tirto.id - Wacana pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indonesia sempat kembali diungkapkan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) G20 di Brasil pada November 2024 lalu. Bukan hanya PLTU batu bara, Prabowo juga menekankan bahwa dalam 15 tahun ke depan seluruh pembangkit listrik berbasis fosil akan diberhentikan dan akan digantikan dengan pembangkit listrik energi terbarukan berkapasitas lebih dari 75 gigawatt. Sehingga, Indonesia dapat mencapai target emisi nol bersih (NZE) pada 2050 atau 10 tahun lebih cepat.
Namun, hingga kini belum ada arahan khusus dari presiden untuk memastikan tercapainya janji tersebut. Karena bila kita lihat, untuk mengejar target ambisius mengakhiri operasi pembangkit listrik berbasis batu bara dalam 15 tahun, kelihatannya memang tidak mudah. Tantangannya, tingkat ketergantungan Indonesia pada batu bara masih sangat tinggi dalam menopang listrik. Pada saat yang sama, butuh biaya besar untuk mengakhiri operasi pembangkit listrik tenaga uap batu bara.
Dalam policy brief Center of Economic and Law Studies (Celios) berjudul “Pertukaran Utang dengan Pemensiunan PLTU Batubara: Manuver Fiskal dalam Mendukung Ambisi Transisi Energi” disebutkan kebutuhan untuk pendanaan transisi energi di Indonesia cukup besar. Estimasi biaya yang diperlukan untuk memenuhi target penurunan emisi di seluruh sektor energi mencapai 2463 miliar dolar AS (setara Rp3.500 triliun) .
Secara spesifik kebutuhan pemensiunan PLTU batubara on- 4 grid hingga 2050 sebesar Rp444 triliun. Oleh karena itu, dukungan pendanaan dari berbagai sumber sangat diperlukan di tengah keterbatasan ruang fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Komitmen soal pensiun dini PLTU batu bara memang bukan barang baru. Sebelumnya, wacana ini telah masuk dalam rencana investasi dan kebijakan komprehensif (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP). Indonesia setidaknya mendapatkan komitmen mobilisasi pendanaan sebesar 20 miliar dolar, terdiri dari 10 miliar dolar AS dari IPG dan 10 miliar dolar AS dari Glasgow Financial Alliance for Net-Zero (GFANZ), yang melibatkan berbagai bank serta lembaga keuangan.
Dana tersebut salah satunya akan digunakan untuk pensiun dini PLTU. PLTU Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu masuk dalam agenda pensiun dini dengan menggunakan skema JETP sebelum masa kontrak berakhir masing-masing pada 2035 dan 2037. Namun, pada tahap perkembangannya sampai Desember 2024, kedua PLTU tersebut masih berada di tahap negosiasi.
Namun, alih-alih mendapatkan pendanaan tersebut hingga kini pendanaan JETP justru tak kunjung jelas. Utusan Khusus Presiden RI Bidang Iklim dan Energi, Hashim S Djojohadikusumo, bahkan menyatakan JETP yang disepakati pada November 2022, dianggap gagal karena tidak ada dana yang cair. Hal ini merespons keluarnya Amerika Serikat (AS) dari persetujuan Paris pascaterpilihnya Donald Trump sebagai presiden.
Pada kesempatan yang sama, ia justru menyebut bahwa Presiden Prabowo tidak pernah berencana memensiunkan PLTU batu bara pada 2040. Ini seolah-olah kontras dengan pernyataan Prabowo di atas sebelumnya yang komitmen untuk pensiunkan PLTU. Bagi Hasyim, penutupan PLTU pada periode tersebut akan menjadi "bunuh diri ekonomi".
Untuk saat ini, memang tidak ada pilihan lain dari pemerintah selain menagih komitmen lembaga pembiayaan transisi energi untuk membantu Indonesia menyusul langkah pensiun dini atau PLTU batu bara di Indonesia. Karena menurut Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, pensiun dini PLTU tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat tanpa adanya dukungan pembiayaan. Dia menyatakan untuk menuruti wacana tersebut dibutuhkan dana yang tidak sedikit.
“Masa kita disuruh paksa untuk memensiunkan PLTU-PLTU itu? Siapa membiayai? Dijanjimu (JETP) ada lembaga donor yang membiayai. Mana ada? Sampai sekarang belum ada. Zero,” ucap Bahlil beberapa waktu lalu.
Kondisi ini jadi cukup dilematis. Satu sisi pensiun PLTU batu bara adalah komitmen dari pemerintah. Sisi lain, pelaksanaanya terkendala akses pembiayaan di saat Kementerian ESDM sendiri juga mengaku belum memiliki skema alternatif pembiayaan lain di luar dari JETP untuk pensiunkan dini PLTU batu bara.
“Bahwa jika ada dana, maka bisa dilakukan pensiun. Intinya, harus tidak merugikan negara, dana tersedia, kehandalan grid tetap terjaga,” ujar Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani, saat dikonfirmasi Tirto, Selasa (4/2/2025).
Mencari Alternatif Skema Pendanaan di Luar JETP
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, melihat saat ini sepertinya JETP memang belum pasti dan bisa saja mandeg karena mengandalkan kebijakan pembiayaan dari luar. Di saat yang sama pendanaan yang lain pun tidak begitu menjanjikan, karena pemerintah untuk melakukan pembiayaan domestik melalui SUN tidak begitu marketable.
“Mungkin salah satu peluang yaitu dengan Green Sukuk atau Carbon Offset dengan wilayah Timur Tengah. Seperti Uni Emirates Arab atau Arab Saudi,” ujar dia kepada Tirto, Selasa (4/2/2025).
Tapi memang, kata Yayan, pembiayaan ini harus direkalkulasi terlebih dahulu untuk memastikan konsep proyek yang akan dikerjasamakan akan seperti apa. Tujuannya agar investor mau membiayai proyek JETP tersebut. Agar tidak terlalu berbiaya, mungkin saja pemerintah bisa menawarkan melalui paket-paket yang sifatnya komplementer.
“Andaikan bisa dibuat per paket proyek. Berdasarkan timeline prioritas,” imbuhnya.
Di sisi lain, Celios menawarkan solusi inovatif berupa skema pertukaran utang atau debt swap untuk memensiunkan PLTU batu bara secara bertahap. Skema debt swap dirasa cocok mempertimbangkan pemensiunan PLTU batu bara merupakan proyek yang sering dianggap berisiko tinggi dan kompleks sehingga tidak banyak lembaga keuangan swasta ingin terlibat.
Karena bila dibandingkan kerjasama pendanaan transisi energi semacam JETP lebih menitikberatkan pada pembangunan kapasitas energi terbarukan dibandingkan konsisten membiayai percepatan pemensiunan PLTU batu bara.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa skenario debt swap merupakan cara negara maju membayar utang iklim nya kepada negara berkembang seperti Indonesia. Secara rasional negara maju juga akan diuntungkan karena bentuk pendanaan debt swap akan dimasukkan sebagai klaim komitmen pendanaan iklim.
“Indonesia kan punya Rp94,8 triliun utang berbentuk pinjaman (loan) yang akan jatuh tempo pada 2025, dan utang ini kepada negara maju dan lembaga multilateral. Jadi, Menteri Keuangan dan Menteri ESDM bisa buka ruang negosiasi utang untuk ditukar menjadi dana pensiun PLTU batubara. Negara maju juga diuntungkan karena konsisten jalankan skema NCQG membayar utang iklim nya.” kata Bhima.
Kendati begitu, kata Bhima, dalam implementasi debt swap untuk pemensiunan PLTU batu bara, memang terdapat beberapa tantangan yang perlu dimitigasi. Salah satu tantangan adalah memastikan bahwa nilai dari utang yang bisa ditukar cukup signifikan. Pengalaman debt swap sebelumnya nilai utang yang bisa ditukar cukup kecil.
Pemilihan lembaga yang akan memonitor dan memverifikasi proyek juga diharapkan independen, tidak terkait dengan pihak kreditur. Selain itu aspek transparansi kepada masyarakat yang terdampak dari PLTU batu bara beserta kompensasinya harus masuk dalam paket debt swap.
Dengan berbagai skema alternatif di atas, maka sepatutnya pemerintah perlu mencoba dan mengkaji lebih lanjut opsi-opsinya lain. Jangan biarkan komitmen pensiun dini PLTU batu bara justru jalan ditempat. Prabowo bersama para pembantunya dapat menyusun strategi yang lebih konkret dalam mencapai tujuan tersebut, guna memastikan Indonesia berkomitmen pada target pengurangan emisi karbon yang telah disepakati secara global.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang