tirto.id - Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti dalam film dokumenter berjudul Dirty Vote mengomentari pembagian bantuan sosial (bansos) yang ugal-ugalan selama masa pemilu. Politisasi bansos yang disebut sebagai ‘Gentong Babi’ tersebut nilainya tembus Rp508 triliun.
Pembagian bansos yang masif dikucurkan ini juga diduga untuk mendongkrak elektabilitas pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
"Mengapa bansos juga dijadikan alat berpolitik dan lain sebagainya? Ada satu konsep dalam ilmu politik yang bisa kita gunakan yang namanya gentong babi atau pork barrel. Jadi memang istilah ini mengacu pada masa perbudakan di Amerika Serikat yang gambarannya seburuk perbudakan itu sendiri," kata Bivitri dalam film tersebut, dikutip Senin (12/2/2024).
Menurut penjelasannya, perbudakan di AS mengharuskan untuk berebut daging babi yang diawetkan di gentong. Dari situasi tersebut muncul istilah berebut jatah resmi untuk kenyamanan serta untuk menarik simpati.
“Cara berpolitik yang menggunakan uang negara untuk digelontorkan ke daerah-daerah pemilihan oleh para politisi agar dirinya bisa dipilih kembali. Tapi tentu saja kali ini Jokowi tidak sedang meminta orang untuk memilih dirinya melainkan penerusnya," ujar dia.
Film Dirty Vote juga mengungkapkan bahwa terdapat tren di mana pembagian bansos meningkat secara signifikan menjelang pemilihan umum. Untuk tahun ini, bahkan nilainya melebihi jumlah pembagian bansos selama masa pandemi COVID-19.
"Tahun 2008 santai, kemudian 2009 terjadi kenaikan, 2013 menjelang 2014 mulai rapat, kemudian 2019 kelihatan kerapatannya. Kita semua bisa melihat di sini sampai dengan Pemilu 2024 begitu rapat dan begitu banyak di sini. Tiba-tiba keluar berbagai macam bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah," ucapnya.
Dari data yang diperoleh Tirto dari Kementerian Keuangan, anggaran bansos yang masuk ke dalam skema perlindungan sosial memiliki nilai anggaran prioritas pada 2024 mencapai Rp493,5 triliun.
Anggaran tersebut digelontorkan untuk penghapusan kemiskinan ekstrem, seperti Kartu Sembako hingga BLT Desa. Lalu, digunakan sebagai penguatan perlindungan sosial sepanjang hayat untuk antisipasi aging population melalui integrasi program.
Kemudian, anggaran juga dialokasikan untuk penguatan graduasi dari kemiskinan dan mendorong perlindungan sosial adaptif melalui protokol di masa krisis atau bencana.
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Dwi Ayuningtyas