tirto.id - Hubungan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri makin merenggang. Hal ini tidak lepas dari langkah Jokowi yang melantik Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Negara.
AHY, sapaan Agus Harimurti, menggantikan Hadi Tjahjanto yang ditunjuk Jokowi menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam).
Kepada awak media usai pelantikan AHY dan Hadi Tjahjanto sebagai menteri pada Rabu (21/2/2024), Jokowi tidak menjawab spesifik tentang kemungkinan lebih dulu berkonsultasi dengan PDIP dalam pengusungan AHY sebagai menteri.
Jokowi hanya mengatakan bahwa pemilihan AHY didasari pengalamannya sebagai mantan tentara. Selain itu, Jokowi terpukau dengan latar belakang pendidikan AHY yang pernah berkuliah di sejumlah kampus top dunia.
"Saya kira saya tidak ragu memberikan tempat untuk Kementerian ATR BPN karena ini urusan manajemen saya kira beliau [AHY} akan sangat siap," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta.
Pemilihan AHY tentu menimbulkan spekulasi besar terkait hubungan Jokowi dan PDIP. Hal ini tentu saja, karena posisi Partai Demokrat sebelumnya tidak berada dalam barisan pendukung pemerintahan Jokowi selama hampir dua periode.
PDIP pun punya sejarah panjang berseteru dengan Partai Demokrat. Semua berawal ketika Ketua Umum Partai Demokrat pada 2004, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maju sebagai calon presiden di Pilpres 2004. Kala itu, SBY merupakan Menkopolhukam di era Megawati menjadi presiden.
Megawati kala itu sempat menanyakan kepada para menterinya apakah ada yang berniat maju Pilpres atau tidak. SBY mengaku tidak ingin maju, tetapi malah memutuskan untuk jadi capres 2004. Tentu saja, Megawati geram.
Apalagi, SBY maju dengan Jusuf Kalla, yang kala itu juga menjadi menteri di kabinet Megawati. SBY lantas menang di Pilpres 2004 dan mengalahkan Megawati yang berpasangan dengan tokoh NU Hasyim Muzadi. Megawati pun makin kesal.
PDIP lantas memutuskan untuk menjadi oposisi pemerintahan SBY dalam dua periode, yakni 2004 hingga 2014. Pada 2014, PDIP mengusung Jokowi sebagai calon presiden dan tidak membuka pintu pada Partai Demokrat. Demokrat lantas ikut mendukung pengusungan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa di Pilpres 2014.
Pada 2018, Jokowi berupaya membangun komunikasi dengan Partai Demokrat. Ia hadir pada Rapimnas Partai Demokrat 2018. Namun, Demokrat kembali terpental tidak masuk koalisi Jokowi-Maruf Amin. Demokrat kembali mengusung Prabowo di Pilpres 2019 dan kembali kalah.
Kegagalan AHY & Puan Mendamaikan PDIP & Demokrat
Di bawah kepemimpinan AHY, Demokrat berusaha merekatkan hubungan Demokrat dengan PDIP. AHY mendekati Ketua DPP PDIP Puan Maharani, dengan melakukan pertemuan pada 18 Juni 2023. Pertemuan tersebut sempat diyakini mencairkan hubungan kedua partai yang membeku sejak 2004 silam. .
Situasi sempat menarik ketika Demokrat meninggalkan Koalisi Perubahan, koalisi yang mengusung Anies Baswedan sebagai capres di Pilpres 2024. Demokrat mundur karena merasa dikhianati oleh Nasdem dan PKS yang tak memilih AHY sebagai cawapres Anies, tapi justru memilih Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.
Saat hendak menentukan koalisi, salah satu opsi adalah merapat ke koalisi PDIP yang mengusung Ganjar Pranowo. Akan tetapi, di bawah komando AHY dan bayang-bayang SBY, Demokrat justru merapat ke Koalisi Indonesia Maju yang mengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Di sisi lain, posisi Jokowi dengan PDIP juga dalam posisi yang tidak baik-baik saja. Hubungan PDIP dengan Jokowi mulai retak saat sikap Megawati yang mengingatkan kader untuk satu komando, tapi Jokowi tak mematuhinya.
Jokowi tak mendukung PDIP mengusung Ganjar, tapi justru mendukung anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto.
PDIP geram. Mereka terus menyerang Jokowi, mulai dari kebijakan hingga langkah politiknya di Pemilu 2024.
Misalnya, menghapus jejak kegiatan kampanye Ganjar Pranowo dengan dalih melakukan kunjungan kerja, memberikan bansos mendekati hari pencoblosan Pemilu 2024, hingga disebut mengerahkan aparat guna memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.
Sempat ada kabar Jokowi ingin bertemu Megawati demi merajut kembali hubungan mereka. Namun, kabar tersebut selalu dibantah oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto maupun oleh pihak Istana Kepresidenan.
Kalkulasi Politik Jokowi Makin Membuat PDIP Kesal
Peneliti Politik dan Kebijakan Publik Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, menilai wajar bila Jokowi mengambil langkah memilih AHY sebagai menteri, meski hanya akan berjalan delapan bulan saja.
Hal ini, karena Partai Demokrat adalah satu-satunya partai di Koalisi Indonesia Maju yang bukan merupakan bagian dari pendukung pemerintahan Jokowi.
Saidiman melihat ada kalkulkasi politik yang jelas dilakukan Jokowi demi menjalin hubungan baik dengan parpol pendukung Prabowo-Gibran. Ini tentu saja memperlihatkan Jokowi yang saat ini berpihak pada koalisi pendukung Prabowo-Gibran, ketimbang PDIP. Bahkan, Jokowi sangat jelas membangun faksi sendiri dengan mengecualikan PDIP, padahal masih berada dalam kabinet pemerintahannya.
"Bahwa secara formal Jokowi masih PDI Perjuangan iya, tapi tidak bisa dipungkiri dia sudah membangun faksi politik sendiri," kata Saidiman kepada Tirto, Kamis (22/2/2024).
"Jadi keputusan mengambil tokoh oposisi sebelumnya masuk parlemen, saya kira ini makin menegaskan posisi Pak Jokowi yang berseberangan dengan politik PDI Perjuangan," imbuh Saidiman.
Penempatan AHY sebagai menteri ke dalam kabinet adalah sinyal kuat batas antara PDIP dengan Jokowi.
Kini, Saidiman menantikan nasib menteri-menteri PDIP di kabinet. Ia menantikan dampak panjang setelah Demokrat merapat. Selain itu, upaya memasukkan Demokrat bisa menjadi sinyal upaya transisi pemerintahan dari Jokowi ke pemerintahan baru.
"Jadi masuknya Demokrat semacam pendahuluan untuk koalisi pemerintahan ke depan pasca pak Jokowi dan koalisi pemerintahan ke depan PDIP tidak ada di situ," kata Saidiman.
Pesimistis Hubungan Jokowi dengan Megawati Cepat Membaik
Khusus untuk hubungan Jokowi dengan PDIP, Saidiman pesimistis bisa membaik. Misal ada elite PDIP yang ingin membangun komunikasi dengan Jokowi demi rekonsiliasi. Kata Saidiman, upaya tersebut akan sulit terwujud, lantaran Jokowi oleh Megawati sudah dianggap sebagai pengkhianat.
Ia pun menilai, Jokowi bisa saja bernasib lebih buruk daripada SBY di masa lalu akibat berkhianat melawan arah PDIP dan Megawati.
"Ada pengkhianatan dan itu juga bu Mega berkepentingan menjaga moral PDI Perjuangan. Kan aneh partai yang sudah disakiti kok kemudian rekonsiliasi dengan pengkhianatnya. Katakan lah demikian," kata Saidiman.
Dosen komunikasi politik dari Universitas Airlangga, Suko Widodo, juga menilai Jokowi akan sulit dimaafkan PDIP maupun Megawati. Suko menilai luka yang dibuat Jokowi cukup besar daripada SBY di 2004.
"Luka yang dengan pak Jokowi tampaknya justru lebih dalam daripada luka di zaman itu [SBY]. Maka potensi konfliknya akan makin menguat bagi Megawati, tetapi bagi PDIP, sebuah partai, karena toh PDIP sudah diisi juga dari orang-orang luar tidak hanya keluarga Megawati, cukup dilematis menghadapi situasi itu," terang Suko, Kamis (22/2/2024).
Suko melihat Jokowi sebenarnya berupaya merekonsoliasi hubungan dengan PDIP maupun Megawati. Akan tetapi, Suko melihat dari berbagai sektor sulit untuk kompromi, baik dari lingkungan, internal dan historis.
Suko menilai, hubungan Jokowi dengan PDIP tidak akan pulih, apalagi masuknya Demokrat saat ini dalam kabinet pemerintahan.
Analis politik dari Populi Center, Usep S. Ahyar, melihat upaya memasukkan Demokrat ke pemerintahan adalah bentuk mitigasi Jokowi jika tidak lagi didukung PDIP.
Usep mengaku, PDIP mungkin tidak mau kembali karena Jokowi terlalu dekat dengan kubu Prabowo-Gibran. Menurut Usep, hubungan antara Jokowi dengan PDIP bisa diperbaiki, tetapi mungkin sulit dengan Megawati secara personal.
"Artinya pendukung Pak Jokowi di PDIP masih banyak. Ya terbukti pemilih Pak Prabowo yang diusung oleh pak Jokowi dari PDIP juga banyak," jelas Usep, Kamis (22/2/2024).
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto