tirto.id - Media sosial akan menjadi medan tempur yang penting jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pendeknya masa kampanye, serta efektivitas media sosial untuk menarik atensi masyarakat, khususnya anak-anak muda.
Tak heran, penggunaan media sosial sebagai medium kampanye calon presiden (capres) meningkat. Dalam temuannya yang dirangkum dalam Jurnal Lemhannas RI, Dosen Hubungan Internasional Universitas Jayabaya Sellita melihat adanya tren kenaikan pemanfaatan media sosial pada Pemilu 2019 dibanding Pemilu 2014. Dalam jurnal bertajuk "Media Sosial dan Pemilu: Studi Kasus Pemilihan Presiden Indonesia" disimpulkan kalau hal ini tidak lepas dari meningkatnya penggunaan media sosial yang semakin besar setiap tahunnya.
Data yang dihimpun We Are Social memang menunjukkan peningkatan pengguna media sosial di Indonesia. Tahun 2014, masyarakat Indonesia yang meggunakan media sosial ada 62 juta orang. Tahun 2019, jumlahnya naik lebih dari dua kali lipat menjadi 150 juta orang. Berdasar laporan teranyarnya, We Are Social mencatat tahun 2023 pengguna media sosial di Indonesia sudah mencapai 167 juta orang. Kondisi ini mengindikasikan akan semakin berpengaruhnya media sosial pada Pemilu 2024, jika mengikuti tren dua pemilu sebelumnya, seperti yang disebut dalam studi.
Secara khusus, Sellita dalam jurnal tersebut juga mengatakan kalau media sosial dimanfaatkan untuk menarik perhatian para pemilih muda.
Pada tahun 2019, kedua kandidat memiliki taktik dengan menarik pemilih baru seperti pemilih muda melalui kampanye media sosial. Tim kampanye menciptakan konten terbaik di media sosial untuk menarik perhatian pemilih muda," begitu tulisnya di bagian pembahasan hasil studi.
Pada Pemilu 2024, data Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) menunjukkan kalau persentase pemilih muda akan mengambil bagian dominan, lebih dari 50 persen. Jabarannya, pemilih dari generasi Milenial (mereka yang lahir antara tahun 1981-1996) berjumlah 68,82 juta jiwa atau setara dengan 33,6 persen pemilih nasional. Sementara Generasi Z alias Gen Z (mereka yang lahir antara tahun 1997-2012) yang tercatat KPU ada 46,8 juta jiwa atau setara dengan 22,85 persen.
Sementara analisis Rangga Eka Sakti, dalam tulisannya terhadap survei Litbang Kompas 25 Januari - 4 Februari 2023, menyebut bahwa perilaku bermedia sosial erat hubungannya dengan usia. Semakin tua usia orang, semakin jarang dia menggunakan media sosial.
Sebaliknya media sosial kian akrab dengan pemilih muda. Oleh sebab itu dia mengatakan, akan menjadi tantangan bagi partai politik yang tidak memaksimalkan media sosial, mengingat sebagian besar pemilih pada Pemilu 2024 masuk demografi pemilih muda.
Berangkat dari besarnya jumlah pemilih muda dan makin berkembangnya media sosial dalam beberapa tahun terakhir, Tim Riset Tirto coba melihat keterkaitan antara dua variabel ini dalam konteks menuju Pemilu 2024.
Lewat kolaborasi dengan Jakpat, kemudian dirancang sebuah survei untuk melihat hubungan dan dampak dari penggunaan media sosial terhadap presepsi anak muda. Dalam survei ini, responden yang dipilih adalah para pemilih pemula yang belum pernah "nyoblos" dalam pemilu sebelumnya dan baru akan menyumbang suara pada Pemilu 2024. Para responden ini berusia 17-21 tahun.
Jakpat sendiri adalah penyedia layanan survei daring yang memiliki lebih dari 1,2 juta responden.
Metodologi
Survei dilakukan pada 4-5 Juli 2023 dengan melibatkan 1500 orang responden (tersebar di 34 provinsi).
Wilayah riset: Indonesia
Instrumen penelitian: Kuesioner daring dengan Jakpat sebagai penyedia platform
Jenis sampel: Non-probability sampling
Margin of Error: Di bawah 3 persen
Profil Responden
Dari keseluruhan responden survei, responden berusia antara 17-19 tahun jumlahnya 696 orang (46,4 persen) dan yang berusia antara 20-21 tahun sebanyak 804 orang (53,6 persen). Sementara untuk jenis kelamin responden, proporsinya cukup berimbang, 741 responden pria berbanding 759 responden perempuan (49,4 persen berbanding 50,6 persen).
Kebanyakan responden berdomisili di Pulau Jawa, jumlahnya mencapai 72,68 persen. Mayoritas tinggal di Provinsi Jawa Barat, sebanyak 25,27 persen, diikuti Jawa Timur (12,6 persen), Jawa Tengah (12,4 persen), dan DKI Jakarta (11,27 persen).
Di luar pulau Jawa, responden berasal dari Sumatra (16,5 persen), Kalimantan (5,13 persen), Sulawesi (3,55 persen), Bali dan Nusa Tenggara 2 persen, dan Maluku-Papua (0,54 persen).
Mengingat kelompok usia responden yang masih terhitung muda, mayoritas dari mereka adalah mahasiswa (45,27 persen) dan pelajar (23,27 persen). Selain itu terdapat sekitar 15 persen responden yang mengaku belum memiliki pekerjaan. Sementara sebagian kecil yang sudah masuk dunia profesional paling banyak adalah wiraswasta (2,6 persen) dan mereka yang bekerja di sektor Food and Beverage (2,33 persen).
Sejalan dengan usia dan profesi responden, jenjang pendidikan terakhir kebanyakan responden adalah SMA/K (85,27 persen). Diikuti kemudian oleh mereka dengan latar pendidikan SMP (9,87 persen), dan yang telah menyelesaikan S1 (1,73 persen), atau D3 (0,93 persen), serta D1 (0,13 persen) mengikuti di bawahnya.
Aktif dan Tertarik dengan Politik
Terkait dengan ketertarikan responden terhadap politik, hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas responden mengaku secara aktif mencari informasi terkait politik dan tertarik dengan dinamika politik dalam negeri.
Kebanyakan menyatakan "cukup tertarik" dengan isu-isu politik, sebesar 46,08 persen. Namun secara umum, jika menghitung yang menjawab tertarik dan cukup tertarik dan aktif mencari informasi, total responden yang tertarik dengan isu politik dan mencari informasi secara aktif jumlahnya lebih dari 73 persen. Hanya kurang lebih sekitar 26 persen responden yang tidak tertarik dan tidak aktif mencari informasi soal politik.
Hal ini menunjukkan bahwa secara umum, Gen Z atau khususnya pemilih pemula secara umum memiliki ketertarikan terhadap isu-isu politik.
Sebelumnya, jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas Agustus 2022 lalu terhadap 502 responden berusia antara 17-35 tahun, menemukan bahwa lima dari 10 responden mengaku jarang mengikuti pemberitaan politik.
Menurut survei tersebut, terdapat 16 persen yang mengaku sering mengikuti isu politik dan 9,4 persen yang mengaku selalu mengikuti. Persentase mereka yang punya ketertarikan lebih dengan isu politik ini berada di kisaran 25-27 persen, sedikit lebih rendah dari temuan survei Tirto bersama Jakpat. Namun perlu diperhatikan bahwa ada perbedaan jumlah responden dan usia responden dalam kedua survei ini.
Kembali ke survei Tirto terkait kanal yang digunakan responden untuk mendapatkan informasi politik. Pertanyaan survei ini diberikan kepada 1.109 responden yang menjawab aktif mencari informasi politik di pertanyaan sebelumnya.
Tak terlalu mengejutkan, menurut hasil survei, media sosial menjadi sarana utama generasi muda untuk mencari informasi soal isu-isu politik, dipilih oleh lebih dari 90 persen responden. Tak ada kanal lain yang proporsi pilihan respondennya mendekati media sosial, menunjukkan betapa pentingnya media sosial bagi pemilih pemula dalam mencari informasi terkait isu politik.
Mengekor di belakangnya, berita daring di berbagai platform menjadi sarana mendapat informasi politik dengan proporsi 67,8 persen. Televisi juga masih menjadi sarana untuk mendapat informasi seputar politik, dengan proporsi sekitar 51 persen.
Centre for Strategic and International Studies (CSIS) juga sempat menyampaikan temuan serupa. Berdasar hasil survei yang mereka lakukan pada tahun 2022, dengan responden sekitar 1.200 orang, usia antara 17-39 tahun, didapatkan 59 persen anak muda mengaku menjadikan media sosial sebagai sumber informasi utama. Jumlahnya lebih rendah dari temuan Tirto, tapi perlu diperhatikan bahwa ada perbedaan jumlah responden dan usia responden dalam kedua survei ini.
Namun, dibandingkan dengan tahun 2018, angka responden yang memilih media sosial sebagai sumber informasi utama di survei CSIS ini naik signifikan. Kala itu, CSIS mencatat kebanyakan anak muda masih menjadikan televisi sebagai sumber informasi utama (41,3 persen), sementara media sosial baru dimanfaatkan oleh 39,5 persen anak muda sebagai sarana informasi utama.
"Media sosial pada level tertentu diprediksi akan mempengaruhi perubahan perilaku anak muda dalam memilih capres dan partai politik," ucap Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes saat diwawancarai Tirto pada Maret 2023 lalu.
Kembali ke survei Tirto dengan Jakpat. Dari 1.005 responden yang mengatakan menggunakan media sosial untuk mencari informasi politik, Tirto memetakan platform media sosial apa yang paling banyak dimanfaatkan.
Hasilnya, Instagram menjadi media sosial yang paling banyak digunakan untuk mencari informasi dan isu politik. Setidaknya ada 71 persen responden yang mengaku menggunakan Instagram untuk mendapat informasi seputar politik.
Di bawahnya ada tiga platform media sosial yang cenderung sama kuat sebagai sarana penyuplai informasi politik anak muda, yakni TikTok, YouTube, dan Twitter.
Perlu diketahui bahwa platform lain yang juga dimanfaatkan untuk mendapat informasi politik adalah pencarian di Google, Quora, dan situs blog yang masuk kategori lainnya dan proporsinya sangat kecil.
Sementara itu, terkait bentuk konten media sosial yang disukai responden, kebanyakan responden, sekitar 52,84 persen, menyukai konten dalam bentuk unggahan video dibanding unggahan biasa dengan takarir (caption).
Aktivitas di Media Sosial Bisa Pengaruhi Pilihan dalam Pemilu
Baik partai politik beserta calon legislatifnya (caleg) maupun para bakal capres, nampaknya harus serius mengelola dan mencitrakan diri di media sosial.
Sebab, menurut hasil survei Tirto bersama Jakpat, para pemilih pemula menyatakan bahwa aktivitas figur dan partai politik di media sosial akan berpengaruh terhadap sentimen mereka terhadap figur ataupun partai politik. Jawaban terbanyak, sekitar 40 persen responden, menjawab bahwa aktivitas figur dan partai politik di media sosial cukup mempengaruhi sentimen mereka.
Mengikuti kemudian, 29,85 persen responden menjawab mempengaruhi sentimen, dan 21,69 persen responden menjawab sangat mempengaruhi sentimen. Artinya, mayoritas responden yang mengakses informasi lewat media sosial, lebih dari 90 persen, menyatakan bahwa aktivitas figur dan partai politik di media sosial mempengaruhi sentimen mereka.
Hanya sekitar tujuh persen responden pemilih pemula yang mengatakan aktivitas figur dan partai politik di media sosial tidak mempengaruhi sentimen mereka.
Hal ini juga yang mungkin menjadi salah satu alasan populernya salah satu bakal calon presiden, Prabowo Subianto di kelompok Gen Z.
Menariknya, tidak hanya berpengaruh terhadap sentimen, aktif di sosial media juga membuat para pemilih pemula merasa "dekat" dengan figur politik maupun partai politik.
Hampir setengah responden, sekitar 48,6 persen responden, merasa cukup "dekat" dengan politisi yang banyak beraktivitas di media sosial. Terdapat juga 20,2 persen responden yang merasa lebih "dekat" dengan sosok-sosok politik yang rajin muncul di lini masa sosial media mereka.
Sementara hanya ada 31,2 persen responden yang tidak terpengaruh dengan aktivitas politisi di media sosial.
Tidak hanya merasa dekat, figur politik yang aktif dan banyak diikuti oleh pemilih muda di media sosial, berpeluang mendulang suara dari kampanye di dunia maya tersebut.
Saat ditanya tentang kemungkinan memilih kandidat figur politik yang aktif di media sosial, dibanding mereka yang tidak aktif atau bahkan tidak punya media sosial, kebanyakan responden cenderung menyumbang suara ke mereka yang banyak beraktivitas di media sosial.
Sekitar 54 persen responden mengaku ada peluang yang cukup tinggi untuk memilih figur politik yang mereka ikuti di media sosial dan aktif di media sosialnya dibanding figur politik yang tidak aktif di media sosial. Terdapat pula 21,4 persen responden yang mengaku berpeluang tinggi untuk memilih figur yang aktif di media sosial dan 10,85 persen dengan kemungkinan sangat tinggi mencoblos figur politik populer di sosial media.
Artinya, lebih dari 85 persen responden pemilih pemula menyatakan secara umum bahwa figur politik yang aktif di media sosial punya peluang lebih tinggi untuk mendapatkan suara mereka di Pemilu 2024.
Hanya ada kurang dari 13 persen pemilih pemula yang mengatakan aktivitas di media sosial tidak akan mempengaruhi pilihan mereka.
Terakhir, di samping potensinya yang besar untuk menarik atensi pemilih muda, media sosial juga dapat menjadi solusi bagi para politikus untuk menyikapi masa kampanye yang singkat.
Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas Asrinaldi, dalam artikelnya untuk The Conversation memaparkan setidaknya dada tiga hal yang membuat media sosial menjadi opsi efektif efisien untuk berkampanye.
Pertama, media sosial bisa menjadi sarana untuk mendapatkan banyak massa tanpa perlu terjun langsung ke lapangan. Kemudian media sosial juga bisa mengurangi praktik politik uang di lapangan. Ketiga, media sosial bisa meningkatkan kualitas kampanye dengan menonjolkan sisi pendidikan politik.
Yang pasti, hasil akhirnya tergantung bagaimana para figur politik dan partai politik menggunakan media sosial untuk mendulang suara, terutama dari pemilih pemula.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty