Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Kisah Pemilih Pemula: Bimbang, Yakin, dan Harapan Bersatu Padu

Wawan menilai media sosial yang sering digunakan Gen Z sebagai referensi, bukan tempat yang aman untuk pendidikan politik.

Kisah Pemilih Pemula: Bimbang, Yakin, dan Harapan Bersatu Padu
Ilustrasi pemilu. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pemilu 2024 dimeriahkan dengan jumlah pemilih pemula dari kalangan Gen Z yang cukup besar. Pemilih dengan rentang usia 17-21 tahun akan merasakan pengalaman pertama mencoblos pilihan politik mereka. Tahun ini, ada 46.800.161 pemilih dari kalangan Gen Z atau 22,85 persen dari total pemilih yang jumlahnya 204.807.222 orang.

Salah satunya Muhammad Ridwan, 18 tahun, mahasiswa asal Kota Bogor yang begitu menanti momen pertamanya ikut pemilu. Ridwan mengaku sudah mengantongi paslon capres-cawapres yang akan dicoblos.

“Ada pasti kalau pilihan yang sudah fix, cuma ya masalahnya paling baru paslon capres-cawapres yang saya yakin,” kata Ridwan ditemui di kediamannya di Kota Bogor, Selasa (13/2/2024) siang.

Ridwan menyampaikan, selama ini mengikuti setiap agenda debat capres-cawapres Pemilu 2024. Dari agenda tersebut, dia mengaku banyak mendapatkan informasi soal arah visi-misi ketiga paslon.

“Malas juga soalnya baca dokumen ratusan halaman, dari debat kan kelihatan tuh pandangan mereka soal suatu isu,” sambung dia.

Awalnya, Ridwan tidak terlalu mengikuti jalannya Pemilu 2024 karena antipati pada politik. Namun, ramainya pembicaraan di media sosial soal dugaan kecurangan tahapan pemilu membuat dia rajin memantau perkembangan politik dalam palagan elektoral lima tahunan ini.

“Mulai ramai kan saat itu tuh yang polemik MK (Mahkamah Konstitusi) terus ramai makannya saya tertarik karena di teman-teman bicarain itu sih,” ungkap Ridwan.

Serupa Ridwan, Annisa Aulya, sudah yakin dengan pilihan paslon capres-cawapres yang akan dicoblos. Perempuan berusia 20 tahun itu penasaran ingin merasakan langsung atmosfer pemilu pertama yang akan dia lakoni. Namun, Annisa mengaku masih bingung melabuhkan pilihan untuk pemilu legislatif.

“Kalau capres-cawapres yakin, tapi kalau pileg ini saya yang mungkin enggak terlalu mengikuti. Masih enggak terlalu ramai juga pileg dibanding pilpres menurut saya,” ujar Annisa yang bekerja sebagai finance di salah satu swalayan, ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (13/2/2024).

Menurut Aulya, dia kurang terpapar informasi mengenai pertarungan pemilu legislatif. Di media sosial, kata dia, juga lebih banyak konten-konten yang membahas paslon capres-cawapres dibanding para calon legislatif.

“TikTok aja banyaknya konten capres debat atau misalnya gimik-gimik gitu kan. Tapi mungkin saya akan cari tahu lebih dalam sebelum nyoblos,” kata Perempuan asal Kota Depok itu.

Aulya menambahkan, keluarga masih berperan cukup besar dalam menentukan preferensi pilihan politiknya dalam pemilu. Misalnya untuk memilih capres-cawapres, dia mengaku di grup WA keluarga sangat terlihat arah pilihan mereka.

“Keluarga besar condong ke salah satu paslon, di grup WA pastinya itu-itu mulu yang di-share. Kalau saya sedikit pasti perdalam infonya nggak asal ikutin [keluarga],” ucap Aulya.

Sementara itu, Bani Prayudha, 18 tahun, sempat bersitegang dengan keluarga karena tidak mau mengikuti rekomendasi pilihan mereka untuk salah satu paslon capres-cawapres. Menurut pria yang bekerja sebagai kurir ekspedisi itu, pilihan keluarganya tidak logis kerena tidak mempertimbangkan rekam jejak paslon.

“Sekarang gini, kita milih presiden cuma karena dia misalnya dulu baik, atau dulu begini, begitu. Lah kan itu dulu ya? Sekarang anak muda mah kritis aja kalau mau memilih, internet ada gampang tinggal cari jejaknya,” ujar pemuda asal Kota Bogor itu kepada reporter Tirto, Selasa (13/2/2024).

Bani menyayangkan rekan-rekan seumurannya yang merupakan pemilih pemula, namun tidak rasional dalam menentukan pilihan. Dia mengaku, banyak teman-temannya lebih percaya informasi dari media sosial ketimbang membaca kanal berita.

“TikTok dipercaya, saya nggak main gituan, padahal kan ya konten-konten kan memang dibagus-bagusin ya, bisa-bisanya dipercaya heran,” gusar Bani.

Dia menambahkan, ada harapan yang digantungkan pada calon pemimpin yang dia akan coblos dalam pemilu. Bani menanti janji-janji politik para kontestan pemilu tidak sekadar omong besar atau bualan. Menurut dia, rakyat sudah kenyang dengan pemimpin yang cuma baik di saat kampanye.

“Berharap pasti, berharap, kita akan dipimpin presiden baru lima tahun ke depan. Pastinya sih ya pemilu menentukan nih bakalan ke mana kita, tambah bagus apa tambah hancur,” kata Bani sambil terkekeh.

Distribusi logistik Pemilu 2024 di Bali

Pekerja memindahkan kotak suara berisi logistik Pemilu 2024 ke atas truk pengangkut saat proses pendistribusian di gudang KPU Denpasar, Bali, Senin (12/2/2024). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/foc.

Karakter Pemilih Pemula

Analis politik dari Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, menilai karakteristik pemilih pemula atau Gen Z cenderung mengikuti keriuhan. Isu mana yang sedang ramai diperbincangkan, kata dia, maka ke sana generasi ini akan condong berkiblat.

“Ada semacam kekhawatiran tertinggal tren, sehingga situasi ini jelas tidak rasional,” kata Dedi kepada reporter Tirto.

Dedi menyatakan, pemilih pemula merupakan sasaran empuk gimik politik dan kampanye remeh-temeh. Namun, kontestan pemilu juga punya kekhawatiran di dalam menargetkan pemilih Gen Z, takut mereka hanya ikut propaganda dan tidak benar-benar memutuskan memilih.

“Artinya mereka ramai di masa kampanye tetapi belum tentu hadir atau memilih [paslon itu],” ujar Dedi.

Dia memandang, pertimbangan generasi pemilih pemula lebih sederhana. “Selain karena faktor tren dan popularitas, mereka juga bisa dengan mudah tergiring oleh para pemengaruh.”

Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menyatakan pemilih pemula cenderung dipengaruhi orang terdekat seperti keluarga hingga sahabat. Pada dasarnya mereka bisa memilih dengan mempertimbangkan isu jika memiliki waktu untuk mendalami gagasan para kontestan pemilu.

“Akan tetapi pilihan dan keputusan cepat membuat mereka mengikuti siapa yang didukung oleh orang terdekat,” kata Wawan kepada reporter Tirto, Selasa (13/2/2024).

Wawan menilai media sosial yang sering digunakan Gen Z sebagai referensi, bukan tempat yang aman untuk pendidikan politik. Di sana, kata dia, banyak pesohor dan pendengung yang memanfaatkan media sosial sebagai tempat propaganda agenda kubu mereka.

“Kita perlu paham, beberapa influencer hadir dengan agenda tersendiri dan membawa dukungan tertentu setelah menjalin kerja sama, beberapa informasi yang pemilih pemula dapatkan bisa jadi bias dan tidak sepenuhnya membantu. Hal ini mungkin saja terhindarkan jika pemilih itu bisa lebih kritis dalam menelaah informasi yang ada,” jelas Wawan.

Sementara itu, analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, melihat karakteristik pemilih pemula tidak jauh berbeda dengan angkatan pemilih yang lebih tua. Jumlah pemilih rasional lebih sedikit dibanding jumlah pemilih yang mengedepankan emosional atau kultural.

“Hampir sama dengan pemilih senior, kebanyakan adalah memiliki rasional terbatas misalnya memilih karena endorser atau popularitas atau gimik gimik tertentu. Yang rasional mungkin hanya 10-12 persen, sama dengan angkatan sebelumnya,” kata Kunto kepada reporter Tirto, Selasa (13/2/2024).

Kunto menilai, gimik politik banyak menjadi pemicu preferensi pilihan politik pemula. Hal ini sejalan dengan banyaknya konten-kontek gimik di media sosial yang menampilkan para kontestan pemilu.

“Gimik berpengaruh pada preferensi pilihan mereka terutama di pilpres dan pileg. Terutama mereka menggunakan heuristik lah atau istilahnya jalan pintas kognitif jadi yang paling menyenangkan, paling populer, paling banyak dibahas rekan rekannya, itu yang jadi preferensi politik mereka,” jelas Kunto.

Orang terdekat, kata Kunto, masih menjadi pertimbangan besar juga bagi para pemilih pemula. Preferensi politik lingkar terdekat mereka tidak jarang menjadi jalan pintas pemilih pemula melabuhkan dukungan untuk kontestan pemilu.

“Biasanya mereka pertimbangan teman menjadi penting, lalu orang tua, kemudian endorser-endorser merasa relevan ya, sangat mungkin itu tiga kelompok yang jadi pertimbangan mereka,” tambah dia.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz