Menuju konten utama

Ironi Pejabat Publik yang Rangkap Jabatan Komisaris BUMN

Pasal 17 UU No 25 tahun 2009 secara tegas melarang pejabat publik untuk merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Sayangnya, pemerintah belum konsisten terkait regulasi tersebut.

Ironi Pejabat Publik yang Rangkap Jabatan Komisaris BUMN
Menteri Negara BUMN Rini Soemarmo (keempat kanan) beserta 13 Dirut BUMN merayakan HUT Bersama 13 BUMN di gedung Patra Graha Pertamina RU IV Lomanis, Cilacap, Jateng, Jumat (9/12). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria.

tirto.id - Secara eksplisit Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik melarang pejabat publik merangkap jabatan. Sayangnya, pemerintah belum konsisten menerapkan regulasi tersebut sehingga masih banyak yang merangkap jabatan.

Padahal, pasal 17 UU No. 25 tahun 2009 secara tegas melarang pejabat publik untuk merangkap jabatan sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.

Namun, Ombudsman Republik Indonesia masih menemukan ratusan pejabat publik yang juga merangkap sebagai komisaris BUMN. Data yang dirilis Ombudsman pada Kamis (4/5/2017) menunjukkan bahwa ada sekitar 222 pejabat publik yang juga merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN.

“Ombudsman melakukan penelusuran sementara dan mendapatkan di BUMN atau badan sejenis masih terjadi rangkap jabatan sebagaimana dimaksud. Dari 144 unit yang dipantau, ditemukan 541 komisaris yang 222 atau 41 persen merangkap jabatan sebagai pelaksana pelayanan publik,” kata anggota Ombudsman RI Bidang Ekonomi II, Ahmad Alamsyah Saragih, di Jakarta, seperti dikutip Antara, Jumat (5/5/2017).

Menurut Alamsyah, data tersebut belum termasuk BUMD, karena banyak pemerintah daerah (pemda) menempatkan Sekretaris Daerah sebagai komisaris BUMD.

“Di beberapa daerah masih ada yang menempatkan Kepala Dinas sebagai Komisaris di BUMD. Temuan sementara ini masih dalam tahap verifikasi dan konfirmasi oleh Ombudsman RI,” ujarnya.

Dalam konteks ini, Ombudsman melihatnya dalam dua perspektif, yaitu: secara normatif dan etika. Menurut Alamsyah, berdasarkan tinjauan normatif seperti yang diatur dalam UU No 25 Tahun 2009, pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris pada BUMN atau BUMD. Hal itu secara eksplisit diatur pada Pasal 17 UU Pelayanan Publik.

Selain tinjauan normatif, kata dia, tinjauan etik juga perlu dilakukan. Namun hal ini memerlukan kerangka kepatutan berdasarkan konsekuensi bahaya yang ditimbulkan.

Menurut Alamsyah, hal ini penting untuk memastikan kepentingan publik lain yang ingin dilindungi oleh pemerintah dengan menempatkan pejabat tertentu menjadi komisaris di BUMN atau BUMD, seperti menjamin misi BUMN tersebut selaras dengan misi pemerintah.

Karena itu, lanjut Alamsyah, diperlukan pengaturan untuk mengurangi potensi bahaya apabila pejabat aktif ditempatkan sebagai Komisaris BUMN atau BUMD.

“Potensi bahaya yang diidentifikasi oleh Ombudsman adalah terjadinya konflik kepentingan, penghasilan ganda, dan tidak kapabel,” kata Alamsyah.

Menurut Alamsyah, Ombudsman menilai perlunya konsistensi terhadap peraturan yang ada terutama Undang-Undang Pelayanan Publik. Selain itu, diperlukan penerapan standar etika bagi pejabat yang merangkap jabatan dengan memitigasi kemungkinan terjadinya konflik kepentingan, penghasilan ganda, dan tidak kapabel.

Dalam konteks ini, dia mengajukan dua opsi untuk pemerintah terkait rangkap jabatan tersebut. Pertama, menerapkan kebijakan tidak ada rangkap jabatan untuk komisaris BUMN atau BUMD.

Untuk itu, pemerintah bisa memilih perwakilan yang memiliki kualifikasi yang jelas untuk menjalankan misinya dan menyampaikan pertanggungjawaban kinerjanya secara terbuka kepada publik.

Opsi kedua, mengangkat pejabat sebagai komisaris untuk BUMN tertentu yang dinilai memiliki relasi kuat dengan fungsi publik instansi yang bersangkutan. Namun, pejabat tersebut tidak masuk kategori penyelenggara pelayanan publik, tidak menerima imbalan maupun insentif lain dari BUMN atau BUMN yang bersangkutan.

Selain itu, pejabat tersebut juga harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan misi penempatan, dan kegiatan sebagai komisaris tersebut masuk dalam tugas dan fungsi pejabat di instansi asal sehingga kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan sebagai misi Kementerian atau lembaga yang dimaksud.

Baca juga artikel terkait BUMN atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz