Menuju konten utama
Expose

Ketika Sorgum, Pangan Lokal NTT Turun Kelas Digeser Beras

Pangan lokal sorgum, koil, songkol, sombu gaplek mulai tersingkir dari meja makan warga NTT secara perlahan akibat program beras-isasi sejak 1980.

Ketika Sorgum, Pangan Lokal NTT Turun Kelas Digeser Beras
Header Expose Ancaman Pangan Lokal. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Beras-isasi pada masa pemerintahan Soeharto sedikit banyak memengaruhi sejarah keberagaman pangan masyarakat lokal di Indonesia. Beras menggusur Sorgum di Nusa Tenggara Timur (NTT), menggantikan Sagu di Papua. Diversifikasi 'merangkak' ini kira-kira selama dua dekade di masa orde baru, periode 1970 hingga 1980-an.

Tirto pernah mengulas tentang program beras pada masa pemerintahan Soeharto dalam artikel " Swasembada Beras ala Soeharto: Rapuh dan Cuma Fatamorgana ".

Beras mengganti Sorgum ini masih lekat dalam ingatan Torsi, pria 70 tahun warga Desa Dampek Manggarai Timur, NTT. Ia mengenang pada 1975 di meja makan rumahnya masih tersuguh sorgum. Usianya masih 10 tahun waktu itu. Namun dua tahun berikutnya, sorgum pelan-pelan hilang berganti beras.

"Tahun 1975 di meja makan rumahku masih ada sorgum. Usiaku saat itu 10 tahun. Pada usia 12 tahun sudah tak ada lagi sorgum. Sekarang udah hilang, tapi baru disosialisasikan lagi oleh Kehati (NGO). Sempat hilang lama, dan kami melupakan kalau dulu ada ini (sorgum). Karena kita ke beras sentris," katanya.

Petani Dampek itu mengisahkan kalau sorgum menjadi makanan pokok di musim paceklik era 70-an. Sejak orang Manggarai pintar bercocok tanam padi, secara perlahan sorgum mulai dilupakan. Nilai sorgum juga berubah, manusia makan beras, sementara jagung dan sorgum jadi pakan hewan ternak atau burung liar.

Sejak 70-an itulah sorgum menjadi makanan pokok (selak) bagi keluarga di Manggarai. Akan tetapi, karena masuknya revolusi hijau atau beras sentris, pola tanam orang Manggarai berubah secara adat dan budaya. Alhasil warga mulai menanam padi sawah di lahannya masing-masing.

Sementara menurut generasi lebih muda, Efryd Budiman (24), mengaku sejak kecil sudah dicekoki beras. Ia sama sekali tak mengetahui beragam pangan lokal di Manggarai Raya sebagai makanan karbohidrat pengganti beras. Saban hari hidangan di meja makan yang disiapkan orang tua hanya nasi, mie dan makanan serba instan.

Efryd baru mengetahui ada pangan lokal sebagai pengganti nasi usai mengikuti sebuah seminar di Ruteng- Ibu Kota di Kabupaten Manggarai- dua tahun lalu.

"Saya tidak tahu sorgum adalah makanan lokal Flores. Saya baru tahu tahun 2020," ungkap Efryd kepada Tirto, di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, (13/8/2023).

Sejak itu, Efryd makin penasaran dengan pangan lokal di Ruteng. Ia pun bertekad untuk menggunakan pangan lokal seperti sorgum sebagai makanan sehari-hari.

Sorgum merupakan tanaman rumput-rumputan yang berkerabat dekat dengan padi dan jagung. Tanaman ini salah satu jenis serealia potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai pengganti beras dan memiliki kandungan gizi lebih tinggi.

Biji sorgum memiliki tekstur yang kaya dan kenyal. Biji pesi (nama lokal sorgum di Manggarai) juga mengeluarkan aroma rasa yang hampir sama seperti kacang. Bahkan memberikan rasa kenyang lebih lama dibandingkan beras. Biji Sorgum memiliki warna mulai dari merah, cokelat, hitam dan ungu.

Menurut Efryd, sorgum terpinggirkan di dalam masyarakat Manggarai Raya: Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur. Penyebabnya, mulai dari hilangnya tradisi di dalam keluarga hingga proses menanak sorgum yang terlalu lama.

Untuk menanak sorgum, butuh waktu setengah hari. Awalnya sorgum harus dicuci dan direndam air selama setengah hari, setelah itu mesak (nama lokal Sorgum di Manggarai) baru bisa dimasak dan dihidangkan.

Meski telat mengetahui sorgum sebagai pangan lokal, Efryd kini mulai mengonsumsinya sebagai makanan sehari-hari di rumahnya.

"Setiap hari, sarapan pagi dengan sorgum. Siang enggak makan dan malam juga. Konsumsi sorgum buat kita kenyang terus," terang Efryd.

Selain sorgum, makanan lokal yang mulai ditinggalkan masyarakat adalah koil. Koil berasal dari ubi yang dipotong lalu dijemur sampai kering. Jika di Jawa disebut dengan gaplek, di Manggarai disebut Koil.

Yohan Langing, petani muda asal Dampek, Kecamatan Lamba Leda Utara, Kabupaten Manggarai Timur ini bilang, koil bisa bertahan selama setahun untuk konsumsi.

"Koil ini juga makanan pengganti beras. Bisa bertahan sampai tahunan. (Koil) Dijemur, bisa tahan lama. Bisa makan tiap hari. Ini makanan pokok dulu," kata Yohanes kepada Tirto, Minggu (12/8/2023).

Pria 31 tahun itu mengungkapkan, makanan koil ini sudah tidak dijual di pasar lagi. Jika pun mau mengonsumsi, masyarakat biasanya buat sendiri di rumah. Tapi bagi sebagian anak muda, koil makanan yang tak sesuai zamannya.

Alumni Pendidikan Matematika STKIP Kusuma Negara, Cijantung ini menambahkan, banyak kendala di lapangan dalam memperkenalkan pangan lokal bagi anak muda. Bagi anak muda, kata Yohanes, pangan lokal itu ribet.

Kemudian, anak muda enggan menanam pangan lokal karena mereka hanya berpikir soal hasil akhir. "Siapa yang beli?," kata Yohanes menirukan ucapan temannya.

Pangan Lokal NTT

Seorang anak muda katolik memperlihatkan olahan makanan khas Nusa Tenggara Timur, koil. Dulunya koil menjadi makanan pokok masyarakat NTT. (FOTO/Reja)

Gina Karina, Manajer Food and Land Use (FoLU) World Resources Institute Indonesia mengungkapkan, terpinggirnya pangan lokal secara perlahan- lahan mulai sejak 'berasinasi' pada 1980. Orang-orang mulai berorientasi makanan pokok itu harus beras. Jika tak makan nasi maka disebut belum makan.

"Akhirnya berlaku secara nasional, termasuk di Nusa Tenggara Timur. Makan nasi juga sebagai pembuktian status ekonomi, misalnya orang ber-uang makannya beras. Kalau belum makan nasi, itu status ekonominya menengah ke bawah," ujar Gina kepada Tirto (1/9/2023).

Terpinggirnya tanaman lokal seperti sorgum tak lepas dari kebijakan pangan Orde Baru yang menempatkan beras sebagai satu-satunya pangan pokok dan makanan lainnya tak lebih sebagai tambahan saja. Di Indonesia, revolusi hijau diterapkan secara masif pada era Orde Baru dengan mimpi utama berupa swasembada beras.

Data Badan Pusat Statistik 1954, porsi beras dalam memenuhi pangan pokok masyarakat hanya 53,5 persen, sisanya dipenuhi dari ubi kayu 22,26 persen, jagung 18,9 persen dan umbi-umbian 4,99 persen.

Pada 1981, pola konsumsi pangan bergeser drastis. Beras menempati porsi 81,1 persen, ubi kayu 10,02 persen, dan jagung 7,82 persen.

Pada 1999, setahun setelah berakhirnya era 32 tahun Orde Baru, konsumsi ubi kayu tinggal 8,83 persen dan jagung 3,1 persen. Pola konsumsi keberagaman pangan lokal nyaris hilang karena digantikan beras.

Stigma Makan Beras Vs Pangan Lokal

Yoseph Ronaldi (26), petani muda asal Colol mengungkapkan ada stigma bagi masyarakat yang sehari-hari makan beras dengan makan umbi-umbian. Ia bilang, masyarakat yang makanan pokoknya beras maka status sosialnya digolongkan lebih tinggi.

Sebaliknya, masyarakat yang makan umbi-umbian status sosialnya dianggap lebih rendah atau digolongkan kelompok miskin.

"Dalam satu keluarga, jika makan pangan lokal dikategorikan tidak mampu beli beras. Mereka digolongkan sebagai keluarga miskin. Karena logikanya gak bisa beli beras karena makan makanan pangan lokal sesuai isi dompet," kata Yoseph kepada Tirto, Sabtu (12/8/2023).

Dulu, ketika masih SD, stigma ini belum terdengar oleh Yoseph. Dia bilang, kalau dulu pangan lokal lebih dominan daripada budaya makan nasi. Dia mengenang, ketika masih SD, orang tuanya membekali sarapan pagi dengan ubi. Bukan hanya Yoseph, tetapi teman SD juga membawa bekal yang sama dengan olahan berbeda.

"Ada ubi goreng, kukus, dibakar, digeprek dibawa ke sekolah. Kalau istirahat makan rame-rame di bawah pohon cengkeh, terus tukar makanan. Ada yang bawa jagung," ujarnya.

"Jadi zaman saya SD, pangan lokal lebih dominan sebagai makanan sehari-hari masyarakat."

Namun, 10-15 tahun kemudian, masyarakat lebih mudah memperoleh beras. "Ketika budaya beras masuk, lidah masyarakat beralih yang awalnya umbi-umbian kini harus nasi. Petani atau masyarakat di Colol, kalau belum makan nasi disebut belum makan walaupun sudah makan ubi sepiring," katanya.

Sementara itu, Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Rinna Syawal mengungkapkan, butuh tenaga ekstra untuk mengubah cara berpikir masyarakat dan mengembalikan kepercayaan diri untuk mengonsumsi makanan lokal. Dia bilang, makan pangan lokal bukan berarti status sosialnya lebih rendah dibandingkan makan nasi.

"Mindset itu harus hilang. Kalau tidak makan nasi maka dianggap inferior atau lebih rendah. Itu masalah besar yang kita hadapi," kata Rinna saat ditemui Tirto di kantornya, Jakarta (31/8/2023).

Ia memberi contoh di daerah Papua, begitu ekonominya membaik sedikit maka mereka mulai tinggalkan sagu dan umbi-umbian. Mereka beralih ke makanan pokok beras.

Data Bapanas, memang ada pergeseran pola pangan di Indonesia. Pada 2009, pola konsumsi pangan di wilayah timur Indonesia masih beragam. Selain makan beras, masih dominan jagung, ubi jalar dan sagu. Namun, pada 2020 konsumsi beras dan terigu semakin mendominasi di Indonesia timur.

Rinna mengungkapkan pengalamannya ketika berkunjung ke satu daerah. Pada saat itu, ia disuguhkan dengan makanan biskuit oleh panitia acara. Padahal, ia ingin makanan lokal daerah tersebut. Panitia acara beralasan malu ketika menghidangkan makanan lokal seperti sukun goreng atau singkong.

"Justru saya mencari itu. Kalau biskuit, di Jakarta juga banyak. Itu menunjukkan persepsi bahwa (masyarakat) malu makan itu (pangan lokal). Itu fakta, itu harus kita edukasi masyarakatnya. Bangkitkan kepercayaan diri, makanan lokal itu sehat, makanan lokal bergizi," ucapnya.

Infografik Expose Ancaman Pangan Lokal

Infografik Expose Ancaman Pangan Lokal. tirto.id/Parkodi

Rebranding: Pangan Lokal Sehat & Murah

Gina Karina, Manajer Food and Land Use (FoLU) World Resources Institute Indonesia mengatakan, pangan lokal harus dibranding ulang di masyarakat. Dia mencontohkan, daerah urban Jakarta misalnya, ada masyarakat yang tidak konsumsi karbo atau nasi karena untuk menjaga kesehatan. Oleh karena itu, perlu diperkenalkan pangan lokal yang sehat dan keren.

"Sorgum gizinya lebih tinggi daripada nasi. Bisa diolah berbagai macam. Ada challenge pada saat pengolahannya, dikasih juga solusinya. Kita mesti buktikan itu," ungkap Gina kepada Tirto (1/9/2023).

Dia menjelaskan pangan lokal dibranding sehat dan keren, tapi semuanya harus dibuktikan secara ilmiah. Bahkan, lanjutnya, makanan lokal tidak kalah enak, gampang disimpan dan diproses.

“Kalau semua sudah terjawab solusinya, tentunya masyarakat akan lebih memilih pindah ke makanan lokal yang sehat,” ucapnya.

Ada banyak pangan lokal dengan bahan baku lokal yang sehat di masing-masing daerah. NTT ada sorgum, sayur kelor, songkol, jewawut, jagung bose, sei daging. Di Sulawesi Tenggara ada Sinonggi, makanan khas suku Tolaki. Makanan ini merupakan hidangan yang berasal dari pohon sagu. Di Wonosobo, ada sego leye atau nasi leye (beras singkong).

Rinna Syawal, Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengatakan, pihaknya punya kegiatan edukasi pangan lokal dan sehat sejak dini. Kegiatan itu bernama BG2SA (beragam, bergizi seimbang dan aman) go to school. Kegiatan itu sudah berjalan di NTT dengan 10 ribu porsi pangan lokal.

"Kita punya slogan, kenyang tidak harus nasi," ungkap Rinna.

Dia menambahkan, pangan lokal secara kesehatan kualitasnya lebih baik. Pangan lokal ada yang bersumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Pangan lokal lebih dekat dengan konsumen dan lebih fresh dikonsumsi sesuai dengan musimnya. Secara lingkungan, pangan lokal kurangi jejak karbon sebab tidak didatangkan dari luar pulau.

Dari aspek ekonomi, harga lebih terjangkau, minim biaya transportasi dalam pemasaran dan menggerakan ekonomi masyarakat lokal. Saat ini, harga sorgum lebih murah ketimbang beras. Pengakuan para petani muda Ruteng, harga sorgum dibanderol Rp15 ribu per kilogram. Sedangkan beras Rp20 ribu per kg.

Aspek lainnya, kata Rinna, pangan lokal daerah NTT bisa mengangkat potensi wisata dan budaya lokal.

”Pangan lokal harusnya bisa diintegrasikan dengan kegiatan wisata yang saat ini sudah tumbuh. Misalnya dinas pariwisata bisa mewajibkan hotel agar menyediakan pangan lokal. Seperti pagi ini, saya mencari makanan lokal untuk sarapan di hotel ini tidak ada,” ungkap Rinna di Labuan Bajo (14/8/2023).

Selain itu, ia mengungkapkan bahwa warga mulai sadar dengan makanan happy food. Makanan tersebut memiliki efek yang mampu memberikan rasa bahagia, namun baik untuk diet, antara lain; pisang, alpukat, apel, kacang almond dan telur. Kemudian warga juga sadar fungsional food, artinya bahan makanan alami yang bisa ditambahkan ke dalam makanan untuk meningkatkan nilai gizinya.

"Orang diabet kurangi makan karbonya. Itu masalah yang dihadapi. Sakit dulu baru sadar (pangan sehat). Kelompok ini terbatas," tutur Rinna.

Ungkapan sakit dulu baru membuat orang sadar dengan pangan sehat menjadi fenomena yang sering terjadi di masyarakat saat ini. Ketika ada dampak kesehatan, orang tersebut baru memperbaiki pola konsumsi pangan. Namun, ini berbeda dengan orang tua dulu yang memilih makanan lokal dan sederhana.

"Orang tua dulu konsumsi pangan lokal (umbi-umbian, sorgum, jewawut). Semakin tua, enggak ada masalah kesehatan malah lebih bagus dan umurnya panjang. Tapi anak sekarang makan serba instan serta berpengaruh terhadap kesehatan dan umur," tutup Efryd.

Baca juga artikel terkait PANGAN LOKAL atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Restu Diantina Putri