tirto.id - Kelompok pemilih pemula dianggap punya potensi memengaruhi hasil Pemilu 2024, baik dalam pilpres maupun pemilihan anggota legislatif. Potensi tersebut terlihat dari besarnya jumlah pemilih pemula di Pemilu 2024.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, dari total pemilik hak pilih di Pemilu 2024 yang sudah masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT), sebanyak 31,23 persen merupakan anak muda usia 30 tahun ke bawah. Sebagian dari mereka merupakan pemilih pemula.
DPT Pemilu 2024 yang sudah ditetapkan KPU memuat daftar nama 204.807.222 pemilik hak pilih. Dilihat dari segi usia, golongan usia di atas 30 tahun memang masih dominan.
Namun, jumlah pemilih muda beusia di bawah 30 tahun yang setara sepertiga dari DPT Pemilu 2024 menandakan kelompok ini punya pengaruh besar terhadap hasil pemilihan.
Merujuk kepada data KPU RI, berikut komposisi DPT Pemilu 2024 dari segi usia:
- Usia 40 tahun ke atas: 98.448.775 pemilih (48,07%)
- Usia 31-40 tahun: 42.398.719 pemilih (20,70%)
- Usia 17-30 tahun: 63.953.031 (31,23%)*
*Ditambah pemilih usia jelang 17 tahun sebanyak 6.697 jiwa. Kelompok ini merupakan mereka yang berusia di bawah 17 tahun, tetapi sudah menikah.
KPU juga menyajikan data komposisi pemilih Pemilu 2024 berdasarkan generasi sebagai berikut:
- Pre-Boomer (lahir sebelum 1945): 1,74%
- Baby Boomer (lahir 1946-1964): 13,73%
- Gen X (lahir 1965-1980): 28,07%
- Milenial (lahir 1981-1996): 33,6%
- Gen Z (lahir 1997 dan setelahnya): 22,85%
Dari data di atas, bisa diketahui bahwa jumlah pemilih muda dengan usia 17 sampai 26 tahun (Gen Z) menembus angka 46 juta jiwa. Di rentang usia ini, jumlah pemilih pemula pada pemilu 2024 kemungkinan cukup besar, terutama dari kalangan warga berumur 17-21 tahun.
Siapa Saja yang Termasuk Pemilih Pemula?
Pemilih Pemula merupakan sebutan bagi mereka yang baru pertama mengikuti pemilihan umum atau menggunakan hak pilihnya di pemilu.
Mengutip buku PedomanPendidikan Pemilih terbitan KPU (2015), dalam definisi Komisi Pemilihan Umum, pemilih pemula adalah kelompok warga yang memasuki usia memilih dan akan menggunakan hak pilihnya untuk pertama kali di pemilu atau pemilukada.
UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 198 ayat 1 mengatur bahwa Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara genap berumur 17 tahun atau sudah pernah kawin, mempunyai hak memilih dalam pemilihan umum.
Mengingat siklus pemilihan umum di Indonesia berada dalam rentang lima tahun sekali, mayoritas pemilih pemula berusia 17-21 tahun. Kelompok ini didominasi pelajar, angkatan kerja muda lulusan SMA, dan mahasiswa.
Warga berusia kurang dari 17 tahun tapi sudah punya hak pilih karena menikah juga bisa masuk kategori pemilih pemula. Ada pula pemilih pemula dengan usia di atas 21 tahun, yakni mereka yang belum menggunakan hak pilih pertamanya pada pemilu sebelumnya.
Peran Pemilih Pemula dalam Pemilu 2024
Karena latar belakang usianya masih muda, pemilih pemula termasuk kelompok pemilih yang menjadi sasaran strategis kampanye politik. Anak muda, terutama yang baru akan mengikuti pemilu pertama kali umumnya belum punya afiliasi kuat dengan partai maupun kandidat tertentu, sehingga lebih mudah ditarik simpatinya.
Selain itu, jumlah pemilih pemula pun cukup besar karena Indonesia tengah mengalami bonus demografi. Keberhasilan menggaet suara pemilih pemula berpotensi menghasilkan kemenangan bagi kandidat di Pemilu 2024.
Di sisi lain, pemilih pemula amat layak dijadikan target strategis untuk pendidikan politik. Mereka perlu diarahkan untuk berpartisipasi di pemilu sebagai pemilih cerdas.
Dalam konteks penggunaan hak pilih, menjadi pemilih rasional dan kritis adalah peran pemilih pemula yang paling diharapkan.
Sebabnya, kualitas demokrasi di Indonesia bakal semakin membaik jika jumlah pemilih rasional dan kritis dominan. Kehadiran dua tipe pemilih itu membuka peluang terpilihnya kandidat berkualitas. Maraknya politik uang, penyebaran hoaks, hingga politik identitas yang dapat merusak demokrasi juga lebih mungkin ditangkal.
Firmanzah dalam Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas (2008) membagi jenis pemilih setidaknya menjadi 4 tipe, yakni sebagai berikut:
1. Pemilih rasional
Pemilih Rasional adalah pemilih yang memperhatikan kemampuan kandidat dan program partai politik. Pemilih rasional mengesampingkan aspek ideologis dan lebih mengganggap penting keselarasan antara janji kampanye dengan penyelesaian masalah rakyat.
2. Pemilih Kritis
Pemilih kritis adalah tipe pemilih yang memiliki perhatian kepada 2 aspek, yakni kapasitas kandidat ataupun kualitas program partai dan isu ideologis. Pemilih kritis mementingkan kesesuaian antara ideologi (sistem nilai) dan program kerja juga kualitas kandidat.
3. Pemilih Tradisional
Pemilih tradisional bisa dibilang sebagai pemilih loyal. Pemilih tradisional ialah tipe pemilih dengan kecenderungan ideologi atau afiliasi politik kuat ke salah satu kelompok. Pemilih jenis ini tidak mementingkan kualitas dan program kandidat atau partai. Para pemilih dari kategori ini tidak hanya mudah dimobilisasi saat kampanye, tetapi gampang pula terkena pengaruh politik identitas.
4. Pemilih Skeptis
Pemilih skeptis tidak memiliki afiliasi ideologis/politik maupun perhatian besar kepada program atau kualitas kandidat. Pemilih tipe ini mudah menjadi golongan putih (golput) atau malah jadi sasaran politik uang.
Untuk mendorong pemilih pemula menjadi pengguna hak pilih yang rasional atau kritis, dibutuhkan pendidikan yang meningkatkan kualitas literasi politik mereka.
Kembali mengutip publikasi dari KPU (2015), literasi politik mencakup pengetahuan dan keterampilan untuk mendukung partisipasi di pemilu yang memperkuat sistem demokrasi.
Literasi politik yang berkualitas akan membuat para pemilih paham betul bahwa proses politik di pemilu amat berpengaruh pada kehidupannya dan masyarakat. Dengan begitu, pemilih memahami, keputusannya di TPS harus dilandasi pertimbangan matang. Pemilih juga bisa lebih punya perhatian pada kualitas kinerja para pemenang pemilu, sekaligus mewaspadai keberadaan para politikus korup.
Melalui Buku Pintar Pemilu dan Demokrasi (2020), KPU menjelaskan pendidikan pemilih diharapkan membuat masyarakat berperan lebih aktif sebagai warga negara baik dalam konteks pemilu maupun proses politik yang lebih luas.
Maka itu, pendidikan untuk meningkatkan literasi politik penting diberikan kepada pemilih pemula agar mereka tumbuh jadi warga negara yang aktif, kritis, sekaligus memperkuat demokrasi.
Sebagai generasi yang lahir di era digital, pemilih pemula sudah terbiasa menggunakan internet dan media sosial. Maka itu, mereka juga berpotensi lebih mudah diberi arahan untuk menangkal penyebaran hoaks, berita bohong, serta disinformasi yang kerap kali membanjiri media sosial pada periode mendekati pemilu.
Peranan pemilih pemula dalam pemilu dengan demikian seharusnya tidak terbatas pada penggunaan hak pilih saat hari pencoblosan.
Pemilih pemula juga penting untuk berperan jadi pemilih kritis dan rasional yang menolak berbagai praktik buruk perusak demokrasi, seperti penyebaran hoaks atau disinformasi, politik uang, politik identitas, dan sejenisnya. Pemilih pemula perlu aktif pula menjadi bagian dari gerakan anti-politikus korup dan busuk.
Editor: Addi M Idhom