tirto.id - Langkah politik Presiden Joko Widodo setelah tidak lagi menjadi presiden menjadi perbincangan. Sejumlah pihak memprediksi Jokowi akan masuk Partai Golkar setelah hubungannya dengan PDIP dinilai sudah tidak sejalan.
Menjawab pertanyaan media usai menghadiri Rapim TNI-Polri di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu (28/2/2024), Jokowi malah berkelakar bahwa dirinya tiap hari di Istana.
"Saya tiap hari masuk istana," kata Jokowi, Rabu (28/2/2024).
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto meresposn positif bila benar Jokowi bergabung dengan partainya.
Namun, Airlangga menekankan bahwa Jokowi adalah tokoh nasional dan milik semua partai. Saat disinggung soal posisi Jokowi yang masih kader PDIP, Airlangga kembali menekankan Jokowi adalah tokoh semua partai.
"Seperti yang saya katakan [Jokowi] tokoh nasional, dimiliki semua partai," kata Airlangga.
Hubungan Jokowi dengan Golkar: Makin Erat
Harus diakui, Jokowi memang dekat dengan berbagai partai, salah satunya Partai Golkar. Dalam catatan, mantan Wali Kota Solo itu terlihat beberapa kali hadir dalam kegiatan Partai Golkar, seperti ulang tahun partai berlambang pohon beringin itu.
Kedekatan tersebut juga terlihat dari sisi komposisi kabinet. Selain PDIP yang merupakan partai pengusung utama Jokowi, kader Golkar banyak menempati berbagai posisi kabinet seperti Menko Perekonomian yang diisi Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Kemaritiman dan Investasi, Ketua DPP Partai Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai Menteri Perindustrian.
Adapula Menteri Pemuda dan Olahraga Ario Bimo Nandito Ariotedjo, Menteri Investasi Bahlil Lahadahlia juga merupakan kader Partai Golkar. Termasuk, Ketua DPP Partai Golkar Jerry Sambuaga sebagai Wakil Menteri Perdagangan.
Analis politik dari Aljabar Strategic Arifki Chaniago menilai, isu kepindahan Jokowi ke Golkar tidak lepas dari kebutuhan politik Jokowi usai pensiun sebagai presiden. Apalagi sejak Jokowi tak lagi mesra bersama PDIP, partai yang dikomandoi Megawati Soekarnoputri.
Meski ada Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang sangat mengidolakan Jokowi, tetap saja Jokowi tak bakal mau bergabung dengan partai yang gagal lolos Pemilu 2024. Sekalipun putra bungsunya, Kaesang Pangarep yang tiba-tiba menjadi Ketua Umum PSI.
"Ini kan tergantung kebutuhan politik Jokowi, apalagi melihat PSI tidak lolos ke parlemen tentu mau-nggak-mau Jokowi juga harus mempersiapkan kekuatan politik untuk Gibran apakah ini agenda 2029 atau bagaimana dan saya rasa yang ke depan itu adalah game of power itu adalah mengimbangi kekuatan politik Jokowi lewat Gibran dengan Prabowo," kata Arifki, Kamis (29/2/2024).
Arifki mengatakan, Gibran perlu kekuatan politik kuat untuk mengimbangi kekuatan Prabowo yang memiliki partai. Jokowi pun berpotensi mencari partai politik mana yang bisa mengakomodir Gibran dan kepentingan dirinya dalam membawa Gibran.
"Saya rasa tentu Jokowi juga akan mengakomodir mana partai politik yang bisa dianggap untuk membantu Gibran dan saya rasa Golkar salah satu pilihan yang cukup signifikan karena bagian dari pemerintahan Jokowi dan terbiasa di pemerintah," kata Arifki.
Tak cuma Jokowi yang diuntungkan, Partai Golkar juga akan mendapat keuntungan bila Jokowi bergabung ke Golkar. Golkar, kata Arifki berpotensi mendapatkan efek positif dari sisi elektoral dan kepemimpinan.
Selain itu, partai berlambang pohon beringin itu akan punya tokoh nasional, karena selama ini partai yang berdiri sejak Orde Baru itu tidak punya figur nasional yang kuat lagi saat ini.
"Menurut saya dengan masuknya Jokowi itu menjadi pengaruh yang cukup menarik bagi Golkar ke depannya," kata Arifki.
Lantas, bagaimana dengan PDIP? Arifki masih melihat Jokowi masih bisa tetap berada di PDIP, meski sudah berbeda pandangan di Pemilu 2024.
Namun, PDIP tentu saja juga mempertimbangkan perbuatan Jokowi yang telah membuat marah para elite partai banteng itu selama Pemilu 2024.
Jokowi tak akan mendapatkan keuntungan bila masih di PDIP. Tetapi, Jokowi bisa memanfaatkan PDIP menjaga stabilitas politik dengan mendukung segala kebijakan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang tinggal menunggu waktu berstatus capres-cawapres terpilih pada Pilpres 2024.
"Kalau untuk melihat posisi Gibran ke depan tentu tidak terlalu menguntungkan bagi Jokowi di PDIP karena kepentingan Jokowi bagaimana ada kendaraan untuk Gibran di [Pilpres] 2029. Ini yang paling penting karena mau enggak mau Puan Maharani punya kepentingan di Pemilu 2029 dan saya rasa ini bukan soal kenyamanan dan posisi Jokowi, tapi posisi Gibran ke depan," kata Arifki.
Jokowi & Golkar bak Simbiosis Mutualisme
Kepala Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, juga memandang Jokowi dan Partai Golkar bak simbiosis mutualisme. Keduanya sama-sama saling membutuhkan. Jokowi butuh kendaraan politik usai pensiun jadi presiden, sementara Golkar butuh efek Jokowi yaitu suara-suara elektoral yang menguntungkan Golkar.
Jokowi, kata Kunto juga butuh partai yang bisa menjaga legasinya yang ia wariskan ke Prabowo-Gibran. Dan, Partai Golkar dibutuhkan Jokowi untuk menjaga legasinya itu di parlemen.
"Jadi memang sangat butuh kekuatan legislatif ini selain juga kekuatan eksekutif," kata Kunto, Kamis (29/4/2024).
Kunto mengatakan, kehadiran Jokowi di Golkar juga akan menguntungkan partai tersebut karena Golkar akan punya tokoh sentral politik. Hal ini tidak lepas kondisi Golkar saat ini yang lebih banyak tokoh lokal atau warlord politik di daerah dengan massa besar.
"Sehingga kalau ada tokoh sentral di nasional mungkin bisa menguntungkan Golkar ke depannya," kata Kunto.
Namun, Kunto juga melihat siasat Jokowi bertahan di PDIP demi bisa mengontrol kekuasaannya.
Jokowi dan PDIP masih sama-sama menunggu. Jokowi berupaya merangkul PDIP dari dalam untuk mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran nanti, sementara PDIP ogah kena cap buruk karena memecat Jokowi, kader yang selama ini digembar-gemborkan sebagai kader terbaik.
Kunto menambahkan, potensi kecil itu memang bisa terjadi ketika Jokowi berhasil meyakinkan PDIP entah melalui Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri maupun penerusnya.
Lantas apakah ada keuntungan Jokowi tetap di PDIP? Ia menilai lebih banyak kerugian daripada keuntungannya.
Kunto beralasan, kerugian lebih pada pemerintahan Prabowo-Gibran karena PDIP sangat terkenal mampu bermain oposisi.
"Kita tahu PDIP punya tradisi itu gitu kan dan pembicaraan soal undang-undang, anggaran bisa sangat alot gitu ya mas. Ini yang ingin kemudian apa dirangkul oleh Pak Jokowi supaya pemerintahan Prabowo dan putranya nanti mulus," kata Kunto.
Di sisi lain, citra Jokowi juga turut berdampak negatif bila bertahan di PDIP. Ia beralasan, PDIP saat ini sedang dalam status dibenci publik karena suaranya berkurang. Hal itu bisa berimbas kepada Jokowi.
"Jika berasosiasi dengan PDIP secara dekat lagi gitu kan mumpung kesalahan-kesalahan pemerintahan ya terus pak Jokowi sekarang, PDIP lah yang dijadikan kambing hitam gitu dan ini tentu saja menguntungkan Pak Jokowi secara citra," kata Kunto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto