tirto.id - Penyelenggaraan Pemilu serentak akan dilakukan pada tahun 2024. Salah satu ancaman serius dalam penyelenggaraan Pemilu adalah terjadinya money politic atau politik uang.
Berdasarkan hasil survei dari LSI (Lembaga Survei Indonesia) tahun 2019, hampir sebanyak 48 persen masyarakat beranggapan jika politik uang hal yang biasa.
Menurut Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Ratna Dewi Pettalolo, politik uang merupakan tantangan besar bagi seluruh stakeholder dalam membuat regulasi yang jelas sebagai salah satu syarat Pemilu demokratis.
“Tentu saja di dalamnya menyangkut bagaimana penindakan dan sanksi bagi pelaku politik uang,” tutur Ratna mengutip laman resmi DKPP.
Senada dengan Ratna, menurut anggota Bawaslu Kabupaten Penajam Paser Utara Mohammad Khazin, politik uang merupakan masalah setiap pemilu dan pilkada.
"Kami akan proses praktik politik uang yang dilaporkan masyarakat atau yang langsung ditemukan Bawaslu," kata Khazin mengutipAntara News.
Pengertian dan Bentuk Money Politic dalam Pemilu
Secara definisi, merujuk laman resmi KPK, politik uang (money politic) adalah sebuah upaya mempengaruhi pilihan pemilih (voters).
Bukan hanya sebatas pemilih saja, politik uang juga menyasar penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya.
Praktik tersebut memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya.
Pasalnya, politikus merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya mengembalikan modal yang keluar sepanjang masa kampanye.
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Amir Arief mengatakan, bahwa politik uang telah menyebabkan politik berbiaya mahal.
"Dari kajian kami, keberhasilan dalam pemilu atau pilkada 95,5 persen dipengaruhi kekuatan uang, sebagian besar juga untuk membiayai mahar politik. Kontestan harus mengeluarkan Rp5-15 miliar per orang untuk ini," ujar Amir mengutip laman KPK.
Dasar Hukum Larangan Politik Uang dalam Pemilu
Selain mahalnya biaya kampanye karena politik uang. Berdasarkan laman Bawaslu Kabupaten Tolitoli, dijelaskan jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu tahun 2019 di kisaran 19,4 persen hingga 33,1 persen.
Sehingga, ada kebijakan yang mengatur untuk mengantisipasi politik uang. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 93 huruf (e), yakni mencegah terjadinya praktik politik uang.
Cara kerja politik uang biasanya terjadi sejak sebelum kampanye, saat kampanye, masa tenang, hari pemungutan suara sampai hingga selesainya pemungutan suara.
Adapun bentuknya beraneka ragam. Baik berupa pemberian uang atau barang, maupun janji kepada para pemilih. Jika memberikan pilihan atau suaranya kepada calon tertentu.
Contoh Politik Uang dalam Pemilu
Politik uang pernah terjadi pada Anggota KPU Kota Prabumulih. Kasus tersebut diusut oleh (DKPP) Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Hal itu, terjadi dalam perkara nomor 123-PKE-DKPP/III/2021 yang terbukti menerima uang dari salah satu calon Anggota Legislatif dengan menjanjikan sebanyak 20 ribu suara.
Pada perkara 65-PKE-DKPP/VI/2020, DKPP menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tetap kepada Anggota KPU Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang terbukti menerima uang dan menjanjikan perolehan suara bagi calon Anggota Legislatif.
“Putusan DKPP ini menjadi warning sekaligus edukasi bagi penyelenggara agar bertindak berhati-hati dan sesuai kode etik pedoman perilaku penyelenggara Pemilu,” kata Ratna mengutip laman resmi DKPP.
Penulis: Sulthoni
Editor: Alexander Haryanto