tirto.id - “Saya mengajak kepada kita semuanya untuk berani dan melawan yang namanya hoaks, berani dan melawan kabar fitnah dan kabar bohong,” ujar Joko Widodo di Stadion Kridosono, Kota Yogyakarta, Sabtu (23/03), seperti dikutip Kompas.com.
Hal senada diungkapkan oleh Prabowo di Hall Sport Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (6/2/2019). Menurutnya, penyebaran kebohongan dan hoaks merupakan tindakan tidak arif baik bagi warga negara maupun pimpinan.
Banyaknya penyebaran hoaks menjelang pemilu 2019 dialami kedua belah pihak. Joko Widodo, di antara beberapa hal, terkena hoaks terkait PKI. Sedangkan Prabowo terkena hoaks terkait penggunaan kacamata Google saat debat, foto bersama cucu PKI dan utang Prabowo.
Selain hoaks yang terkait langsung dengan calon presiden, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat bahwa pihaknya telah menerima data sekitar 610 konten hoaks. Dari angka tersebut, 187 di antaranya sudah dilaporkan kepada masing-masing platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube.
Bagaimanakah hubungan hoaks dengan pilihan masyarakat?
Hoaks dan Elektabilitas
Keterkaitan antara hoaks dan elektabilitas diungkapkan oleh juru bicara Tim Kampanye Nasional Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, Garda Maharsi. Dalam diskusi hasil survei Litbang Kompas Rabu (20/3), Garda menyebut pasangan dengan nomor urut satu tersebut elektabilitasnya menurun akibat hoaks dan fitnah yang belakangan kian masif.
Hasil survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas, Alvara Research Center, SMRC, dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada periode September-November 2018 menunjukkan pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin unggul di semua survei dengan selisih antara 19,9% (Litbang Kompas) dan 30,6% (SMRC). Dari keempat lembaga survei tersebut, posisi Jokowi paling unggul di survei yang dilakukan oleh SMRC dan paling lemah di survei Litbang Kompas. Sementara itu, responden yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) berada di kisaran 9,8%-17,6%.
Selama periode Februari-Maret 2019, lembaga survei Litbang Kompas, Alvara Research Center, SMRC, dan Indobarometer melakukan survei elektabilitas. Jika dibandingkan dengan periode September-November 2018, elektabilitas pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf menurun meski tetap unggul dibandingkan pasangan Prabowo dan Sandiaga.
Berdasarkan hasil dari keempat lembaga survei tersebut, selisih antara elektabilitas pasangan nomor urut satu dan pasangan nomor urut dua adalah 11,8% (Litbang Kompas) hingga 25,8% (SMRC). Hasil ini konsisten dengan periode sebelumnya, ketika selisih terkecil diperoleh dari hasil survei Kompas dan selisih terbesar dari hasil survei SMRC.
Perbandingan nilai dari dua periode tersebut menunjukkan kecenderungan penurunan elektabilitas Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, peningkatan elektabilitas Prabowo-Sandiaga dan penurunan undecided voters. Tren penurunan undecided voters juga terlihat dari hasil survei Lingkaran dan Median, sementara pada hasil survei dari Populi ada peningkatan pada Desember 2018, sebelum akhirnya menurun kembali pada bulan Januari 2019.
Jika dilihat dari selisih antara elektabilitas kedua pasangan periode Februari-Maret 2019 yang berada antara 11,8%-25,8%, undecided voters menjadi salah satu kunci kemenangan Pemilu 2019.
Motivasi Penalaran dalam Pilihan Politik
Benarkah hoaks memiliki keterkaitan dengan elektabilitas salah satu calon dan bagaimana hoaks ataupun informasi memengaruhi pilihan masyarakat? Joanne Miller, Kyle Saunders, dan Christina Farhart (2015) menyebut preferensi politik seseorang dipengaruhi apa yang mereka sebut sebagai motivasi penalaran (motivated reasoning), yaitu bentuk penalaran yang mengombinasikan apa kecenderungan khusus ke arah/keyakinan tertentu dan informasi.
Hasil studi mereka terkait hoaks politik seperti Presiden Obama tidak lahir di Amerika Serikat, administrasi Bush mengetahui rencana serangan 9/11 sebelum terjadi dan John F. Kennedy dibunuh oleh CIA menunjukkan bahwa kepercayaan seseorang akan informasi tersebut dipengaruhi oleh preferensi politik mereka. Informasi yang mereka peroleh akan menyesuaikan apa yang mereka yakini, alih-alih mengubah keyakinan mereka.
Lebih lanjut, tingkat pendidikan akan membuat seseorang kian yakin bahwa apa yang dipercayainya adalah kebenaran objektif. Taber dan Lodge (2006) melakukan perbandingan diantara dua kelompok responden, yaitu yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan rata-rata terkait sebuah pernyataan.
Hasil dari studi mereka menunjukkan bahwa yang berpendidikan tinggi akan menguji suatu pernyataan dengan melihat asumsi-asumsi dari pernyataan tersebut dan bagaimana itu berelasi dengan apa yang mereka ketahui, sementara orang dengan pendidikan rata-rata akan melihat pada jumlah orang yang pro dan kontra.
Hasilnya, orang pendidikan tinggi akan melihat sebuah pernyataan sesuai dengan motivasi penalaran yang dimilikinya sementara orang pendidikan rata-rata, menerima perubahan sesuai dengan jumlah pro dan kontra.
Dalam konteks elektabilitas dan undecided voters, hasil riset Miller, Saunders dan Farhat maupun Taber dan Lodge mengindikasikan bahwa hoaks tidak memengaruhi para pemilih yang sudah memiliki motivasi penalaran kepada salah satu pasangan calon. Namun, informasi atau kejadian masih bisa memengaruhi orang-orang yang memang tidak punya preferensi politik dan asumsi terhadap salah satu pasangan calon.
Editor: Maulida Sri Handayani