Kristanto.
Mereka disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus ini terkait investasi non-rutin Pertamina melalui anak perusahaannya, PT Pertamina Hulu Energi, di pembelian Participating Interest (PI) milik ROC Oil Pty. Ltd pada lapangan BMG. Akuisisi didasari Agreement for Sale and Purchase-BMG Project tanggal 27 Mei 2009.
Pertamina lalu menjadi pemilik Participating Interest (PI) 10 persen di Blok BMG. Mitra Pertamina di pengelolaan blok BMG ialah ROC Oil, Beach Petrolium, Sojitz Energy, Anzon dan CIECO.
Kerugian investasi ini muncul sebab operasi Blok BMG dihentikan operator per 20 Agustus 2010 karena penurunan produksi migas dan angka cadangan tersertifikasi. Penghapusan nilai atas wilayah kerja di BMG sebesar 66,29 juta dolar Australia pun dinyatakan di Laporan Keuangan Konsolidasian Pertamina dan Anak Perusahaan edisi 31 Desember 2010 dan 2009 (Halaman 87, versi PDF).
Kejaksaan Agung yang mengusut kasus ini sejak akhir 2016, menduga terdapat penyimpangan dalam pengambilan keputusan investasi ini. Sebab, diduga tidak sesuai dengan pedoman investasi, tanpa studi kelayakan berupa kajian lengkap dan tidak didasari persetujuan Dewan Komisaris Pertamina.
Penyimpangan itu dinilai membuat penggunaan dana 31,49 juta dolar AS serta biaya-biaya lain senilai 26,8 juta dolar Australia tidak memberikan manfaat atau keuntungan kepada Pertamina dalam rangka penambahan cadangan dan produksi minyak nasional. Sesuai perhitungan Akuntan Publik, Kejaksaan menduga investasi ini mengakibatkan kerugian negara c.q Pertamina senilai Rp568,06 miliar.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) M. Adi Toegarisman menyatakan penyidik meyakini investasi Pertamina di Blok BMG merugikan negara. Berkas kasus ini, kata dia, segera dilengkapi untuk dibawa ke pengadilan.
Toegarisman menjelaskan Pertamina seharusnya melakukan investasi berdasarkan ketentuan perseroan, persetujuan dewan komisaris, dan didahului penelitian kelayakan. Meski tim peneliti dibentuk, kata dia, belum ada kajian kelayakan.
"Proses ini tanpa hasil penelitian dan tanpa ada penilaian risiko, dan itu tetap berjalan dan akhirnya disetujui dan dilaksanakan investasi ini oleh direktur utama yaitu saudara Karen," kata dia sebagaimana dikutip Antara.
Bantahan Karen Agustiawan dan Pengacara
Menjelang dibawa ke Rutan Pondok Bambu pada Senin lalu, Karen Agustiawan membantah dirinya bersalah. Dia mengaku telah menjalankan tugas sesuai prosedur pada kegiatan investasi Pertamina di Blok BMG.
Sehari kemudian, Susilo Aribowo, yang menjadi pengacara Karen, juga menyampaikan bantahan. Dia menegaskan kliennya tidak berniat korupsi dalam kasus investasi Pertamina di Blok BMG.
"Pertanggungjawaban pidana mesti ada niat jahatnya, tapi sampai sejauh ini tidak ada sesuatu yang diperoleh Ibu Karen untuk investasi itu," kata Aribowo, Selasa (25/9/2018) seperti dilansir Antara.
Aribowo juga menilai kerugian dalam investasi ini, tidak bisa begitu saja dianggap sebagai bukti telah terjadi korupsi. "Sebenarnya ini lebih ke business judgement rule bukan ke tindak pidana," ujarnya.
Dia juga membantah tuduhan Kejaksaan Agung soal kesalahan dalam pengambilan keputusan investasi Pertamina di Blok BMG. Menurut dia, persetujuan dewan komisaris sudah ada dan studi kelayakan pun telah dilakukan.
"Persetujuan komisaris sudah didapat 30 April 2009, kemudian 27 Mei 2009 tanda tangan jual beli participating interest itu," kata Aribowo.
Dia menambahkan, pada 27 Mei 2009, hanya berselisih beberapa jam, direksi memang mendapat pemberitahuan bahwa komisaris tidak setuju. "Ini kan aneh, tidak bisa dicabut mendadak [perjanjian investasi] begitu saja," kata dia.
Selain itu, kata Aribowo, investasi blok migas tidak selalu menjamin untung sehingga selalu ada risiko bagi korporasi. “Seharusnya kalau memang dewan komisaris keberatan dan sudah terlanjur, mestinya berikan solusi atau berhentikan sementara direksi itu,” ujar dia.
Aribowo berencana mengajukan penangguhan penahanan untuk kliennya. Tapi, soal pengajuan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka kliennya, dia mengaku akan membahasnya dengan Karen untuk memperhitungkan untung ruginya.
Sedangkan pakar Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Bismar Nasution menilai aksi korporasi seperti investasi Pertamina di Blok BMG tidak tepat dipidanakan jika didasari alasan rasional dan itikad baik. Dia berpendapat hukum administrasi lebih layak diterapkan di kasus seperti itu.
"Bukan hukum pidana, kecuali bila ada unsur koruptif maka hukum pidana bisa diterapkan, tapi kalau kesalahan (kerugian bisnis) itu bisa dipahami secara administrasi, tidak perlu dipidana," ujar Bismar.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Mufti Sholih