tirto.id - Hilirisasi mineral menjadi salah satu titik tumpu pemerintahan Prabowo-Gibran untuk merealisaikan target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8 persen per tahun. Mimpi belaka atau realistis?
Jepang negara yang miskin sumber daya alam. Dari 35 jenis mineral kritis (critical minerals) yang punya pengaruh besar terhadap ekonomi dan industri jepang, hanya ada satu jenis mineral yang dimiliki Jepang. Selebihnya, mineral penting dan vital itu diperoleh dari impor.
Nikel, besi, tembaga, bauksit, mangan, timah, serta mineral logam lainnya, didatangkan dari luar dalam bentuk bahan mentah (raw material) atau pun produk setengah jadi (intermediate product). Ketergantungan Jepang atas impor material berbasis logam sangat tinggi, tercermin dari struktur importasi Jepang yang menempatkan produk berbasis logam, sebagai peringkat teratas selain migas dan batubara.
Pada 2019 lalu, Jepang mengimpor 8,99 miliar dolar AS dalam bentuk bijih besi. Di tahun yang sama, impor bijih dan kosentrat tembaga sebesar 7,79 miliar dolar AS. Mengimpor nikel dalam bentuk bijih, matte maupun produk setengah jadi lainnya senilai 934 juta dolar AS. Membeli timah dalam bentuk raw material sebesar 472 juta dolar AS.
Namun, dengan penguasaan teknologi serta sumberdaya manusia yang cakap dalam industri downstream berbasis logam, bahan mentah dan setengah jadi yang diimpor itu, diolah lebih lanjut untuk menjadi aneka produk akhir (end product) dengan nilai tambah yang berlipat-lipat.
Aneka produk akhir tersebut diaplikasikan untuk memenuhi kebutuhan aneka industri barang otomotif, elektonika, robotik, transportasi, konstruksi, telekomunikasi, permesinan, peralatan rumah tangga, dirgantara serta masih banyak produk turunan lainnya.
Jepang mampu mengeruk devisa dengan added value yang berkali-kali lipat, setelah bahan baku tersebut berubah wujud menjadi mobil Toyota, televisi Panasonic atau pun sepeda motor Honda.
Kondisi ini tercermin dari kemampuan sektor industri memberi kontribusi lebih dari 30 persen dari total Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Jepang, yang pada tahun 2020 lalu nilainya sebesar 5,05 triliun dolar AS. Nah, dari nilai tersebut, devisa yang dihasilkan melalui ekspor mencapai 641 miliar dolar AS, yang sebagian besar disumbang oleh industri manufaktur berbasis aplikasi mineral logam.
Ironis sekaligus miris. Karena Indonesia adalah salah satu negara tujuan ekspor produk-produk industri Jepang, yang bahan bakunya justru banyak diimpor dari Indonesia.
Hilirisasi Mineral Indonesia
Sebaliknya, Indonesia punya kekayaan mineral berlimpah. Mengutip data Kementerian ESDM, Indonesia adalah pemilik cadangan mineral logam strategis dan vital—material yang menjadi bahan baku produk industri masa depan yang bernilai ekonomis tinggi, serta mempengaruhi hajat hidup masyarakat seluruh dunia.
Cadangan nikel Indonesia menempati posisi pertama di dunia, dengan kontribusinya sebesar 22 persen dari total cadangan nikel dunia; cadangan timah berada di urutan ke-2 setara 16 persen dari cadangan dunia. Kemudian ada emas, bauksit, tembaga, dan batubara yang cadanganannya menempati posisi sepuluh besar dunia.
Namun sayangnya, Indonesia tak cukup cakap mengolahnya. Memang dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di nikel dan bauksit, Indonesia telah berhasil melakukan hilirisasi hingga menghasilkan intermediate product alias produk setengah jadi.
Dari hilirisasi nikel misalnya, pasca-pelarangan ekspor bijih nikel dan kewajiban untuk mengolah nikel di dalam negeri, Indonesia mampu meningkatkan nilai devisa, dari sebelumnya hanya sebesar 4 miliar dolar AS di tahun 2017, menjadi 33,81 miliar dolar AS pada 2022.
Namun, hilirisasi nikel tersebut sebenarnya belum tuntas. Devisa yang dihasilkan masih berupa ekspor produk setengah jadi. Faktanya, karena keterbatasan industri downstream serta industri aplikatif di Indonesia, sehingga nyaris seluruh produk hilirisasi mineral Indonesia diekspor keluar negeri. Jepang, China, Korea, Eropa, India dan Amerika yang menjadi tujuan ekspor, menuai untung berkali-kali lipat karena mampu mengolahnya melalui industri aplikatif.
Karena itulah, kendati kaya sumber daya mineral, tetapi PDB Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan Jepang yang tak punya apa-apa. Tahun 2023 lalu, PDB Indonesia sebesar 1.37 triliun dolar AS, dengan kontribusi ekspor sebesar 21,75 persen, yang sebagian besar justru dikontribusi oleh penjualan komoditi bahan mentah dan bahan setengah jadi.
Hal lain yang dikuatirkan, alih-alih meroket dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia, kegiatan hilirisasi sumber daya mineral ala Indonesia, bisa jadi akan menyebabkan suatu kondisi yang disebut dengan istilah dutch disease atau penyakit Belanda.
Istilah ini diperkenalkan oleh The Economist pada tahun 1977 silam, untuk menggambarkan pelemahan sektor manufaktur di Belanda, setelah ditemukannya cadangan gas terbesar di Eropa di negeri Kincir Angin tersebut.
Sederhananya, fenomena ini menjelaskan sebuah kondisi di Belanda, di mana pertumbuhan di sektor tertentu (booming sector)—dan biasanya bersumber dari ekstraksi sumber daya alam, justru telah menyebabkan melemahnya sektor industri lain (lagging sector), seperti manufaktur, jasa atau pertanian.
Mengapa bisa terjadi?
Booming di sektor ekstraksi sumber daya alam seperti di Indonesia saat ini, cenderung terlihat lebih menarik dan instan, karena investasinya yang besar, serta menjanjikan keuntungan yang besar pula. Akibatnya, arus investasi di sektor tersebut terjadi besar-besaran, sehingga menyebabkan sektor lain cenderung diabaikan. Easy money ini kerap membuat terlena.
Bom waktunya adalah ketika Indonesia hanya terfokus pada kegiatan ekstraksi sumber daya alam, tanpa menyiapkan industri turunannya. Alhasil, produk hasil ekstraksi sumber daya alam, justru tidak mampu diolah di dalam negeri menjadi bahan baku manufaktur dengan keunggulan kompetitif serta nilai tambah yang lebih besar.
Nah, karena harga komoditas sumber daya alam cenderung fluktuatif dan bakal habis jika terus menerus dikeruk, negara yang kaya sumber daya alam, sangat rentan mengalami gonjangan yang hebat. Goncangan terjadi ketika harga komoditas jatuh, atau cadangannya telah habis. Di satu sisi, sektor lain tidak mampu menggantikannya karena terlanjur tersisihkan atau tidak dikembangkan.
Paradoks inilah yang harus segera disadari oleh Pemerintah Prabowo-Gibran. Sebab jika Indonesia masih berkutat pada kegiatan penambangan dan ekstraksi hingga produk antara saja, maka mimpi besar Prabowo-Gibran untuk menjadikan hilirisasi mineral sebagai titik tumpu pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, akan sulit terwujud.
Memang hilirisasi telah mampu meningkatkan nilai tambah, namun nilai tambah yang dimaksud, belum maksimal. Pasalnya, hasil olahan mineral strategis dan vital ini belum mampu diolah sebagai bahan baku teknologi atau barang aplikatif lainnya.
Negara lain yang mengolah produk hilirisasi Indonesia untuk dijadikan produk akhir, yang justru memperoleh pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan nilai tambah yang berlipat-lipat.
Tapi apakah Indonesia tidak punya kisah sukses hilirisasi hingga ke aneka produk akhir yang bernilai tinggi?
Belajar dari Industri Gandum
Indonesia punya kisah sukses melakukan hilirisasi di industri gandum. Kendati faktanya Indonesia bukan negara penghasil gandum, namun Ibu Pertiwi justru penghasil aneka produk berbahan baku gandum. Kebutuhan gandum nasional hampir seluruhnya diimpor.
Pada 2018, nilai impor gandum mencapai 2,56 miliar dolar AS, meningkat 2,79 miliar dolar AS pada 2019, dan sedikit menurun pada 2020 yang nilainya 2,6 miliar dolar AS.
Namun berkat keahlian kuliner serta cita rasa mengolah makanan yang kuat, masyarakat Indonesia justru berhasil menciptakan dan menghasilkan aneka jenis makanan berbahan baku gandum.
Sejak dikenalkan oleh Bangsa Belanda dan Portugis di masa kolonial, gandum yang diproses menjadi tepung terigu, kini wujudnya dapat dijumpai pada ribuan jenis makanan; mie ayam, mie pangsit, martabak manis, bolu kukus, roti goreng, biskuit Khong Guan, kue tart, gorengan, serta aneka kue dan makanan lainnya.
Indonesia memang punya ketergantungan sangat besar atas impor gandum. Namun hilirisasi gandum, telah memberi peningkatan nilai tambah yang berlipat-lipat. Setidaknya saat ini, ada sekitar 200 perusahaan, 30.000 UKM dan ribuan usaha berbasis rumah tangga, yang menjalankan kegiatan usaha berbasis gandum. Serta ada ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan penduduk Tanah Air, yang kini hidup dan penghasilannya tergantung dari hilirisasi berbahan dasar gandum.
Industri berbasis pengolahan makanan, termasuk gandum, telah berkontribusi signifikan atas PDB nasional, serta menghasilkan devisa yang cukup besar, yang notabene bahan dasarnya tak ditemukan di negeri sendiri. Bahkan Indomie, salah satu produk dari Indonesia mampu menguasai pangsa pasar di negara-negara Afrika, dan menjadi produk yang terkenal disana.
Nah, jika hilirisasi mineral ini bisa menjiplak hilirisasi gandum, tidak saja akan memberikan nilai tambah ekonomis yang lebih besar, rantai pasok (supply chain) barang dan jasa yang kian panjang, penyerapan tenaga kerja yang lebih besar, pajak dan devisa negara yang lebih besar, lebih penting dari itu, Indonesia akan menjadi kiblat dan punya pengaruh besar dalam percaturan negara-negara di dunia.
Karena itu, jika mimpi hilirisasi ini ingin diwujudkan, maka kata kuncinya adalah hilirisasi mineral harus dituntaskan hingga ke industri aplikatif atau industri akhir.
Memang tak mudah. Penguasaan teknologi yang masih lemah, kemampuan dan dukungan pendanaan yang kurang, serta kebijakan nasional yang belum memadai, menjadi penyebab sehingga Indonesia masih tertinggal di sektor downstream hilirisasi mineral.
Namun, jika Prabowo-Gibran mampu menduplikasi hilirisasi gandum ke hilirisasi mineral hingga ke industri aplikatif, maka mimpi besar Indonesia untuk mampu meraih pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen, akan mungkin terwujud. Tapi sebaliknya, jika Indonesia masih berkutat pada kegiatan penambangan dan ekstraksi hingga produk antara saja, maka mimpi besar Prabowo-Gibran untuk menjadikan hilirisasi mineral sebagai titik tumpu Indonesia maju akan sulit terwujud.
Penulis saat ini menjabat sebagai Ketua Bidang Kajian Strategis Pertambangan, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) periode 2021-2024.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.