tirto.id - Herdiansyah Hamzah tak habis pikir mendapati kabar sejumlah rekannya sesama sivitas akademika dan mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi diduga menerima perlakuan intimidasi. Dugaan intimidasi datang imbas gelombang kritik dari sivitas akademika di sejumlah perguruan tinggi yang gerah dengan sikap pemerintahan Presiden Joko Widodo menjelang Pemilu 2024.
Pria yang akrab disapa Castro itu merupakan dosen Fakultas Hukum di Universitas Mulawarman, yang beberapa hari lalu bersama dosen lainnya di tempat dia mengajar, turut mengkritik Jokowi.
“Bentuk intimidasinya beragam, baik secara fisik maupun secara psikologis. Ada yang diskusinya dipaksa bubar, ada yang didatangi polisi,” kata Castro kepada reporter Tirto, Selasa (6/2/2024).
Castro bercerita mendapati kabar sejumlah orang mendatangi Universitas Airlangga [Unair] Surabaya, setelah sejumlah guru besar, alumni, dan mahasiswa mendeklarasikan penolakan praktik pelemahan demokrasi yang dilakukan pemerintah saat ini.
Peristiwa itu terjadi, Senin (5/2/2024) lalu, ketika sejumlah orang tanpa almamater menyatakan narasi tandingan berbeda dari sivitas akademika Unair yang baru saja menyatakan sikap kritis kepada pemerintah.
Orang-orang tersebut juga menuding sivitas akademika Unair yang menyatakan sikap kritik, melakukan penggiringan opini dan berbau politik praktis.
Castro yang juga anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), memberikan contoh dugaan kasus intimidasi lainnya. Seperti munculnya video testimoni kinerja pemerintah Presiden Jokowi dari sejumlah rektor perguruan tinggi, yang diunggah di sebuah akun media sosial TikTok. Salah satunya video yang menampilkan Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), Hardi Winoto.
Namun, Hardi terkejut karena potongan video tersebut sejatinya merupakan wawancara dirinya dengan pihak kepolisian yang menyambangi kediamannya.
Pihak kepolisian mewawancarai Hardi perihal pemilu dan program pemerintahan Presiden Jokowi. Video tersebut lantas diunggah tanpa persetujuan Hardi, dan dilakukan oleh akun TikTok dengan profil salah satu paslon kontestan Pilpres 2024.
Teranyar, Castro mendengar kabar bahwa acara konsolidasi mahasiswa di Balai Warga Universitas Trilogi, Kalibata, Jakarta Selatan dibubarkan paksa oleh sejumlah orang.
Pelaku pembubaran melakukan intimidasi kepada para mahasiswa yang ingin berkonsolidasi membahas keadaan pemerintah Presiden Jokowi saat ini. Intimidasi ini diduga dilakukan oleh sejumlah orang berpakaian ala preman.
“Rezim tidak boleh bebal, harus terbuka dengan kritik. Tapi ini alih-alih berbesar hati menerima kritik, justru menyerang balik. Ini pertanda rezim memang enggan menerima kritik warganya,” terang Castro.
Berawal dari Kritik Sivitas Akademika ke Jokowi
Munculnya dugaan intimidasi kepada para sivitas akademika bermula dari menjamurnya gerakan kritis dan pernyataan sikap dari sejumlah perguruan tinggi kepada pemerintah.
Dimulai oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan Petisi Bulaksumur, lalu diikuti oleh Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Indonesia, Universitas Andalas, Universitas Airlangga, Universitas Padjajaran, dan masih banyak perguruan tinggi lainnya.
Para sivitas akademika gerah dengan sikap pemerintah yang mulai menunjukan kemunduran terhadap demokrasi. Dimulai dengan dugaan keberpihakan Jokowi dalam pemilu imbas pernyataan Jokowi soal pemimpin negara boleh kampanye.
Diikuti kejanggalan pemberian bansos yang begitu deras dilakukan menjelang pencoblosan Pemilu 2024. Upaya Jokowi ini dinilai sebagai bentuk pemanfaat sumber daya negara untuk keuntungan paslon tertentu, sebut saja pasangan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Istana sendiri lewat Kepala Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, dan bahkan Presiden Jokowi langsung, sudah merespons kritik keras yang datang dari para sivitas akademika. Jokowi tak bergeming dan mempersilakan kritik disampaikan sebagai bagian dari demokrasi.
"Ya itu hak demokrasi. Setiap orang boleh berbicara, berpendapat, silakan," kata Jokowi usai menghadiri Kongres XVI Gerakan Pemuda Ansor di Jakarta, Jumat (2/2/2024).
Adapun Ari menduga di tahun politik dan menjelang pemilu, akan muncul pertarungan opini dan penggiringan opini.
“Pertarungan opini dalam kontestasi politik adalah sesuatu yang wajar saja, apalagi terkait dengan strategi politik partisan untuk politik elektoral,” kata Ari dalam keterangannya, Jumat (2/2/2024) lalu.
Menyayangkan Respons Jokowi & Anak Buahnya
Sejumlah pegiat pro-demokrasi menyayangkan respons pemerintah dan pihak yang menyebut sikap kritis sivitas akademika sebagai bentuk politik partisan dan berbau kepentingan elektoral.
Apalagi, muncul dugaan intimidasi menyasar para sivitas akademika yang sudah menyatakan petisi dan deklarasi sikap kritis pada pemerintah. Ditambah, mulai timbul gerakan tandingan yang menarasikan bahwa pemerintah Presiden Jokowi baik-baik saja.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengecam keras upaya intimidasi kepada sivitas akademika dan masyarakat sipil yang mengkritisi sikap Presiden Jokowi makin tak jauh dari nilai demokrasi. Isnur mengaku dugaan intimidasi terus terjadi dan intensitasnya makin meningkat.
Diantaranya, kata dia, dugaan mobilisasi aparat kepolisian untuk mendatangi para dosen dan rektor dengan modus mewawancarai mereka untuk mendapatkan tanggapan positif terkait rekam jejak pemerintah.
“Selain itu, juga terdapat intimidasi pesan yang diterima Guru Besar UI, Harkristuti Harkrisnowo lewat pesan WhatsApp dari seseorang berseragam yang mengaku alumni UI,” kata Isnur melalui keterangan tertulis, Selasa (7/2/2024).
Isnur memandang, upaya intimidasi ini adalah bagian dari pembungkaman terhadap hak warga negara. Padahal mereka hanya ingin melakukan pengawasan dan koreksi terhadap praktik kecurangan pemilu.
Selain itu, dia menduga hal ini tidak lepas dari kritik keras publik terhadap dugaan keberpihakan dan penyalahgunaan kewenangan oleh Presiden Jokowi dalam Pemilu 2024.
“Pasca putranya Gibran Rakabuming Raka dicalonkan sebagai Calon Wakil Presiden,” tutur Isnur.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyayangkan sikap Istana yang langsung merespons negatif gerakan kritis yang disampaikan oleh para sivitas akademika.
Sebaiknya, kata dia, pemerintah menghargai kritik yang disampaikan para sivitas akademika, karena kritik dari kalangan akademisi membantu menjaga iklim demokrasi kondusif dan memperkuat akuntabilitas pemerintah di mata publik.
“Kritik yang mereka sampaikan jelas dibekali dengan bukti empiris, data, dan analisis objektif. Dengan begitu jelas para akademisi justru membantu pemerintah tetap bekerja untuk kepentingan publik dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan,” kata Usman kepada reporter Tirto, Selasa (6/2/2024).
Usman meminta pemerintah membuka diri terhadap kritik dari mana saja. Pemerintah, lebih khusus Jokowi harus mendengarkan sungguh-sungguh kritik-kritik yang dialamatkan kepadanya. Jokowi, kata Usman juga harus berani mengakui ketidaksempurnaan atau kekurangan dalam kebijakan maupun tindakan pejabat, dan siap mempertimbangkan saran-saran yang ditawarkan untuk perbaikan.
“Pemerintah juga harus tetap diingatkan untuk menghormati dan melindungi kebebasan akademik para sivitas akademika. Ini berarti tidak melibatkan upaya pembatasan apa pun, apalagi intimidasi,” ujar Usman.
Jangan Sampai Berakhir Jadi Rezim Antikritik
Peneliti politik senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, menilai sikap pemerintah yang defensif dan tidak mendengar kritik justru akan menegaskan sikap rezim antidemokrasi. Dia menilai, sikap kritis gerakan masyarakat sipil harus dihargai karena aspirasi mereka merupakan akar dari demokrasi.
“Dalam situasi yang antidemokrasi justru malah dilawan dan akan dimatikan suara kritis ini dan tidak dipercaya. Rezim saat ini menebalkan saja rezim antikritik saat ini. Harusnya didengarkan dan diajak ngumpul untuk ditindak lanjuti,” kata Firman kepada reporter Tirto, Selasa.
Firman menegaskan tudingan para para sivitas akademika yang disebut partisan politik dan memiliki kepentingan elektoral, sebagai tuduhan semena-mena. Hal itu justru membuktikan bahwa sikap kritis masyarakat sipil dipandang sebagai serangan, alih-alih masukan yang membangun.
Dia menambahkan, sikap kalangan akademisi pastinya melewati proses diskusi dan perdebatan yang menghadirkan logika dan data-data. Sikap mereka bukan tindakan asal jeplak dan asal bunyi semata, namun sudah dipikirkan matang dengan sejumlah kajian.
“Posisikan kalangan kampus itu sebagai partner pemerintah dan hargai pandangan mereka,” tutur Firman.
Merespons gelombang kritik sivitas akademika, Wakil Presiden Ma'ruf Amin, meminta Jokowi dan anak buahnya harus memperhatikan gelombang kritik tentang situasi demokrasi saat ini. Meski Ma'ruf Amin masih jadi bagian dari pemerintahan, namun ia menyebut kritik dari sivitas akademika sebagai bagian dinamika politik yang harus diperhatikan.
“Dinamika politik apa pun, pemerintah harus perhatikan, artinya meng-assurance dan mengambil langkah-langkah berikutnya seperti apa,” kata Ma'ruf dalam keterangan pers Sekretariat Wakil Presiden RI yang disiarkan dari Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Senin (5/2/2024).
Ma'ruf berharap seruan sivitas akademika terkait demokrasi jelang kontestasi pemilu sebagai bagian dari dinamika positif yang tidak membawa keresahan pada bangsa Indonesia.
“Mudah-mudahan saja hanya sampai di pernyataan sehingga bisa diatasi, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang lebih jauh,” tutur Ma'ruf Amin.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto