Menuju konten utama

Hilirisasi Nikel: Ilusi Ekonomi dan Transisi Energi

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, persentase penduduk miskin justru meningkat di daerah-daerah penghasil nikel.

Hilirisasi Nikel: Ilusi Ekonomi dan Transisi Energi
Header Inception Oped Hilirisasi Nikel. tirto.id/Tino

tirto.id - Oleh: Sartika Nur Shalati & Al Ayubi

Isu hilirisasi produk pertambangan yang selama ini digaungkan pemerintah makin ramai diperbincangkan setelah mencuat dalam debat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Hilirisasi nikel, kebanggaan Presiden Joko Widodo, muncul dalam dokumen visi misi para kandidat dan mewarnai agenda debat capres-cawapres. Meski demikian, substansinya masih jauh dari yang kita harapkan bisa didengar dari calon pemimpin negara.

Kini, isu hilirisasi nikel terguncang seiring merosotnya harga nikel di pasar internasional. Itu terjadi lantaran pasokan nikel global telah melebihi permintaan. Indonesia sendiri meningkatkan volume ekspor hingga 777,4 ribu ton atau naik 367 persen pada 2022. Jumlah tertinggi sepanjang sejarah.

Alasan klasik seperti penerimaan pendapatan negara dan penciptaan lapangan kerja dari hasil peningkatan nilai tambah nikel diklaim akan membawa Indonesia menjadi negara maju tahun 2045. Narasi lain yang berkembang adalah hilirisasi nikel dapat berkontribusi memenuhi pasokan industri baterai kendaraan listrik dunia yang diproyeksikan terus meningkat di masa mendatang. Benarkah demikian?

Impian Merajai Ekosistem Kendaraan Listrik Dunia

Kira-kira 70% bijih nikel yang dihasilkan dunia digunakan untuk memproduksi baja tahan karat (stainless steel), terutama dari jenis ferro nickel (FeNi), nickel pig iron (NPI), serta nickel oxide. Hanya 5% yang diproduksi untuk baterai, terutama dari jenis matte dan mixed hydroxide precipitate (MHP).

Sebagian besar nikel itu berasal dari Indonesia—penghasil nikel terbesar dunia yang pada 2022 mencapai 1,6 juta metrik ton. Namun, data Kementerian ESDM (2019–2021) menunjukkan, 96,4% dari turunan nikel yang kita hasilkan merupakan jenis nikel ferro dan besi kasar (NPI), bahan baku baja anti karat. Sedangkan nikel matte, bahan utama baterai, rata-rata hanya 3,6% dari total produksi tahunan Indonesia.

Temuan terbaru Energy Shift Institute bahkan memperkirakan Indonesia hanya akan memiliki 10 gigawatt-hour (GWh) atau kurang dari 0,4% kapasitas produksi baterai global 2.800 GWh tahun ini. Dengan kapasitas yang sangat kecil ini, Indonesia masih tertinggal jauh dari persaingan investasi pengembangan industri kendaraan listrik dalam negeri.

Sejauh ini, Indonesia punya kapasitas terbatas menghasilkan bahan baku baterai dari jenis lateritic ore menjadi MHP, karena keterbatasan teknologi pengolahan hidrometalurgi atau High Pressure Acid Leaching (HPAL). Sampai hari ini, perusahaan yang mengembangkan teknologi HPAL hanya PT Huayue Nickel Cobalt, PT QMB New Energy Material, dan PT Halmahera Persada Lygend.

Rendahnya persentase produksi nikel untuk industri baterai dan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) meruntuhkan klaim pemerintah terkait hilirisasi nikel yang digadang-gadang dapat menjadikan Indonesia sebagai pemain utama di ekosistem kendaraan listrik dunia. Narasi itu pula yang kerap dijanjikan pemerintah dalam menjustifikasi eksploitasi tambang nikel yang lebih masif selama sembilan tahun terakhir. Jika mengacu data yang ada, jelas, klaim tersebut belum terbukti.

Nikel dan Transisi Energi Indonesia

Hal yang sama terjadi pada narasi penurunan emisi melalui kendaraan listrik yang selama ini diwacanakan pemerintah. Dalam Nationally Determined Contribution (NDC), pemerintah meyakini bahwa pengadaan 13 juta unit kendaraan listrik roda dua dan roda tiga, serta 2 juta unit roda empat pada 2030, efektif menurunkan emisi gas rumah kaca serta mendukung agenda transisi energi di sektor transportasi.

Namun, kajian terbaru IESR dan CORE Indonesia menggarisbawahi pentingnya melihat kemajuan industri KBLBB berdasarkan kesiapan ekosistem energi kita. Sejauh ini, pembangkit listrik yang ada masih didominasi oleh energi fosil.

Jika mengacu pada Rencana Umum Pembangkit Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021–2030, pengembangan energi terbarukan yang kurang ambisius justru membuat upaya penurunan emisi lewat motor dan mobil listrik justru menjadi tidak signifikan.

Jika dilihat secara parsial, emisi mobil listrik memang lebih rendah dibanding kendaraan bermotor berbahan bakar fosil. Terlebih, sektor transportasi merupakan penghasil emisi terbesar kedua (23%) dengan “sumbangsih” terbesar berasal dari transportasi darat (90%). Jika pemerintah hanya berfokus memajukan industri kendaraan listrik, tanpa serius mengubah struktur energi bahan bakar fosil yang menghasilkan 14% dari total emisi, penurunan emisi kita tidak akan mencapai target yang dibutuhkan.

Belum lagi jika melihat sisi lain kendaraan listrik yang juga memiliki sumber emisi, terutama pada aspek penambangan bahan mineral mentah untuk pembuatan baterai seperti lithium, kobalt, dan nikel. Sumber-sumber mineral yang kini diburu pasar dunia untuk memproduksi baterai kendaraan listrik modern itu membuat geliat industri hilir semakin gencar memproduksi rantai pasok baterai.

Tiap 1 kilogram nikel umumnya menghasilkan 13 kilogram emisi. Pada saat bersamaan, sumber listrik kita juga masih didominasi bahan bakar fosil.

Jika ingin serius melakukan dekarbonisasi untuk menangani krisis iklim, pemerintah sebaiknya lebih berfokus mengganti sumber bahan bakar listrik dari fosil ke energi terbarukan. Termasuk pembangkit listrik di perusahaan smelter yang saat ini masih banyak menggunakan dan membangun PLTU captive baru.

Ilusi Ekonomi

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, persentase penduduk miskin justru meningkat di daerah-daerah penghasil nikel seperti Sulawesi Tengah menjadi 12,41 persen, Sulawesi Selatan 8,70 persen, Sulawesi Tenggara 11,43 persen dan Maluku Utara 6,46 persen per Maret 2023.

Artinya, pemerataan ekonomi tidak terjadi meskipun ekonomi daerah tersebut meningkat masing-masing sebesar 13,06 persen, 4,05 persen, 4,92 persen, dan 25,13 persen dari tahun sebelumnya. Kemiskinan ini dipicu krisis sosial ekologis yang makin melebar, menyebabkan mata pencaharian masyarakat dan sumber penghidupan yang bergantung pada alam rusak akibat pertambangan nikel.

Laporan terbaru Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkapkan, kegiatan smelter nikel hanya akan berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hingga tahun ketiga pada tahap konstruksi. Tahun-tahun berikutnya akan menurun secara berkala dari Rp83,17 triliun hingga mencapai angka negatif Rp0,42 triliun pada tahun ke-9.

Kebijakan hilirisasi sekilas menjanjikan kejayaan ekonomi, tetapi berbahaya dalam jangka panjang jika dilakukan tanpa perhitungan yang komprehensif. Apalagi jika membaca tren permintaan nikel untuk bahan baku baterai di pasar global yang mulai beralih ke lithium ferro phosphate (LFP) alias tanpa kandungan nikel sama sekali.

Itu berarti, peluang pasar bagi nikel matte Indonesia untuk baterai berpotensi menurun. Perusahaan otomotif raksasa seperti Tesla dan Nissan Motor mulai gencar membangun pabrik baterai LFP dengan perbedaan harga 20–30 persen lebih ekonomis dari baterai Nickel Manganese Cobalt (NMC).

Karena itu, pilihan ekonomi ekstraktif perlu menggunakan pendekatan yang tepat dan penuh kehati-hatian demi menghindari ancaman keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan di masa depan. Apalagi bila hendak bergantung pada komoditas yang diproyeksi habis dalam waktu 6-11 tahun seperti nikel. Kementerian ESDM menyebut penurunan tersebut merupakan konsekuensi dari banyaknya pembangunan smelter saat ini.

Pemerintah sebaiknya mengkaji ulang dan mengevaluasi peta jalan hilirisasi nikel agar berjalan sesuai agenda iklim yang lebih adil. Apalagi, eksploitasi nikel besar-besaran untuk alasan ekonomi juga kurang tepat jika hanya diukur dari pendapatan nilai ekspor negara yang sekilas mengalami peningkatan tapi nyatanya belum optimal memberikan kesejahteraan bagi semua. []

*Sartika Nur Shalati, Research Associate dari Indonesia CERAH. Memiliki 7 tahun pengalaman penelitian, terutama isu transisi energi dan tata kelola sumber daya alam di Indonesia.

*Al Ayubi adalah Climate Justice Associate di Indonesia CERAH. Lulus sebagai Master Ilmu Politik di Universitas Indonesia, Ayubi berfokus pada riset seputar keadilan iklim dan reformasi pengelolaan sumber daya alam.

*Indonesia CERAH adalah sebuah organisasi nirlaba yang bekerja untuk memajukan kebijakan transisi energi di Indonesia.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.