Menuju konten utama

Hilirisasi Nikel Ugal-ugalan, Picu Kemiskinan & Lingkungan Rusak

Laporan Climate Rights Internasional menunjukkan terdapat kompleks industri nikel di Maluku Utara telah melanggar hak asasi penduduk lokal.

Hilirisasi Nikel Ugal-ugalan, Picu Kemiskinan & Lingkungan Rusak
Foto udara, aktivitas bongkar muat tambang nikel ke atas kapal tongkang PT Tiran Mineral di Kecamatan Lasolo, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Jumat (11/6/2021). ANTARA FOTO/Jojon/hp.

tirto.id - Realisasi investasi di bidang hilirisasi mencapai Rp375,4 triliun sepanjang 2023. Pada sektor mineral, smelter meraup total investasi sebesar Rp216,8 triliun. Nikel menempati posisi tertinggi dengan total investasi sebesar Rp136,6 triliun mengungguli bauksit dan tembaga yang masing-masing Rp9,7 dan Rp70,5 triliun.

Nikel belakangan memang menjadi hasil tambang paling seksi di tengah kebangkitan industri kendaraan listrik. Dengan cadangan mencapai 21 juta metrik ton, komoditas itu masih menjadi harta karun Indonesia paling berharga. Faktor inilah kemudian membuat pemerintah berkali-kali mendorong hilirisasi dengan mendirikan pabrik smelter pada komoditas ini.

Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga menyinggung nilai didapat dari proses hilirisasi nikel. Saat nikel diekspor dalam bentuk bijih atau bahan mentah, nilai yang diperoleh negara hanya sekitar Rp17 triliun.

Namun, setelah dilakukan hilirisasi dan industrialisasi terhadap produk nikel tersebut, nilainya melonjak menjadi Rp510 triliun sehingga secara otomatis juga meningkatkan pendapatan negara melalui pajak.

Berdasar hitung-hitungan perkiraan dalam 10 tahun, jika hilirisasi digalakkan pendapatan per kapita RI akan capai Rp153 juta (10.900 dolar AS). Dalam 15 tahun, pendapatan per kapita RI akan capai Rp217 juta (15.800 dolar AS). Dan dalam 22 tahun, pendapatan per kapita kita akan capai Rp331 juta (25.000 dolar AS).

AKTIVITAS PENAMBANGAN NIKEL ILEGAL DI KONAWE UTARA

Aktivitas bongkar buat tambang nikel keatas kapal tongkang PT Tiran Mineral di Kecamatan Lasolo, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Jumat (11/6/2021). ANTARA FOTO/Jojon/hp.

Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, tidak menampik hilirisasi berhasil menaikkan nilai ekspor secara drastis. Pada 2018, nilai ekspor biji nikel hanya Rp15 triliun, sementara di 2022 nilai setelah menjadi produk setengah jadi meningkat menjadi Rp360 triliun.

Namun sayangnya, nilai tambah nikel masih rendah, diperkirakan sekitar 30 persen dari nilai tambah yang dihasilkan hilirisasi. Sementara 70 persen nilai tambah justru dinikmati oleh investor Cina.

"Lapangan pekerjaan baru yang diciptakan hilirisasi juga tidak begitu banyak lantaran investor mengusung tenaga kerja dari Cina," ungkap Fahmy kepada Tirto, Jumat (26/1/2024).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengungkapkan, selama ini proses hilirisasi nikel tidak sepenuhnya berjalan di Indonesia. Selain karena industri di hilirnya belum siap, pengolahan nikel dalam negeri masih diserahkan ke Cina.

Indonesia baru mengolah bahan mentah menjadi bahan baku hingga saat ini, belum ada produk jadi bisa dihasilkan yang nilai tambahnya jauh lebih tinggi. Hal tersebut membuat Tanah Air belum mendapatkan manfaat nikel yang sebenarnya.

"Memang apa yang disampaikan pemerintah hilirisasi membawa nilai tambah betul. Tetapi kita belum mendapatkan nilai tambah yang optimal," ujar Fabby.

Fabby menilai, hal itu merupakan pekerjaan rumah pemerintah untuk mengembangkan industri agar benar-benar sampai ke hilir sehingga tidak bergantung pada impor. Di samping, tujuannya juga harus jelas apakah ekspor barang setengah jadi, atau barang jadi yang memiliki nilai tinggi.

Dampak Lingkungan & Sosial yang Harus Dibayar

Terlepas dari itu, yang paling penting ketika bicara hilirisasi sebenarnya adalah bagaimana pengolahan nikel yang ada di Tanah Air. Fabby Tumiwa menuturkan, proses pengolahan nikel di Indonesia berdampak besar kepada lingkungan dan sosial di area sekitar proyek-proyek tambang nikel.

Pada laporan Climate Rights Internasional dipublikasikan pada pertengahan Januari 2024, membuka fakta baru di komplek industri nikel Maluku Utara dan pertambangan di sekitarnya telah melanggar hak asasi penduduk lokal.

Dalam laporan yang terdiri dari 124 halaman tersebut, Climate Rights International mewawancarai 45 narasumber yang tinggal di dekat kegiatan peleburan (smelting) di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) serta di sekitar pertambangan nikel di Halmahera.

Penduduk lokal menjelaskan bagaimana perusahaan-perusahaan, berkoordinasi dengan kepolisian dan militer, telah menyerobot lahan, memaksa, serta mengintimidasi penduduk hingga masyarakat adat, yang tengah menghadapi ancaman serius terhadap cara hidup tradisional mereka.

Tanjung Buli Dikepung Tambang Nikel

Satu keluarga yang bermigrasi dari Bugis mengadu nasib sebagai nelayan Pulau Belemsi sejak 4 tahun lalu. tirto.id/Hafitz Maulana

Pelanggaran tersebut termasuk masyarakat adat, menyebabkan deforestasi yang signifikan, pencemaran udara dan air, serta menghasilkan gas rumah kaca dalam jumlah besar dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di luar jaringan (captive power plant).

Penambangan nikel di daerah tersebut juga menjadi penyebab deforestasi dan hilangnya keragaman hayati secara signifikan. Terdapat 5.331 hektare hutan tropis telah ditebang di dalam konsesi pertambangan nikel di Halmahera, menyebabkan hilangnya sekira 2,04 metrik ton gas rumah kaca (CO2e) yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk karbon di dalam hutan-hutan tersebut.

"Ini kan harusnya pemerintah sadar untuk itu. Jadi bukan berarti kemudian anti hilirisasi, tapi memang perlu dampak lingkungan dan sosial dari pengolahan nikel itu tidak bisa dianggap remeh," kata Fabby.

Karena bisa jadi, lanjut dia, biaya terhadap dampak lingkungan dan sosial yang diakibatkan itu jauh lebih besar dari nilai ekonomi yang didapatkan dari pengolahan nikel. Sebab itu, dia menilai masalah ini harus menjadi perhatian pemerintah dan perlu benar-benar diperhitungkan.

“Nah menurut saya ini kesempatan sebenarnya siapapun yang akan memimpin nanti melakukan hilirisasi tetapi memperkuat safeguard. Sehingga bisa meminimalkan dampak lingkungan dan sosial tadi,” ucap Fabby.

Angka Kemiskinan

Sementara itu, Fabby juga menyoroti areal sekitar pertambangan atau smelter nikel yang masih berdampak kemiskinan. Dia menuturkan, jika melihat data Produk Domestik Bruto Regional (PDRB) daerah, terdapat smelter yang angkanya terus meningkat. Namun, hal itu menjadi pertanyaan apakah kemakmuran di sekitar area tersebut meningkat?

Fabby pun menilai PDRB di wilayah adanya smelter nikel belum cukup menggambarkan tingkat kemakmuran masyarakat.

“Jadi pertanyaannya apakah benar peningkatan nilai tambah itu dinikmati oleh masyarakat yang terkena dampaknya, yang tanahnya dieksploitasi? Apakah sepadan dengan tadi biaya dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari ekstraktif?" tanya Fabby.

Mengutip booklet tambang nikel 2020, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menghimpun sejumlah provinsi yang memiliki daerah tambang nikel. Terdapat tujuh provinsi tempat berdirinya tambang nikel berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikantongi perusahaannya yaitu Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.

PENCEMARAN LIMBAH PEMBAKARAN NIKEL

Seorang anak berlari diatas hambaran limbah butiran pembakaran Ore Nikel milik salah satu perusahaan pertambangan yang dibuang di pesisir laut di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, Sabtu (18/5/2019). ANTARA FOTO/Jojon/19.

Dari beberapa wilayah itu hampir seluruh provinsi pertambangan yang disebutkan di atas mengalami peningkatan persentase kemiskinan sepanjang September 2022-Maret 2023. Hal ini bisa dilihat melalui laporan kemiskinan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2023.

Menurut data BPS, hanya ada dua provinsi dengan penurunan persentase kemiskinan, yakni Papua Barat dan Papua. Persentase penduduk miskin Papua Barat pada September 2022 sebesar 21,43 persen, turun menjadi 20,49 persen pada Maret 2023.

Sementara persentase penduduk miskin di Papua pada September 2022 sebesar 26,8 persen, turun tipis menjadi 26,03 persen pada Maret 2023. Lima provinsi lainnya justru mengalami peningkatan.

Provinsi yang naik cukup tinggi adalah Maluku, dari 16,23 persen pada September 2022 menjadi 16,42 persen pada Maret 2023 atau naik 0,19 poin. Selain itu, Sulawesi Tenggara, dari 11,27 persen pada September 2022 menjadi 11,43 persen pada Maret 2023, naik 0,16 poin. Sisanya, terlampir pada grafik.

“Itu sudah lazim saya kira tambang daerah daerah pertambangan itu masyarakat sekitar miskin,” ungka Fabby.

Terlepas dari itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, justru mengklaim, hilirisasi nikel telah sukses menurunkan angka kemiskinan di daerah tersebut. Dia menjelaskan, pada 2015, kemiskinan di Sulawesi Tengah 14,7 persen. Kemudian, pada 2023, kemiskinan telah turun menjadi 12,4 persen.

Lebih lanjut, Luhut juga menjelaskan, persentase kemiskinan di Morowali pada 2015 mencapai 15,8 persen. Catatan pada 2023 menurun menjadi 12,3 persen.

“Jadi terjadi juga cukup perbaikan-perbaikan di sana, tapi itu saja enggak cukup,” ucap Luhut.

Baca juga artikel terkait HILIRISASI NIKEL atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin