tirto.id - Niat baik pemerintah ingin menambah produksi beras dengan menanam padi gogo di lahan sawit tampaknya perlu dikaji lebih mendalam. Sejumlah ahli pertanian dan peneliti lingkungan menilai langkah ini hanya berujung buntung. Niat lain agar penanaman padi gogo sebagai langkah strategis mengantisipasi El Nino, juga tak bisa asal jeplak jika belum ada riset mendukung.
Angan ini berusaha diwujudkan Kementerian Pertanian (Kementan) dengan menggandeng perusahaan-perusahaan industri sawit. Wakil Menteri Pertanian, Harvick Hasnul Qolbi, menuturkan tumpang sari padi gogo di lahan kelapa sawit sejalan dengan program akselerasi dan percepatan program peremajaan sawit rakyat (PSR).
Harvick berujar, penanaman padi gogo akan menggunakan benih berkualitas dengan menerapkan Good Agriculture Practices. Program ini disebut bakal mengoptimalkan 500 ribu hektare lahan perkebunan sawit serta menambah penghasilan pekebun selama masa peremajaan sawit. Program ini mengambil akronim nama yang cukup patriotik, Kelapa Sawit Tumpang Sari Tanaman Pangan, atau disingkat Kesatria.
“Program Kesatria itu diharapkan dapat memberikan tambahan produksi [padi] sebanyak 1 juta ton,” ucap Harvick dalam Rapat Koordinasi Nasional Akselerasi Peremajaan Sawit Rakyat di Jakarta, dikutip Rabu (6/3/2024).
Namun, nama gahar saja belum cukup jika tidak disertai dengan implementasi yang dapat mewujudkan maksud dari program tersebut. Alih-alih menjadi solusi ketahanan pangan, jangan sampai program ini malah menjadi daftar gagal baru.
Peneliti pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, menilai padi gogo memiliki produktivitas yang rendah. Padi gogo adalah adalah jenis padi yang ditanam di lahan kering. Sistem pengairannya bisa hanya berasal dari air hujan, berbeda dengan padi pada umumnya. Namun, padi gogo memiliki masa panen lebih lama yakni 159 hari.
“Padi gogo itu produktivitasnya rendah dibandingkan padi sawah. Tidak cukup signifikan juga meningkatkan produksi beras,” kata Eliza kepada reporter Tirto, Rabu (6/3/2024).
Eliza memandang keinginan pemerintah untuk meremajakan lahan sawit rakyat dengan upaya menggenjot produksi beras tidak bisa campur aduk. Apa sebab? Peremajaan sawit semestinya dilakukan dengan cara mengganti tanaman sawit yang sudah tua dan tidak menghasilkan.
“Perlu diganti agar produksinya meningkat dan mencegah ekspansi pembukaan hutan baru. Pemerintah semestinya fokus mengganti tanaman sawit yang sudah tidak menghasilkan,” ujar Eliza.
Masalahnya, target-target peremajaan sawit rakyat yang dibuat pemerintah sejak 2016 belum mencapai target. Ini malah sudah beralih dan menambah beban dengan program tumpang sari di lahan sawit. Peremajaan sawit rakyat baru mencapai 30 persen dari target 180.000 hektar per tahun.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Selasa (27/2/2024), di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, menyebutkan lambatnya pencapaian target ini karena adanya kendala di regulasi dan status lahan sawit yang ingin diremajakan. Selain itu, ada keterbatasan anggaran untuk petani yang ingin meremajakan tanamannya.
“Sejak 2016 itu awalnya ditargetkan untuk mengganti sekitar 2,5 juta hektare pohon kelapa sawit yang sudah tua di 2025. Tapi yang disetujui hingga akhir 2023 hanya 326.308 hektare dan lahan yang sudah ditanami lagi cuma 205.524 hektare,” jelas Eliza.
Eliza menegaskan, sudah jelas jika ingin meningkatkan produksi beras, maka yang harus dilakukan memperhatikan nasib petani padi eksisting saat ini. Caranya, dengan melakukan intensifikasi pada lahan-lahan sawah seperti di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi untuk meningkatkan produksi padi mereka.
“Irigasi diperbaiki, saat ini lebih dari 30 persen irigasi rusak parah. Sawah tadah hujan yang belum dibangun irigasinya, segera dibangun dan diselesaikan pembangunannya,” tutur dia.
Misalnya di Garut, kata Eliza, masih banyak sawah tadah hujan yang hingga saat ini pembangunan infrastruktur irigasinya tidak kelar-kelar. Akibatnya, petani hanya mampu memproduksi padi sekali saja dalam satu tahun. Selain itu, faktor yang paling berpengaruh terhadap produksi padi adalah harga yang baik di tingkat petani.
“Untuk dicermati, kemarin El Nino secara agregat kita turun produksi berasnya 440 ribu ton. Tapi di beberapa daerah seperti Jatim dan Sumbar justru produksinya bertambah karena harga gabah kering panennya bagus, menguntungkan petani,” ungkap Eliza.
Tidak Cocok
Di sisi lain, tanaman tumpang sari terbaik untuk lahan sawit adalah kacang-kacangan, bukan padi. Jenis tanaman kacang-kacangan mampu mengikat nitrogen, tanaman sawit membutuhkan nitrogen tanah untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
“Bisa juga tumpang sari dengan tanaman pisang yang bisa menjadi tambahan pendapatan petani. Atau ditanami jahe atau pinang yang bisa tumbuh dibawah naungan pohon sawit dan tidak banyak membutuhkan sinar matahari,” ujar Eliza.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI, Uli Arta Siagian, menilai rencana pemerintah menanam padi gogo untuk program peremajaan sawit rakyat tidak didasari oleh riset yang memadai. Serta kemungkinan besar tidak didahulukan dengan dokumentasi praktik-praktik lapangan yang dilakukan dengan baik.
“Sehingga kemudian keputusan itu tidak berangkat dari hal-hal yang realitas yang terjadi gitu ya. Karena sependek pengalaman saya untuk kerja-kerja dalam konteks sawit gitu ya. Tidak banyak jenis tanaman yang bisa tumbuh di sela-sela pohon sawit,” kata Uli kepada reporter Tirto.
Apalagi kemudian, kata Uli, kali ini jenis tanaman padi yang mau ditanam. Tumbuhan lain saja disebutnya jarang sekali tumbuh di lahan sawit. Salah satu sebabnya, tanaman sawit secara fisiologi punya akar yang banyak dan panjang-panjang.
“Dan dari akar itu kemudian batangnya besar gitu ya. Terus dahannya banyak dan besar gitu. Nah secara bentuk fisiologi tubuhnya sawit, dia itu menjadi satu tanaman yang sangat rakus sekali air,” kata dia.
Dengan fisiologi tanaman sawit yang seperti itu, tanaman ini sangat boros air dan akan berdampak bagi tanaman-tanaman lain yang ditanam di sekitar lahan sawit. Hal itu yang menyebabkan banyak tanaman lain gagal tumbuh dengan baik di lahan sawit.
“Nah, kalau itu tidak dilihat, riset dan kemudian fakta-fakta lapangan itu tidak dijadikan basis, maka lagi-lagi sebenarnya keputusan ini atau program ini memang dirancang gagal sejak awal,” tutur Uli.
Menurut Uli, satu-satunya cara untuk menggenjot produksi padi adalah memproteksi sawah-sawah tersisa yang ada hari ini. Jangan lagi sawah-sawah tersisa dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit atau pertambangan. Termasuk dikorbankan untuk proyek-proyek strategis nasional dan pembangunan lain.
“Paling besar dari berubahnya tanaman sawah menjadi lahan-lahan yang lain gitu ya atau konsesi-konsesi perkebunan yang lain itu ya karena masifnya penerbitan izin,” ungkap dia.
Jika penerbitan izin dihentikan, itu adalah satu upaya dari memproteksi lahan pangan tersisa. Bukan hanya sawah, sikap ini juga perlu diterapkan dalam memproteksi hutan. Sebab hutan adalah lanskap pangan masyarakat adat di komunitas lokal. Pembabatan hutan terus-menerus otomatis adalah kemusnahan keberagaman pangan lokal.
“Memproteksi sawah tersisa kita, lahan-lahan produktif kita untuk tidak menjadi konsesi, untuk tidak dijadikan perkebunan lainnya. Juga kemudian menyetop penerbitan izin-izin industri ekstraktif seperti sawit, serta tambang, baik nikel atau batu bara,” tegas Uli.
Penuh Tantangan
Dilansir laman resmi Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan, Rabu (6/3/2024), Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, menyatakan program Kesatria merupakan strategi pemerintah meningkatkan produksi padi. Hal ini sebagai upaya mencukupi ketersediaan beras bagi masyarakat dengan memanfaatkan potensi lahan perkebunan yang tersedia.
Direktur Jenderal Perkebunan, Andi Nur Alam Syah, menargetkan program peremajaan perkebunan sawit rakyat seluas 120.000 hektare di tahun ini. Dia meminta insan industri kelapa sawit serta pemerintah, dapat duduk bersama mencari titik temu dan solusi tepat untuk menjawab tantangan pola kemitraan perkebunan kelapa sawit agar tercipta iklim usaha yang sehat.
“Semoga dengan adanya program kesatria ini dapat memperkuat akselerasi kedaulatan pangan dan hasil produksi komoditas pertanian baik padi, jagung maupun komoditas perkebunan dapat terus meningkat signifikan,” ujar Andi.
Direktur Pusat Riset Pangan Berkelanjutan Universitas Padjadjaran, Ronnie Susman Natawidjaja, menilai tidak ada hubungannya menanam padi gogo dengan program peremajaan sawit rakyat. Jika penanaman padi diniatkan untuk mengantisipasi El Nino, masih ada relevansi meskipun akan menghadapi sejumlah tantangan dalam aplikasinya.
“Lahan sawit umumnya ditanam pada lahan marginal dan rawa. Selain itu padi gogo pada lahan subur saja produktivitasnya jauh di bawah padi sawah. Kalau padi sawah saat ini sekitar 6-7 ton per hektare, maka padi gogo produktivitasnya hanya sekitar 3-4 ton per hektare,” kata Ronnie kepada reporter Tirto, Rabu malam (6/3/2024).
Jika program ini berhasil, memang secara umum disebut Ronnie akan meningkatkan ketersediaan beras sebanyak 900-1,2 juta ton. Namun, dia menepis bahwa program ini akan menambah devisa negara, sebab tidak ada hubungan di antara keduanya.
“Mungkin pengertiannya [yang tepat] akan menghemat devisa karena kita tidak usah impor beras lagi dari luar negeri. Tantangan utamanya adalah dukungan dari para pengusaha sawit, bagaimana meyakinkan mereka agar mau melakukan tumpang sari yang secara ekonomis belum tentu menguntungkan,” ujar Ronnie.
Secara agronomis, kata dia, lahan sawit memiliki kesuburan yang rendah dan pemerintah mau tak mau harus dapat menemukan bibit padi gogo yang memiliki produktivitas tinggi sehingga dapat mendekati hasil 5-6 ton per hektar. Selain itu, masalah keamanan harus diperhatikan karena tanaman padi dan palawija lebih mudah dicuri dibandingkan tanaman sawit.
“Menurut saya daripada memaksakan pola tumpang sari pada lahan sawit dengan permasalahan yang sudah saya sampaikan di atas. Lebih baik tanam padi gogo dilakukan pada lahan-lahan perkebunan (BUMN) yang sudah kehilangan kemampuannya untuk mengusahakan dan mengelola tanaman komersial [teh, karet, dan tebu],” saran Ronnie.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz