tirto.id - Seorang pria dengan topeng bergambar muka Presiden Joko Widodo (Jokowi) digelandang naik sebuah mobil kap terbuka yang dikelilingi ratusan orang yang bernyanyi lagu "Darah Juang". Di sana pria bertopeng tersebut digambarkan akan diadili.
Peristiwa tersebut terjadi pada Senin (12/1/2024) di tengah pertigaan Gejayan di Jalan Affandi, Caturtunggal, Sleman, Yogyakarta.
Di hadapan ratusan massa yang bernyanyi, kepala orang dengan topeng Jokowi digambarkan terpenggal oleh pisau guillotine sesaat sebelum lagu ikonik gerakan mahasiswa itu habis dinyanyikan.
Guillotine merupakan alat eksekusi mati yang digunakan rakyat Prancis pada akhir abad ke-18 untuk mengeksekusi mati Raja Louis XVI yang dianggap lalim. Sejak saat itu, alat eksekusi berupa sebilah pisau besar yang digantung di antara dua buah balok kayu tersebut menjadi simbol perlawanan rakyat atas para penguasa.
Gambaran pria bertopeng Jokowi yang dipenggal dengan guillotine tersebut, merupakan aksi teatrikal yang jadi penutup rangkaian demonstrasi Jagad Gugat Demokrasi sore itu.
Demonstrasi Jagad Gugat Demokrasi merupakan inisiasi sejumlah aliansi masyarakat sipil di Yogyakarta yang mengaku gerah dan marah atas perilaku pemerintahan Jokowi.
Bagi mereka, pemerintahan yang dipimpin Joko Widodo justru mencederai demokrasi yang dibangun sejak Reformasi.
"Kita tidak mau reformasi yang beberapa puluh tahun usianya sudah dikorupsi oleh yang namanya Jokowi," seru seorang orator dalam demonstrasi tersebut.
Sejak kontestasi Pemilu 2024 dimulai, Jokowi menjadi sasaran kritik banyak pihak karena dinilai telah melakukan pelanggaran konflik kepentingan dalam pencalonan diri anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai salah satu cawapres dalam Pemilu 2024.
Mulai dari intrik penetapan Gibran sebagai cawapres hingga yang terbaru adalah dugaan pengerahan penyelenggara negara seperti kepala desa, ASN, TNI, dan Polri untuk menghimpun dukungan salah satu paslon menjadi muara kritiknya.
Gelombang kritik kepada Jokowi kemudian membesar, setelah sejumlah universitas di Indonesia menyatakan sikap menentang situasi politik jelang Pemilu 2024 yang dirasa kian mengkhawatirkan.
Pada Rabu, 1 Februari 2024 lalu, guru besar dan sivitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) mengumumkan Petisi Bulaksumur kepada publik. Isi petisi tersebut, Jokowi sebagai presiden telah melakukan penyimpangan.
"Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada," kata Koentjoro, Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, yang membacakan petisi tersebut kala itu.
Setelah pembacaan Petisi Bulaksumur dilakukan, universitas-universitas lain mengikuti apa yang dilakukan sivitas akademika UGM dengan menyatakan kritik secara terbuka terhadap Jokowi dan situasi politik hari ini.
Tak hanya universitas, sejumlah organisasi masyarakat, seperti Jaringan Nasional Gusdurian, dan sejumlah mantan pejabat lembaga negara, seperti KPK dan Komnas HAM, turut ambil suara memberikan kritik kepada Jokowi pada Februari ini.
Hari ini, aliansi masyarakat sipil yang mengatasnamakan dirinya Jagad Gugat Demokrasi, turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi menuntut Jokowi supaya mundur dari kursi kepresidenan.
Perwakilan Jagad Gugat Demokrasi, Sana Ullaili, menuturkan bahwa demonstrasi tersebut dimaksudkan untuk merespons pemerintahan Jokowi selama dua periode terakhir yang dianggap jauh dari sifat demokratis.
"Ternyata selama dua periode kita ditipu habis dengan gimik-gimik pencitraan kerakyatan, kedaulatan, dan hijack narasi dari berbagai macam isu," ujarnya di sela-sela demonstrasi berlangsung.
Sana juga menuturkan bahwa massa yang berkumpul di Gejayan hari ini tak hanya menyoroti situasi Pemilu yang tinggal menghitung hari, tetapi juga masalah demokrasi yang lebih substantif di masa pemerintahan Jokowi.
Masalah tersebut, tutur Sana, adalah dua periode pemerintahan Jokowi yang dinilai tidak mengakui, menghormati, dan melaksanakan prinsip-prinsip HAM.
"Sehingga Jokowi menunjukkan kuasanya sebagai penguasa negeri dengan cara yang sangat maskulin," ujar Sana.
"Karena [Jokowi] menguasai tidak hanya sumber daya alam, tapi juga menguasai seluruh nalar kritis elemen negeri ini."
Oleh karenanya, Jagad Gugat Demokrasi memberikan 10 poin tuntutan. Salah satunya adalah tuntutan agar Presiden Joko Widodo segera mundur.
“Seluruh elemen gerakan masyarakat sipil harus memastikan ia [Jokowi] turun sebelum masa jabatannya. Saatnya kita turun ke jalan untuk menghentikan tirani Jokowi, memberikan pengadilan HAM kepada Jokowi," kata dia.
Berlangsung Damai
Massa aksi yang datang ke demonstrasi Jagad Gugat Demokrasi tersebut mengawali tahapan aksi dengan melakukan long march dari Bundaran UGM menuju pertigaan Gejayan di Jalan Affandi, Sleman Yogyakarta.
Sesaat setelah memulai perjalanan, seorang orator menyerukan kepada seluruh massa aksi untuk menjaga ketertiban selama demonstrasi berlangsung.
“Ini adalah aksi damai. Kita harus menunjukkan bahwa Kapanewon salah,” ujarnya.
Sehari sebelum demonstrasi berlangsung, sebuah surat dengan kop Kapanewon Depok tersebar. Isinya, imbauan dan arahan bagi Lurah Caturtunggal untuk memberikan perhatian ekstra pada demonstrasi pada hari ini.
“Kegiatan ini memiliki potensi kerawanan yang dapat menimbulkan risiko gangguan trantibum di tengah masyarakat,” tulis surat tersebut.
Tak hanya itu, surat yang ditandatangani Panewu Depok Wawan Widiantoro tersebut juga menginstruksikan agar Lurah Caturtunggal mengerahkan personel Jaga Warga selama demonstrasi berlangsung.
“Dimohon bantuan Saudara untuk menggerakkan Personil Jaga Warga di setiap mulut-mulut gang pada wilayah padukuhan di sekitaran kawasan dimaksud,” tulisnya.
Massa membubarkan diri sekitar pukul 18.00 WIB tanpa ada kericuhan yang terjadi.
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Anggun P Situmorang