tirto.id - Raihan suara partai politik berbasis massa pemilih Islam belum pernah menjadi mayoritas atau keluar sebagai pemenang pemilu sejak era reformasi. Beberapa parpol dengan basis massa Islam, paling banter berada dalam posisi lima besar raihan suara. Meskipun tidak sedikit parpol yang berulang kali langganan masuk menduduki kursi DPR.
Gambaran yang sama sepertinya juga terulang dalam Pileg 2024. Partai-partai berbasis massa Islam masih terus berusaha mengejar raihan suara mereka di pileg sebelumnya. Meski hasil hitung suara KPU belum final, beberapa partai terpantau mengalami pengempisan suara jika disandingkan dengan raihan mereka di kontestasi sebelumnya.
Melihat perbandingan hasil Pileg 2019 dengan hasil hitung sementara Pileg 2024 versi KPU, PKB bisa dibilang satu-satunya partai basis massa Islam yang kemungkinan meraup suara mendekati hasil kontestasi Pileg sebelumnya, meskipun ada kemungkinan mengalami penurunan suara.
Berdasarkan rekapitulasi suara sementara versi KPU per 5 Maret 2024 yang menghimpun 65,89 persen suara nasional, PKB sudah meraih sebanyak 8,8 juta suara. Adapun pada Pileg 2019, PKB meraup suara sebanyak 13,5 juta suara.
Agak beruntung, PAN juga tampaknya tidak akan terlalu sulit mencapai hasil suaranya di Pileg 2019 yang mencapai 9,5 juta suara. Saat ini PAN sudah mengantongi sekitar 5,3 juta suara versi hasil sementara KPU.
Sementara itu, perolehan suara PKS saat ini ada di kisaran 5,7 juta suara, di mana hasil ini masih jauh dari perolehan suara PKS pada Pileg 2019 yang meraih 11,4 juta suara. Nasib serupa juga menimpa partai basis massa Islam yang cukup senior dalam palagan pemilu, yakni PPP. Partai berlambang ka'bah itu mendapatkan 3 juta suara dalam hasil sementara Pileg 2024 versi KPU. Sementara pada Pileg 2019 berhasil meraup 6,3 juta suara.
Menengok jauhnya disparitas suara partai petahana seperti PPP dan PKS dari pemilu sebelumnya, menandakan babak belurnya partai basis massa Islam dalam palagan Pileg 2024. Ditambah, perolehan kursi parlemen PKS dan PPP juga berpotensi besar ikut surut di tahun ini.
Di sisi lain, partai berbasis massa Islam di luar petahana terseok-seok untuk menembus ambang batas parlemen 4 persen. Partai Ummat misalnya, terpantau baru mendapatkan 323.769 ribu suara. Partai Bulan Bintang di sisi lain, baru mengantongi 254.680 ribu suara. Suara agak besar diraih Partai Gelora, yang sementara ini mendapatkan sekitar 1,1 juta suara.
Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs, Ahmad Khoirul Umam, menilai Pemilu 2024 kali ini sama sekali tidak menghadirkan panggung bagi kekuatan politik Islam untuk meng-exercise kapasitasnya dalam ruang demokrasi di Indonesia. Dengan dominasi perdebatan etik dan ancaman penyalahgunaan kekuasaan, narasi identitas keagamaan relatif sangat terbatas.
Dalam satu sisi, kata dia, hal ini bagus karena polarisasi berbasis agama tidak lagi dominan. Namun di saat yang lain, ancaman kemunduran demokrasi dalam takaran yang lebih besar juga membayangi politik nasional.
“Mereka [partai basis massa Islam] cenderung asik menjadi makmum, bukan menjadi imam besar yang mampu menggerakkan dinamika isu dan perdebatan kebijakan publik selama proses jelang pesta demokrasi,” kata Umam kepada reporter Tirto, Selasa (5/3/2024).
Menurut dia, ada faktor yang membuat raihan suara PKB dan PAN cukup survive dalam pemilu kali ini. PKB misalnya, diuntungkan majunya Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, sebagai cawapres. Hal ini setidaknya mampu mengonsolidasikan sel-sel kekuatan politik PKB, meskipun tetap terjadi split ticket voting yang cukup besar.
Selain itu, PKB menikmat posisi kadernya sebagai Menteri Desa & Pembangunan Daerah Tertinggal. Umam menilai ini menjadi keuntungan untuk menggerakkan akar penyuluh desa seluruh Indonesia. Sel-sel itu dinilai Umam cukup efektif untuk mendulang suara di pemilu.
“Sementara PAN, diuntungkan oleh posisinya [bergabung] di pemerintahan dua tahun terakhir, sehingga praktis dinamika internal partai cukup stabil, konsolidasi bisa optimal, dan logistik politik lancar,” ujar Umam.
Jalan Berat PKS dan PPP
Sementara itu, Umam memandang PKS sebenarnya diuntungkan oleh basis posisi mereka pada Anies Baswedan yang maju sebagai capres. Namun, segmen pemilih PKS cenderung berada di level yang sama dan tidak mengalami ekspansi memadai.
“Selain itu, 10 tahun berada di luar kekuasaan pastinya berdampak pada tidak leluasanya PKS untuk mengeksploitasi segmen pemilih lain,” kata Umam.
Adapun untuk PPP, kata Umam, mereka kurang diuntungkan oleh capres yang mereka dukung, Ganjar Pranowo, karena kurang menjadi magnet bagi basis pemilih loyal mereka. Dampaknya, PPP praktis tidak mendapatkan coattail effect dan harus berjuang sendiri untuk menyelamatkan partainya dari ancaman degradasi parliamentary threshold.
Sementara itu, analis politik Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menilai raihan suara partai berbasis Islam tidak turun pada pemilu kali ini, namun justru terbagi-bagi. Menurut dia, sebab ceruk pemilih partai berbasis massa Islam tidak berekspansi lebih besar, maka suara mereka terbagi di beberapa parpol.
“PAN beruntung karena mereka sekarang lebih ke tengah dan ketum-nya lebih populis. Terlebih ada artis di caleg dan ini lumayan sebagai menambah vote PAN,” ujar Kunto kepada reporter Tirto.
Kunto menilai raihan PKS memang cenderung stagnan atau berkurang pada pemilu saat ini. Sebabnya, pemilih PKS yang sebelumnya mendukung Prabowo Subianto pada Pemilu 2019, ada yang memutuskan untuk tetap memilih Prabowo dan partai koalisinya. Posisi PKS dan Prabowo sendiri pada Pemilu 2024 saling berhadapan.
“Kalau PKB jelas punya basis di kantong-kantong massa NU dan itu kelihatan dari caleg tokoh agama mereka yang mendapatkan suara besar,” tutur Kunto.
Respons PPP dan PKS
Juru bicara DPP PPP, Donnie Tokan, menyatakan pihaknya masih mengawal raihan suara partai hingga saat ini. Donnie percaya partainya akan masuk ke Senayan lagi pada periode selanjutnya. Dia menegaskan PPP merupakan partai warisan ulama dan milik umat Islam serta akan tetap membawa aspirasi umat Islam dan masyarakat luas.
“Banyak sekali caleg-caleg potensial [PPP] gugur karena tidak cukup capital gain, belum lagi pemilu kali ini berbarengan dengan pilpres, beda dengan pemilu yang lalu jadi tidak bisa kita samakan,” kata Donnie kepada reporter Tirto, Selasa (5/3/2024).
Di sisi lain, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, enggan banyak komentar tentang raihan suara sementara parpolnya saat ini. Mardani mengaku masih mengecek data perolehan suara di internal PKS untuk memastikan suara parpol sesungguhnya.
“Saya cek data 100 persen di PKS dulu ya,” kata Mardani kepada reporter Tirto, Selasa kemarin.
Relevansi Partai Islam
Analis politik dari Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada pemilih Islam sebab pemilih di Indonesia mengalami keserempakan. Artinya, pemilih melihat parpol tidak dari sisi basis Islam atau bukan.
“Terlebih dalam beberapa catatan survei, memang ada tren penurunan kepercayaan publik pada parpol secara umum, sehingga penurunan tidak saja pada partai Islam,” ujar Dedi kepada reporter Tirto, Selasa (5/3/2024).
Dedi memandang dalam pemilu kali ini, posisi PKB, PKS dan PAN sebenarnya dalam situasi yang baik. Menurut dia, PKS memang terkesan menurun jika disandingkan di lingkup ketokohan petahana. Namun, PKS tetap meningkat di pendatang baru, jadi secara umum PKS mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan.
“Di luar itu, PAN dan PKB ada kejelasan kampanye, PAN misalnya dengan slogan bantu rakyat, totalitas dan serempak semua kadernya gaungkan hal yang sama. PKB juga demikian promosikan dana desa dan serentak seluruh kader, ini punya daya tarik bagi pemilih,” kata Dedi.
Dedi menilai partai berbasis massa Islam akan terus tumbuh jika tetap menyesuaikan kondisi politik. Parpol seperti PKB, PAN, dan PKS dinilai Dedi akan terus tumbuh. Misalnya PKS, masuk parpol paling kokoh terhadap ide perubahan. Adapun PAN akan terus tumbuh karena pemimpin partai mereka dekat dengan kekuasaan sehingga akan bertahan.
Di sisi lain, analis politik Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin, menyatakan nasib parpol berbasis massa Islam akan tergantung pada sikap mereka sendiri. Jika mereka mampu membawa aspirasi masyarakat dan tidak mengkhianati rakyat, maka bukan tidak mungkin parpol berbasis massa Islam terus melesat.
“Juga harus dicari format strategi yang baru dari partai-partai nasionalis agar partai Islam mendapatkan simpati publik,” kata Ujang kepada reporter Tirto.
Untuk saat ini, Ujang melihat memang masih sulit partai berbasis massa Islam dari non-petahana untuk masuk ke lingkar parlemen. Namun ke depan, peluang tetap bisa terbuka, terlebih dengan adanya rencana revisi UU Pemilu soal ketentuan ambang batas parlemen.
“Bisa dengan ada revisi UU Pemilu kalau tadi yang PT 4 persen diubah di DPR ya. Tapi harus terus berjuang meskipun diubah karena kan tidak 0 persen sama sekali,” ujar dia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz