tirto.id - Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah, Agung Budiono, menilai keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam proses pertambangan dan produksi nikel dapat mengancam cita-cita Presiden RI Terpilih, Prabowo Subianto, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Pasalnya, PLTU yang kerap disebut PLTU captive itu akan terus menghasilkan emisi seiring dengan semakin bertambahnya kawasan industri atau pertambangan nikel maupun mineral lainnya.
“Dalam lanskap kebutuhan energi, ternyata industri hilir nikel ini memang intensif [penggunaan] energinya. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan PLTU terbesar itu ada di kawasan industri nikel, yang kita sebut sebagai PLTU captive,” ujar Agung dalam acara Konferensi Nasional Mineral Kritis di Aston Hotel, Palu, Rabu (9/10/2024).
Pemerintah Indonesia sampai saat ini tidak memiliki atau membuka data soal berapa banyak PLTU captive yang tersebar di seluruh kawasan industri. Pasalnya, PLTU captive tidak masuk dalam jaringan PT PLN (Persero) atau dikategorikan sebagai PLTU bersifat off grid.
Agung sendiri mencatat ada 117 PLTU captive dengan kapasitas sekitar 10,8 gigawatt atau setara dengan lebih dari 10 ribu megawatt. Dari total kapasitas tersebut, sekitar 60 persennya digunakan untuk mendukung aktivitas pertambangan aluminium.
Sampai 2030, dalam pipeline pengembangan industri, setidaknya masih akan ada pembangunan PLTU captive berkapasitas 10-14 gigawatt.
“Kalau kita bicara soal dukungan-dukungan global sekarang, seperti ada JETP yang salah satu prioritasnya adalah melakukan pensiun dini PLTU meskipun targetnya baru 1,7 gigawatt. Di satu sisi menekan, tapi ternyata di industri hilir ini masih dibangun. Ini yang menurut saya penting jadi bahasan serius,” imbuh Agung.
Mengutip data Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi, emisi karbondioksida (CO2) dari PLTU captive diperkirakan akan mencapai 80 Mt per tahun dan akan terakumulasi hingga 2 Gt dalam periode 2025-2050. Aktivitas PLTU captive juga dinilai dapat menyebabkan perubahan bentang alam dan hilangnya biodiversitas di daerah tempatnya berada.
Agung tak menampik bahwa hilirisasi nikel memang telah menyebabkan ekspor nikel setengah jadi Indonesia mengalami peningkatan signifikan. Namun, pada kenyataannya, sekitar 70 persen nikel Indonesia hanya digunakan sebagai bahan baku stainless steel dan hanya 5 persen saja yang digunakan untuk produksi baterai mobil listrik.
“Kalau bicara market sekarang, ternyata demand nikel dunia itu 4 persen lebih tinggi dari suplainya. Itu kalau ternyata negara-negara pengekspor itu mampu mempunyai teknologi daur ulang yang bagus, kebayang dong bisa jadi beberapa tahun ke depan nikel kita oversupply,” papar Agung.
Saat oversupply terjadi, yang paling terdampak adalah daerah-daerah penghasil nikel di Indonesia, salah satunya Sulawesi Tengah. Sebab, oversupply akan memicu penurunan harga nikel yang kemudian berdampak pada penurunan pendapatan negara.
“Kalau kita enggak punya kebijakan yang tepat, baik secara ekonomi dan material, jadi kayaknya mungkin [pertumbuhan 8 persen tidak tercapai]. Disebabkan sebuah poin nikel, okelah di satu sisi penting, tapi di sisi lain juga problem-problem sosial, ketenagakerjaan, hak asasi manusia yang menurut saya itu tidak bisa kita nafikan,” tegas Agung.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi