tirto.id - Berita hoaks dan disinformasi sudah bukan lagi barang baru di dunia online (daring). Sayangnya, persebaran informasi ini seolah bersifat semakin sporadis dan sulit diredam.
Di Indonesia, selama April 2019 saja, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengidentifikasi 486 hoaks, 209 di antaranya masuk kategori politik. Ironisnya, Kominfo mencatat bahwa jumlah hoaks dan disinformasi terus meningkat menjelang dan seusai pemilu pada 17 April lalu.
Pertanyaannya: Bagaimana informasi-informasi hoaks ini dapat menyebar dan siapakah pelakunya?
Survei Mengenai Penyebaran Informasi dan Hoaks
Untuk memahami penyebaran informasi, hoaks dan preferensi politik, tim riset Tirto bersama dengan fellow dari International Center for Journalist (ICFJ) Astudestra Ajengrastri melakukan survei pada bulan Februari 2019. Survei ini dilakukan terhadap 1.586 responden berusia 17 tahun ke atas dan terbatas hanya di pulau Jawa serta menggunakan 18 klaim serta gambar hoaks sebagai salah satu alat ukurnya.
Dari survei ditemukan bahwa gender ternyata tidak berpengaruh langsung terhadap penyebaran informasi dan hoaks. Sebaliknya, usia ternyata memiliki korelasi positif terhadap pengaruh penyebaran kedua hal tersebut.
Orang Tua Cenderung Percaya dan Mem-forward Pesan
Grafik di bawah menunjukkan adanya hubungan positif antara peningkatan usia dengan peningkatan kepercayaan terhadap informasi yang berasal dari WhatsApp. Secara keseluruhan, sebanyak 40,92 persen dari total responden (n=1.586) percaya terhadap informasi yang berasal dari WhatsApp.
Adanya hubungan positif antara usia dan tingkat kepercayaan terhadap informasi sesuai dengan keinginan responden untuk membagikan berita dari satu grup ke grup lainnya. Grafik di bawah menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu peningkatan usia membuat seseorang semakin mudah membagikan informasi dari satu grup ke grup lainnya. Sementara itu, sebanyak 29,82 persen dari total jumlah responden (n=1.586) membagi kembali informasi yang mereka peroleh dari grup WhatsApp.
Dari 18 klaim maupun gambar hoaks yang dibagikan kepada responden, urutan hoaks yang disebarkan berdasarkan banyaknya persentase jumlah penyebar adalah klaim konspirasi imunisasi dan vaksin (31,08 persen); gambar Zohri menggunakan bendera Polandia (20,05 persen); honorer K2 bisa diangkat PNS tanpa syarat (17,78 persen); pengungsi Rohingya di Myanmar (14,88 persen); Indonesia mengirimkan 14 pasukan TNI ke Jalur Gaza Palestina (12,3 persen); berita palsu polling Google soal kepemimpinan Jokowi (11,98 persen); dan klaim Prabowo soal biaya LRT termahal (10,91 persen).
Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa isu kesehatan mendapat posisi tertinggi, disusul kemudian oleh isu nasionalisme, ekonomi, agama dan politik.
Penyebaran Informasi dan Preferensi Politik
Untuk mendapat pemahaman yang lebih mendalam mengenai penyebaran informasi, hoaks dan preferensi politik, kami kembali melakukan survei pada tanggal 25 April 2019 terhadap 1.502 responden berusia 16 tahun ke atas.
Survei ini dilakukan atas kerjasama antara Tirto dan Jakpat, penyedia layanan survei daring yang telah memiliki 321.693 responden terdaftar secara daring. Survei ini ternyata memberikan hasil yang cukup berbeda dengan hasil survei offline (luring) pada Februari 2019.
Untuk pertanyaan apakah responden pernah membagikan satu berita dari satu grup WhatsApp ke grup WhatsApp lainnya, sebesar 41,01 persen responden menjawab: Ya. Padahal, pada survei Februari, hanya 29,82 persen responden yang membagikan berita. Kami menduga hal ini terjadi karena pada survei Februari ada pembatasan waktu survei sepanjang satu pekan. Sebaliknya, di survei daring, kami tidak membuat batasan waktu.
Perbedaan lain antara survei luring sebelum pemilu dan survei daring pasca-pemilu juga terlihat dari pengaruh usia terhadap kegiatan seseorang untuk menyebarkan berita dari satu grup WhatsApp ke grup WhatsApp lainnya. Pada survei daring, terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan antara satu kelompok usia dengan kelompok usia lainnya.
Sedangkan untuk jenis berita yang disebarkan, mayoritas responden memilih isu jual beli, disusul kesehatan, politik kemudian informasi lalu lintas. Dalam hal ini, kesehatan menjadi satu-satunya tema yang bersinggungan dengan tema yang paling banyak disebarkan pada survei sebelumnya.
Logika Penyebaran Hoaks
Dalam wawancara dengan Tirto (7/5), Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit—mesin analisis media sosial—menyebutkan umumnya ada dua jenis orang yang menyebarkan hoaks. Pertama, orang yang percaya akan kebenaran informasi yang disebarkan. Yang kedua, orang yang tidak peduli dengan kebenaran informasi asalkan informasi tersebut berasal dari orang yang dipercaya.
Tipe kedua, lanjut Fahmi, umumnya lebih sering terjadi untuk kasus penyebaran berita. Ketika ditanya mengenai apakah penyebaran hoaks lebih sering terjadi secara generik atau melalui bot, Fahmi mengungkapkan bahwa penyebaran secara generik (tanpa bot) lebih dominan.
Untuk mencari batasan antara informasi/berita dan hoaks, survei luring kami menyertakan Cognitive Reflection Test (CRT) bagi para responden untuk survei luring pada bulan Februari. Sebagai catatan, CRT ini sendiri dikembangkan oleh psikolog Shane Frederick pada tahun 2005 di Princeton untuk menguji tingkat rasionalitas seseorang. Hasilnya, hanya ada 16 orang (1,01 persen) yang menjawab benar dan dari 16 orang tersebut, sebanyak delapan orang menjawab percaya terhadap informasi dari WhatsApp. Delapan orang lainnya, sementara itu, menjawab tidak percaya.
Yang menarik, angka menyebarkan hoaks pada ke-16 responden itu menurun tajam. Dari 18 klaim dan gambar hoaks yang dibagikan, ke-16 orang tersebut tidak menyebarkan delapan berita hoaks.
Berita hoaks yang tidak disebarkan adalah berita tentang pengungsi Rohingnya, bendera PKI di Bali, Buni Yani menyesal telah mencelakai Ahok, Indonesia mengirim 14 Pasukan TNI ke Jalur Gaza Palestina, Ijazah SMA Jokowi Palsu, BJ Habibie mengatakan Prabowo bukan lawan berat Jokowi, Lawan terberat Jokowi itu hoaks dan fitnah, serta Prabowo: Pemindahan Kedutaan Australia Bukan Masalah Bagi RI.
Lebih lanjut, sebanyak empat orang dari 16 orang tersebut menyebarkan berita hoaks tentang konspirasi imunisasi dan vaksin. Kemudian, tiga orang lagi menyebarkan Berita Palsu Polling Google Soal Kepemimpinan Jokowi. Klaim Prabowo Soal Biaya LRT Termahal disebarkan oleh dua orang dan dua orang lainnya menyebarkan hoaks tentang Jokowi akan menyita Rp7.000 triliun uang koruptor di Swiss.
Selain penjelasan Ismail Fahmi, pendekatan kualitatif bisa dijadikan cara untuk memahami logika di balik penyebaran hoaks. Hal ini terlihat dari berita yang dinyatakan hoaks oleh Kominfo. Jika merunut penelusuran komentar atas berita hoaks ini, umumnya para komentator berasal dari orang yang memiliki afiliasi politik pada salah satu calon presiden dan wakil presiden. Mereka juga hanya mengamplifikasi berita tersebut tanpa memeriksa kebenarannya.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara