tirto.id - “Jika Anda nonton film ini, saya punya pesan sederhana. Satu tolong jadikan film ini sebagai landasan untuk Anda melakukan penghukuman.”
Begitu isi pembuka dari film berjudul Dirty Vote, sebuah film dokumenter berdurasi 1 jam 57 menit yang membahas kecurangan Pemilu 2024. Dalam video tersebut, setidaknya 3 ahli hukum tata negara ikut dalam proses syuting film karya Dandhy Laksono itu, yakni Zainal Arifin Mochtar, Fery Amsari, dan Bivitri Susanti.
Dalam video tersebut, para ahli hukum tata negara itu menjabarkan bagaimana ketentuan kemenangan satu putaran sebagaimana UU Pemilu hingga bentuk kecurangan yang terjadi. Bentuk kecurangan yang dipaparkan salah satunya masalah keberadaan kepala desa. Mereka menilai, para kepala desa bisa mempengaruhi masalah data pemilih; penggunaan dana desa; data penerima bansos, PKH dan BLT; hingga wewenang alokasi dana desa.
Poin lain adalah film ini menyoroti juga soal anggaran bansos. Mereka menyoroti kenaikan anggaran bantuan sosial pemerintah pusat yang kerap naik jelang pemilu. Dalam paparan Bivitri, Januari 2024 angka bantuan sosial pemerintah baik dalam bentuk PKH, bantuan beras, BNPT, PIP, BLT El Nino tembus Rp78,06 triliun.
“Kita mesti ingat bahwa bantuan sosial itu kita harus klarifikasi di sini bukannya bantuan sosial harus dihentikan atas nama pemilu, tapi kita harus kembalikan bahwa bantuan sosial atau bansos bukan bantuan politik dan pejabat, bantuan sosial itu sebenarnya adalah cara untuk secara cepat melaksanakan amanat dari Pancasila, sila kelima soal keadilan sosial, kita juga membicarakan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 yang bilang bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara,” tutur Bivitri dalam film dokumenter tersebut.
Bivitri menambahkan, “Memang idealnya cara mensejahterakan rakyat itu dengan melalui pendidikan, lapangan pekerjaan, dan hal-hal lain yang sifatnya struktural, tapi baik lah bansos harus dilakukan untuk mengatasi dengan waktu cepat, tapi soalnya adalah kalau itu adalah fasilitas negara, kan, seharusnya pemberian dilakukan dengan sesuai struktur kenegaraan kita, siapa yang berhak atau berwenang memberikan bantuan sosial itu? Kementerian Sosial jawabnya, uniknya sebenarnya data Kementerian Sosial yang namanya data kesejahteraan terpadu tidak digunakan.”
Dalam keterangan pers peluncuran Dirty Vote, film dokumenter ini adalah upaya koalisi masyarakat sipil dalam menguak kecurangan pemilu. Penjelasan para ahli hukum dinilai seusai dengan fakta dan data. Selain itu, bentuk kecurangan yang disampaikan dalam kacamata hukum tata negara.
Bivitri Susanti, sebagai salah satu pemeran film dokumenter mengatakan, film tersebut sebagai sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara ini pada suatu saat, di mana kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.
“Atau kita bersuara lantang dan bertindak agar republik yang kita cita-citakan terus hidup dan bertumbuh. Pilihan Anda menentukan,” kata Bivitri dalam keterangan pers tertulis, Minggu (11/2/2024).
Sementara itu, Dandhy Dwi Laksono, mengatakan film tersebut adalah film keempat yang mengambil momentum pemilu. Dandhy mengatakan, Dirty Vote akan menjadi tontonan yang reflektif di masa tenang pemilu. Diharapkan tiga hari yang krusial menuju hari pemilihan, film ini akan mengedukasi publik serta banyak ruang dan forum diskusi yang digelar.
“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres. Tapi hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,” ungkap Dhandy.
Respons para Timses dan Penyelenggara Pemilu
Para tim sukses capres-cawapres berbeda pandangan terkait peluncuran film dokumenter tersebut. Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran menyebut film Dirty Vote tidak ilmiah bahkan bermuatan fitnah.
“Negara demokrasi semua orang memang bebas menyampaikan pendapat. Namun perlu kami sampaikan bahwa sebagian besar yang disampaikan dalam film tersebut adalah sesuatu yang bernada fitnah, narasi kebencian yang sangat asumtif dan sangat tidak ilmiah,” kata Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Habiburokhman, dalam konferensi pers di Media Center TKN, Minggu (11/2/2024).
Politikus Partai Gerindra itu menyoalkan argumen dan kapasitas para ahli hukum yang ikut dalam Dirty Vote. Ia menduga ada upaya mendegradasi pemilu.
“Saya kok merasa ada tendensi keinginan untuk mendegradasi pemliu dengan narasi yang tidak berdasar,” kata Habiburokhman.
Ia menyoroti soal penggerakan penjabat kepala daerah di era Jokowi untuk memenangkan paslon tertentu; sorotan soal upaya membuat masyarakat memahami bahwa kecurangan pemilu dan pesta elektoral tidak baik-baik saja hingga pengerahan perangkat desa untuk kemenangan paslon tertentu. Ia menilai film ini dipakai untuk dimainkan di masa tenang.
“Memang film ini sengaja didesain untuk diluncurkan di masa tenang ini, karena cara-cara yang fair untuk bertarung secara elektoral sudah tidak mampu lagi mereka lakukan,” kata Habiburokhman.
Ketua Pengarah TKN Prabowo-Gibran, Airlangga Hartarto, hanya berkomentar pendek. “Itu black campaign, ya kalau itu, kan, engga perlu dikomentarin. Ya artinya kan namanya juga black movie (apalagi dikeluarin) pas minggu tenang akhir-akhir ini,” kata Airlangga di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (12/2/2024).
Sementara itu, Anggota Dewan Pembina TKN Prabowo-Gibran, Zulkifli Hasan, menilai kecurangan sulit dilakukan. Ia menilai, situasi saat ini sulit untuk ada rahasia. Pria yang akrab disapa Zulhas itu menyebut rapat tertutup kini sudah terbuka.
“Rapat yang paling rahasia pun juga enggak ada rahasia. Terus kalau curang itu gimana caranya?” kata ketum DPP PAN itu.
Zulhas menjawab, penggunaan fasilitas negara sebagaimana digambarkan film Dirty Vote tidak bisa dilakukan sembarangan karena ada hukum pidana jika melanggar. Kemudian, masalah netralitas aparat, ia menilai hal itu sulit dilakukan.
“Saya punya ini mau beli suara saja, gimana caranya? Enggak mungkin. Wong sekarang kelihat semua media, handphone bisa foto ya kan? Orang nyolok ada handphonenya semua ada. Enggak mungkin," kata Zulhas.
Sebaliknya, Tim Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN) menilai film dokumenter Dirty Vote adalah film yang valid dan runut.
“Semua itu sesuai fakta di mana disebutkan narasumber dan data-datanya yang valid dan runut. Sehingga sulit dikatakan berita fitnah,” kata Juru Bicara Timnas AMIN, Iwan Tarigan, dalam keterangannya, Senin (12/2/2024).
Iwan menilai, film tersebut adalah pengingat bahwa kecurangan ada. Film itu juga dianggap alat pengingat publik bahwa kecurangan pemilu sudah dilakukan sejak lama. Ia menyebut bahwa film tersebut meyakinkan ada upaya mobilisasi aparat untuk memenangkan calon tertentu.
“Kami menduga desain kecurangan yang sudah disusun bersama sama ini akhirnya jatuh ke tangan satu pihak, yakni pihak yang sedang memegang kunci kekuasaan di mana dia dapat menggerakkan aparatur dan anggaran," kata Iwan.
Oleh karena itu, Iwan mengajak publik untuk harus memberi sanksi kepada kelompok yang berbuat curang selama proses pemilu berlangsung. Salah satunya adalah dengan tidak memilih mereka di surat suara.
“Kami meminta agar masyarakat menghukum penguasa atas perilaku mereka di 14 Februari 2024 dan kita harus menyelamatkan demokrasi dan Indonesia dari tangan-tangan politisi kotor, jahat, dan culas," kata dia menegaskan.
Di sisi lain, Sekjen DPP PDIP cum Sekretaris Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Hasto Kristiyanto, menilai film tersebut adalah kritik kepada Presiden Jokowi agar pemilu berjalan demokratis dan jurdil.
“Film ini mampu mengungkapkan berbagai kecurangan pemilu yang dilakukan secara masif, bahkan campur tangan kekuasaan istana sangat kental terasa,” kata Hasto dalam keterangan, Senin (12/2/2024).
Hasto menilai, manipulasi putusan Mahkamah Konstitusi hingga keberpihakan penguasa Istana kepada Prabowo-Gibran lewat penunjukan kepala daerah yang melupakan proses pemilu yang demokratis; tekanan pada kepala daerah hinga pengerahan aparat desa dan TNI/Polri sebagai bentuk kuatnya rekayasa Pemilu 2024. Ia mengatakan desain kecurangan pemilu dilakukan dari hulu-hilir.
“Berbagai fakta yang diuangkapkan dalam film Dirty Vote mewakili berbagai tekanan yang dialami Ganjar-Mahfud dan PDI Perjuangan. Dalam pertimbangan akal sehat, nurani, dan moral, kami sungguh tidak menyangka Pak Jokowi sudah berubah seperti itu. Menempatkan kekuasaan di atas segalanya. Berbagai rekayasa kecurangan tersebut sangat merugikan Ganjar-Mahfud,” kata Hasto.
Hasto mengatakan, PDIP percaya pemilu mengandung kesakralan karena suara rakyat adalah suara Tuhan. “Pemilu secara otomatis akan berjalan damai apabila kecurangan sirna. Karena itulah bagi siapa pun yang melakukan manipulasi pemilu, dan mengerahkan seluruh elemen kekuasaan untuk kecurangan masif, akan berhadapan dengan kekuatan rakyat. Satyam Eva Jayate," kata Hasto.
Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, meminta publik berhati-hati agar kritik yang disampaikan tidak memicu konflik baru.
“Hal-hal yang bisa menimbulkan konflik dan lain-lain, lebih baik dihindarkan karena sekarang menjelang masa pemungutan suara. Jangan sampai masa pemungutan suara ini terganggu gara-gara hal tersebut [film Dirty Vote],” kata Bagja kepada wartawan, Minggu (11/2/2024).
Meski ada kekhawatiran, Bagja menyilakan publik mengritik kinerja Bawaslu. Ia beralasan, Bawaslu selama ini telah bekerja sesuai perundang-undangan yang berlaku.
“Pada titik ini Bawaslu sudah melakukan tugas fungsinya dengan baik, tapi tergantung perspektif masyarakat, silakan. Kami tidak bisa men-drive perspektif masyarakat," ucap Bagja.
Menurut Bagja, kebebasan berpendapat dan berekspresi diatur oleh undang-undang. Oleh karena itu, ia tidak masalah publik mengkritik lembaganya.
Plt Deputi V KSP, Wandy Tuturoong, enggan menanggapi lebih jauh soal polemik film Dirty Vote. Ia hanya mengajak semua pihak untuk menjaga pemilu damai. “Kritik tentu baik dalam demokrasi. Yang penting kita sama-sama menjaga pemilunya damai,” kata Wandy, Senin (12/2/2024).
Bagian Pendidikan Politik
Peneliti Perludem, Ihsan Maulana, menilai film Dirty Vote sebagai bentuk pendidikan politik penyelenggaraan pemilu. Film tersebut dinilai menunjukkan rangkaian kecurangan pemilu, konflik kepentingan, dan permasalahan lain yang dibahas dalam tahap pemilu. Ia justru menilai film tersebut sebagai peringatan kecurangan pelaksanaan pemilu.
“Tentu saja film ini sebagai alert kepada siapa saja yang hendak melakukan kecurangan, khususnya di tahapan pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi hasil. Publik sudah dicerahkan melalui film ini, bagaimana banyaknya tahapan pemilu bermasalah, jangan sampai ditahapan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi hasil juga dilakukan kecurangan-kecurangan,” kata Ihsan, Senin (12/2/2024).
Ihsan menilai, kecurangan kerap dipersoalkan di pemilu sebelumnya dan menjadi titik rawan. Pemilu saat ini juga ada kerawanan. Bawaslu, kata Ihsan, sebaiknya tidak khawatir dengan keberadaan film itu yang berujung pada gangguan pemungutan suara. Ia menilai film itu adalah edukasi publik. Bawaslu justru harus mampu menjawab dalil-dalil dugaan kecurangan pemilu dalam film itu.
Ia mengakui ada potensi masalah dalam pemilu tersebut dan penyelenggara pemilu perlu memperbaiki kesalahan tersebut.
“Jika tidak ada perbaikan mulai dari penyelenggara negara soal netralitas dan penyelenggara pemilu tidak berbenah dari aspek permasalahan teknis dan pengawasan pemilu. Tentu masalah ini akan berulang," kata Ihsan.
Sementara itu, analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, melihat bahwa film tersebut bukan materi black campaign, melainkan materi jurnalistik.
“Jadi walaupun bentuknya dan formatnya berbeda, tapi itu masih dalam koridor (jurnalistik) ada faktanya di situ, ada datanya di situ, dan itu hasil riset oleh ahli-ahli hukum. Jadi saya enggak melihatnya sebagai sebuah bentuk kampanye hitam," kata Kunto, Senin (12/2/2024).
Kunto menilai, materi tersebut masih bisa ditayangkan di hari tenang karena bukan matari kampanye, melainkan lebih pada materi edukasi publik dalam pemilu.
“Jadi saya enggak melihat itu sebagai kampanye hitam yang fabrikasi, yang enggak ada landasan fakta dan datanya, yang enggak ada fitnah gitu. Bukan sih. Kalau saya melihatnya itu lebih edukasi publik menjelang pemilu dan terutama lebih pada fokus pada kasus-kasus hukum ketatanegaraan karena memang pakarnya ya pakar hukum tata negara," kata Kunto.
Kunto menilai, film ini sama dengan film buatan Dandhy yang berjudul Sexy Killers di masa tenang. Ia menilai film ini tidak akan mempengaruhi banyak kepada elektabilitas kandidat tertentu. Namun, film ini bisa mempengaruhi legitimasi pemilu. Ia menilai publik bisa saja medeligitimasi pemilu karena banyak kecurangan.
“Jadi yang problematis yang diserang legitimasi pemilu, bukan pada pasangan calon tertentu,” kata Kunto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz