Menuju konten utama

Melindungi Hak Konstitusional Pendamping Desa

Aturan soal boleh tidaknya pendamping desa maju sebagai caleg pada Pemilu 2024 inkonsisten. Ancaman putus kontrak bagi mereka ditengarai sarat kepentingan. 

Melindungi Hak Konstitusional Pendamping Desa
Header Perspektif AS Hikam. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Salah satu ciri negara yang menerapkan sistem demokrasi konstitusional yang sehat adalah kepatuhan warga dan penyelenggara negara terhadap hukum sesuai dengan prinsip etik yang menjadi landasannya. Inilah yang membedakan pelaksanaan prinsip “Rule of Law” dengan ”Rule by Law.”

Yang pertama, hukum dipatuhi dan dilaksanakan (enforced) untuk menjaga agar demokrasi konstitusional tidak hanya slogan dan omon-omon, sedangkan yang kedua, hukum dilaksanakan sesuai kehendak penguasa. Jika hanya itu, bahkan negara paling totaliter pun selalu bertindak atas nama dan didasarkan pada hukum dan aturan yang ada. Tetapi, prinsipnya jelas beda: yang pertama demi keadilan, sedangkan yang berikutnya demi kepentingan penguasa!

Sebab itu, tidak mungkin dalam sebuah negeri yang menerapkan sistem demokrasi konstitusional, orang berusaha memisahkan pelaksanaan hukum dari politik yang berlaku. Sebab, hukum bisa saja dimanipulasi secara legal formalistik sedemikian rupa, sehingga hasilnya tak lebih dan tak kurang hanya penerapan hukum “oplosan”: kelihatannya menggunakan dan mematuhi hukum, tetapi substansinya hanyalah alat untuk memenuhi kehendak dan kepentingan kekuasaan!

Dalam sebuah sistem yang pelaksanaan demokrasi konstitusional-nya sehat, publik mempunyai kesempatan dan ruang untuk menuntut agar suara mereka didengar. Termasuk di dalamnya adalah mengajukan keberatan, banding, gugatan, dan sebagainya, jika dirasa ada aturan hukum yang dibuat dan menyalahi prosedur maupun substansi. Jika hak dan upaya publik itu dikebiri dan tak diberi kesempatan sebagaimana mestinya, di situlah indikasi merosotnya sistem demokrasi konstitusional sedang berlangsung.

Berangkat dari argumen di atas, kini rakyat sejatinya sedang menyaksikan bagaimana pelaksanaan sistem demokrasi konstitusional di Indonesia, setelah lebih dari dua dasawarsa reformasi berjalan.

Kamis (6/3/2025) lalu, sejumlah Tenaga Pendamping Profesional Pemberdayaan Masyarakat Desa atau yang dikenal dengan pendamping desa melaporkan Yandri Susanto selaku Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI.

Sehari sebelumnya, para pendamping desa juga melaporkan menteri yang sama kepada Ombudsman RI. Pokok perkaranya adalah fakta bahwa menteri maupun Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM), telah mengeluarkan kebijakan tidak akan memperpanjang kontrak 1.040 pendamping desa yang pada Pemilu Legislatif 2024 lalu terbukti maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) dari semua partai dan pada semua tingkatan.

Kebijakan baru Kemendes PDTT RI itu tertuang dalam Poin 2 lampiran Surat Perintah Kerja (SPK) yang harus ditandatangani oleh para pendamping desa. Bunyinya: “Apabila di kemudian hari saya terbukti pernah (cetak miring oleh penulis) mencalonkan diri sebagai Caleg DPR RI/DPRD Prov/DPRD Kab/Kota dan DPD tanpa didahului dengan pengunduran diri atau mengajukan cuti maka saya siap diberhentikan secara sepihak oleh pihak kementerian”. Kata ‘pernah’ itulah yang kemudian menimbulkan polemik dan kegaduhan secara nasional.

Legal Standing

Perlu diketahui bahwa jauh sebelum para pendamping desa memutuskan untuk maju sebagai caleg, muncul perdebatan terkait tafsir terhadap Pasal 240 ayat (1) huruf (k) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Aturan itu mensyaratkan setiap WNI yang menjadi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk mengundurkan diri sebagai Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, PNS, Anggota TNI, Anggota Kepolisian, Direksi, Komisaris, Dewan Pengawas dan Karyawan pada BUMN/BUMD/Badan lain yang keuangannya bersumber pada keuangan negara.

Keterangan “badan lain yang keuangannya bersumber pada keuangan negara” menimbulkan multi tafsir. Sebagian pihak memasukkan para pendamping desa dalam kategori yang harus mundur ketika memutuskan sebagai caleg, karena mereka digaji melalui APBN Kemendes PDTT RI. Namun, sebagian lain berpendapat tidak perlu mundur, karena status kerja para Pendamping Desa masuk dalam kategori belanja barang dan jasa. Mereka bukan karyawan kementerian, berbeda dengan pegawai BUMN atau BUMD.

Dalam upaya mencari kepastian hukum, para pendamping desa melalui asosiasinya, Persatuan Pusat Perkumpulan Tenaga Pendamping Desa Indonesia (Pertepedesia), terlebih dahulu berkonsultasi secara resmi dengan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) pada Selasa, 23 Mei 2023. Melalui surat kepada KPU RI dengan Nomor: 10.SP.SP.V.2023, para pendamping desa meminta penjelasan terkait status mereka yang maju sebagai caleg, apakah harus mundur seperti halnya pegawai BUMN dan lain-lain.

Alih-alih langsung menjawab, KPU RI berkonsultasi lebih dahulu dengan Kemendes PDTT RI. Tiga pekan kemudian, tepatnya pada Jumat, 9 Juni 2023, KPU RI berkirim surat kepada Menteri Desa PDTT. Surat bernomor 582/PL.01.4-SD/05/2023 itu meminta penjelasan tentang status pendamping desa, termasuk apakah ada ketentuan di internal Kemendes PDTT bahwa pendamping desa yang maju sebagai caleg harus mundur atau cuti?

Surat KPU RI ini kemudian dijawab oleh Kemendes PDTT RI melalui surat Nomor: 1261/HKM.10/VI/2023 yang intinya menyatakan bahwa: (1) Pendamping Desa direkrut melalui skema anggaran pengadaan barang dan jasa, oleh karena itu statusnya bukan pegawai atau karyawan Kemendes PDTT, sehingga tidak masuk dalam kategori caleg seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 240 ayat (1) UU Pemilu; (2) Secara aturan internal Kemendes PDTT, tidak ada aturan yang melarang mereka untuk maju sebagai caleg termasuk kewajiban untuk mundur atau cuti.

Merujuk surat jawaban Kemendes PDTT di atas, pada Kamis, 20 Juli 2023, KPU RI membuat surat edaran bernomor 740/PL.01.4-SD/05/2023 yang intinya meminta KPU Provinsi/Kabupaten/Kota untuk tidak mensyaratkan adanya dokumen surat pengunduran diri atau cuti bagi para caleg yang berprofesi sebagai pendamping desa.

Sampai di sini, secara legal formal, keberadaan para caleg dari pendamping desa memiliki legal standing yang kuat. Hal ini juga dikuatkan dengan tidak ada satu pun kontrak kerja dari pendamping desa yang diputus karena pertimbangan maju sebagai caleg selama tahun politik 2024.

Kerancuan Hukum

Berdasarkan kronologi di atas, kebijakan BPSDM Kemendesa yang memasukkan norma baru bahwa pendamping desa yang terbukti pernah maju sebagai caleg dapat diputuskan kontraknya secara sepihak, telah menimbulkan kerancuan secara hukum, baik hukum ketatanegaraan, hukum kepemiluan, hukum administrasi pemerintahan, juga hukum ketenagakerjaan.

Secara hukum ketatanegaraan, keputusan para pendamping desa yang maju sebagai caleg adalah bagian dari penggunaan hak konstitusionalnya. Sebab semua warga Negara RI memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih.

Secara hukum kepemiluan, tidak ada satu pun norma pemilu yang dilanggar oleh para pendamping desa tersebut. Semua berkas administrasi kepemiluan para caleg yang berprofesi sebagai pendamping desa dinyatakan Memenuhi Syarat (MS) oleh KPU RI dan sudah mengikuti proses pemilu sampai tahapan akhir. Selama rentang waktu pelaksanaan pemilu, Badan Pengawas Pemilu RI maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak pernah mempersoalkan status caleg yang berlatar belakang pendamping desa.

Secara hukum administrasi pemerintahan, Kementerian Desa tetap melanjutkan kontrak kerja para pendamping desa yang maju sebagai caleg selama kurun waktu 2024 dan para pendamping desa bersangkutan menerima hak keuangannya secara penuh. Secara hukum ketenagakerjaan, norma baru yang diterapkan oleh Kemendesa PDT dapat dikatakan sebagai pengebirian atas hak-hak konstitusional para pekerja.

Sebagai pekerja dalam skema pengadaan barang dan jasa di kementerian, para pendamping desa memiliki hak politik penuh yang dijamin oleh Undang-Undang.

Dengan demikian, ipso facto, menghukum pendamping desa yang pernah maju sebagai caleg dengan tidak memperpanjang kontraknya sama saja dengan melanggar hak-hak dasar politik seperti diatur dalam Pasal 153 ayat(1) poin b UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Beleid itu menyatakan bahwa pemberi kerja tidak boleh melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada pekerjanya karena pekerja/buruh sedang melaksanakan tugas kenegaraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maju sebagai caleg adalah bagian dari hak dan sekaligus tanggung jawab kenegaraan yang dia emban.

Asas Non-Retroaktif

Apabila dipersoalkan, apakah Kemendes PDTT RI bisa melarang para pendamping desa untuk maju sebagai caleg agar lebih berkonsentrasi pada tugas-tugasnya, termasuk menghindari munculnya conflict of interest atas jabatan dan kewenangan yang ia punya untuk kepentingan politik, jawabannya jelas: boleh dan sah. Akan tetapi, jika norma akan diterapkan, ia harus berlaku ke depan (progresif), tidak boleh berlaku surut atau mundur ke belakang (non-retroaktif).

Namun, apa yang sekarang dilakukan oleh Kemendes PDTT RI adalah memberlakukan norma baru larangan pendamping desa maju sebagai caleg ke belakang (retroaktif). Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berkeadilan. Mestinya, jika memang Kemendes PDTT ingin membuat norma baru soal larangan pendamping desa maju sebagai caleg, di dalam SPK yang dibagikan kepada pendamping desa, frase ‘pernah’ harus dihapuskan.

Seluruh pendamping desa diminta komitmennya bahwa terhitung mulai 1 Januari 2025 dan seterusnya mereka harus siap tidak diperbolehkan maju sebagai caleg. Bagi yang tidak bersedia untuk tanda tangan maka tidak diperpanjang kontraknya. Tapi bagi yang bersedia tanda tangan walaupun dia pernah maju sebagai caleg, maka dia masih berhak untuk dikontrak kembali.

Bagaimanapun juga, keputusan pendamping desa maju sebagai caleg pada Pileg 2024 dilindungi oleh UU melalui KPU, dan juga diizinkan sendiri oleh pemberi kerjanya yaitu Kementerian Desa PDTT RI.

Quo vadis?

Sulit bagi publik untuk tidak berspekulasi bahwa di balik kasus munculnya kebijakan putus kontrak bagi para pendamping desa yang maju sebagai caleg ini ada udang di balik batu.

Kekuasaan, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Kemendes PDTT dan lembaga-lembaganya, tampaknya sedang mencoba melakukan “oplosan” politik kepentingan dengan aturan hukum yang berlaku. Proses pengoplosan yang cenderung merugikan dan mendegradasi hak konstitusional rakyat Indonesia umumnya, dan para pendamping desa khususnya, hanya akan membuat kualitas pelaksanaan sistem demokrasi konstitusional di bawah Presiden Prabowo semakin merosot.

Lebih jauh lagi, apabila pihak Kemendes PDTT ternyata menelurkan kebijakan putus kontrak itu secara semena-mena, tanpa konsultasi dengan lembaga-lembaga lain yang berwenang dalam soal kepemiluan, maka institusi tersebut bisa dianggap telah menggergaji legitimasi pemerintah Prabowo.

Apakah hal ini akan dibiarkan terjadi dan justru dianggap sebagai sebuah prestasi? Wallahu a’lam. Sejarah yg akan mencatatnya!

*Penulis adalah Pengamat Politik President University, Menristek RI 1999-2001

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.