Menuju konten utama

Polemik JETP dan Inkonsistensi Dalam Payung Hukumnya

JETP semestinya menjadi katalis untuk menopang transisi energi hijau Indonesia. Namun tanpa payung hukum yang kuat, skema pembiayaan ini bisa terbengkalai.

Polemik JETP dan Inkonsistensi Dalam Payung Hukumnya
Header Insider tarik ulur perencanaan JETP. tirto.id/Mojo

tirto.id - Net zero emissions (NZE) atau nol emisi karbon menjadi salah satu isu penting di dunia selama satu dasawarsa belakangan ini. Konsepnya muncul sejak Conference of Parties ke-21 (COP21) di Paris pada 2015 silam. Salah satu ikhtiar untuk mencapai target NZE pada 2060, pemerintah Indonesia telah mengembangkan roadmap NZE di sektor energi.

Peta jalan panjang tersebut mencakup strategi dekarbonisasi seperti elektrifikasi, pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), kemudian efisiensi dan konversi energi, serta peningkatan bauran energi.

Masalahnya untuk mendukung transisi energi tersebut dibutuhkan dana tidak sedikit. Perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia membutuhkan setidaknya USD1,1 triliun atau setara USD28 miliar per tahun sebagai upaya dekarbonisasi dengan meninggalkan batubara hingga 2060.

Salah satu skema pendanaan yang cukup mendapat perhatian adalah Just Energy Transition Partnership (JETP). Indonesia telah mendapatkan komitmen mobilisasi pendanaan sebesar USD20 miliar yang akan berlangsung selama 3-5 tahun setelah JETP diluncurkan.

Porsi pendanaan USD10 miliar berasal dari anggota International Partners Group (IPG) dan USD10 miliar lainnya dari aliansi bank-bank swasta Global Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).

Secara umum, terdapat tiga tujuan utama dari JETP, yakni memfasilitasi pensiun dini PLTU, memobilisasi modal dari sektor swasta untuk mendanai aktivitas dekarbonisasi, dan mengimplementasikan prinsip berkeadilan dalam pelaksanaan transisi energi.

Sebelum dapat memanfaatkan dana tersebut, pemerintah bersama dengan Sekretariat JETP berkewajiban menyelesaikan dokumen investasi kebijakan komprehensif atau Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Dokumen CIPP ini awalnya direncanakan rampung pada Agustus 2023, namun diundur hingga akhir tahun.

Kendala penyelesaian CIPP karena perlu adanya peninjauan kembali atas pemilihan proyek dan skema pembiayaan dari investor. Hal ini disebabkan negara IPG memiliki prioritas proyek yang berbeda dengan pemerintah Indonesia. Sama halnya dengan skema pembiayaan, di mana penyediaan dana konsensional berbeda di setiap negara IPG.

“Tidak bisa kemudian persyaratan yang sudah baku diberlakukan di negara tertentu kemudian diberlakukan di Indonesia juga yang mungkin karakteristik berbeda. Karakteristik misalnya power purchase contract-nya juga berbeda, power purchase agreement nya juga berbeda. Jadi ini harus disesuaikan,” ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno saat dihubungi Tirto.

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, menilai butuh waktu yang lebih lama untuk menganalisa strategi, besaran kebutuhan energi terbarukan, kebutuhan modal, serta kebijakan apa yang perlu direformasi untuk mendukung capaian target.

"Karena masih dibutuhkan perhitungan lebih lanjut untuk mencapai target itu. Dulu kan maunya cepat. Tidak bisa, karena banyak yang harus diperhitungkan. Prosesnya ribet. Hanya waktu," ucap Fabby saat dihubungi Tirto.

Sementara itu, JETP sebagai pihak yang terlibat dalam proses penyusunan enggan berkomentar mengenai kendala dan dinamika proses negosiasi ulang dokumen CIPP. Edo Mahendra, Kepala Sekretariat JETP, hanya menegaskan bahwa dokumen CIPP diharapkan selesai sebelum akhir tahun.

Draf dokumen CIPP baru saja dirilis kepada publik pada awal November 2023. Edo berharap masyarakat dapat memberikan masukan melalui situs resmi JETP hingga 14 November 2023.

"Transisi energi merupakan kepentingan publik. JETP adalah salah satu inisiatif dalam upaya transisi energi nasional. Maka dari itu kami membuka draf rencana investasi JETP dengan harapan dapat menjaring masukan sebanyak-banyaknya dari semua unsur dan lapisan masyarakat. Hal ini sejalan dengan komitmen JETP untuk menegakkan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi," jelas Edo pada konferensi pers, Rabu (01/11/2023).

Lebih lanjut, Edo juga menyampaikan bahwa dokumen CIPP JETP akan terus menerus dievaluasi sehingga dapat mencerminkan perkembangan ekonomi global dan prioritas pembangunan Indonesia.

Inkonsistensi Kebijakan

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyampaikan pihaknya tengah mengonsolidasi program hijau yang belum memperoleh pendanaan untuk dipertimbangkan dalam dokumen CIPP JETP. Perusahaan setrum itu diketahui telah menyiapkan 522 proyek energi hijau yang potensial dibiayai JETP dengan total kapasitas 15,1 GW sampai dengan tahun 2030.

“Pendanaan dari JETP diharapkan dapat menjadi katalisator bagi pendanaan proyek-proyek energi bersih di Indonesia,” ujar Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN Gregorius Adi Triyanto kepada Tirto.

Dia berharap pendanaan ini dapat meningkatkan antusiasme investor untuk berinvestasi pada pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan yang mendukung transisi energi, sehingga semakin banyak opsi pendanaan kompetitif yang diperoleh. Selain itu, dengan adanya JETP ini membuka peluang bagi pembentukan platform-platform pendanaan transisi energi lainnya.

Menghadirkan opsi pendanaan yang lebih kompetitif diharapkan akan dapat menurunkan cost of financing sehingga NZE pada 2060 dapat tercapai dengan lebih cepat. “Indonesia membuka peluang kemitraan pendanaan yang kompetitif bagi semua pihak, termasuk JETP,” lanjut Gregorius.

Faktanya, akselerasi transisi energi terbarukan ini dihadapkan pada polemik conflict of interest yang merupakan isu tak terpecahkan dalam solusi pengurangan bahan bakar fosil.

Indonesia hingga kini masih sangat bergantung pada batubara untuk pembangkit listrik. Pada 2022 tercatat kapasitas pembangkit terpasang nasional dari PLTU masih di kisaran 42,1%. Batubara juga termasuk komoditas ekspor penting. BPS mencatat pada 2022 volume ekspor batubara Ibu Pertiwi mencapai 360,28 juta ton dengan nilai sebesar USD46,74 miliar.

Pendek kata, skema pembiayaan JETP yang bertujuan untuk mempercepat penghentian pembangkit listrik tenaga batubara dan meningkatkan aktivitas dekarbonisasi tentu menimbulkan perlawanan dari pelaku pasar.

Infografik Insider tarik ulur perencanaan JETP

Infografik Insider tarik ulur perencanaan JETP. tirto.id/Mojo

Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto, menuturkan saat ini yang terjadi justru tarik menarik antara pelaku usaha, khususnya di PLTU batubara. Sebagian besar mereka secara ekonomi belum siap kalau kemudian PLTU ini ditutup. Karena jika pilihannya adalah menutup, maka harus ada kompensasi dan insentif yang harus diberikan pemerintah kepada pelaku industri.

“Yang saya tahu dari pemerintah ada rapat khusus dengan PLN mengemukakan formula-formula yang belum ketemu, antara dana yang dikucurkan kalau harus men-shut down PLTU-PLTU,” ucap dia.

Berdasarkan perhitungan IESR dengan mempertimbangkan RUPTL 2021-2030, untuk mengejar target JETP setidaknya sebanyak 8,6 GW PLTU batu baru harus dimatikan sebelum 2030. Kemudian diikuti dengan pengakhiran operasi 7,6 GW PKTU sebelum 2040.

Melalui laporannya berjudul Delivering Power Sector Transition, diungkapkan bahwa dari 13,8 GW PLTU yang direncanakan dalam RUPTL 2021- 2030, IESR menyebut sebanyak 2,9 GW dapat dibatalkan, 10,6 GW perlu diakhiri operasinya secara dini, dan 220 MW dipertimbangkan untuk diganti dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan seperti biomassa. Dalam hal ini, pembatalan 2,9 GW PLTU merupakan opsi termurah untuk menghindarkan emisi GRK di sektor ketenagalistrikan.

Meskipun begitu, Perpres 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, yang saat ini bertindak sebagai salah satu payung hukum JETP, memiliki kontradiksi.

Musababnya, beleid itu masih membolehkan pembangunan PLTU baru (captive power plant) jika memenuhi kondisi tertentu, seperti PLTU yang terintegrasi dengan industri hilirisasi dalam Proyek Strategis Nasional dan PLTU yang berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi GRK minimal 35% dalam jangka waktu 10 tahun sejak beroperasi.

Hal ini tentunya bertentangan dengan target JETP yang ingin mematikan PLTU dan beralih ke energi bersih. Selain itu, tumpang tindih JETP dengan mekanisme transisi energi lainnya (ETM- Energy Transition Mechanism) dan kondisi geopolitik dapat mengakibatkan prioritas transisi energi teralihkan.

Alhasil perlu adanya mekanisme perlindungan (safeguard) dengan payung hukum yang kuat untuk menopang terbentuknya ekosistem dan institutional setting untuk mendukung capaian target JETP.

Urgensi Payung Hukum

Skema JETP saat ini terbatas pada Perpres 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Kebijakan tersebut belum mampu mengakomodasi isu lain, seperti TKDN, pengadaan, hingga aspek berkeadilan bagi pekerja yang terdampak. Terlebih lagi ada inkonsistensi terkait komitmen pensiun dini PLTU batu bara.

Inkonsistensi dalam Perpres 112/2022 nampaknya merupakan dampak dari upaya pemerintah yang berusaha mengakomodir prioritas transisi energi dan Proyek Strategis Nasional. Untuk diketahui, proyek industrialisasi (smelter) yang sedang gencar dilakukan pemerintah umumnya menggunakan fosil sebagai sumber energi.

Oleh karena itu, Indonesian Parliamentary Center (IPC) menegaskan perlu adanya payung hukum yang lebih tinggi untuk mewadahi kebutuhan kebijakan transisi energi berkeadilan sesuai dengan mandat kesepakatan JETP. DPR harus memainkan peran kunci dalam fungsi legislasi dan pengawasan untuk mendukung implementasi JETP.

Menimbang kasus-kasus terdahulu, seperti proyek REDD+ terkait hutan dan perdagangan karbon yang tidak dipertimbangkan dalam UU Kehutanan. Pada akhirnya dana tersebut digunakan tidak tepat sasaran.

“Pada akhirnya ya lepas begitu saja. Gak jelas dananya buat ngapain aja,” ujar Arif Adiputro, Koordinator Divisi Representasi dan Kajian IPC kepada Tirto.

Pihak IPC menilai bahwa perlu ada evaluasi kembali terkait klausul pendanaan, transisi energi yang berkeadilan, dan pengaturan TKDN dalam sektor ketenagalistrikan. Pertimbangan tersebut tidak hanya terkait proyek JETP, tapi ini juga akan membantu skema transisi energi hijau lainnya.

Perlu diketahui, dari 574 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam RUU EBET, setidaknya 360 DIM telah rampung dibahas oleh DPR. Substansi yang belum dibahas termasuk perizinan dan pengusahaan energi terbarukan, harga EBET, dana EBET, dan partisipasi masyarakat.

Sugeng menyampaikan pihaknya optimis bahwa akhir tahun ini seluruh DIM akan selesai dibahas dan RUU EBET dapat segera disahkan. Walakin, Ia membantah skema JETP harus dipertimbangkan dalam RUU EBET karena ini sekadar program pendanaan business-to-business.

“Jadi JETP program internasional kalau energi transisi, ada syarat itu jadi persoalan,” ujar Sugeng menimpali.

Dadan Kusdiana segendang sepenarian dengan Sugeng. Ia menilai tidak perlu ada payung hukum untuk JETP. Karena JETP sendiri bagian dari strategi untuk melakukan pengembangan energi bersih. “Jadi menurut saya tidak perlu JETP itu ada payung hukum JETP,” ujar Dadan kepada Tirto.

Menurut Fabby, rencana investasi dalam JETP ini harus diintegrasikan dengan rencana di sektor energi melalui Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan RUPTL yang menjadi dasar acuan bagi PLN.

Sejauh ini, kata Fabby, penyelarasan JETP dengan RUKN sudah dilakukan sejak beberapa bulan lalu sejak draf RUKN dibahas, sehingga diharapkan tidak ada perbedaan. RUPTL juga sudah mengakomodir skema JETP.

“Sekarang tidak ada salahnya kalau target JETP diintegrasikan dalam RUKN dan RUPTL. Kan sama saja yang dilaksanakan yang penting target JETP tercapai. Jadi tidak perlu bikin sesuatu yang terpisah. Mau ngapain juga?” Fabby justru mempertanyakan.

Tim sekretariat JETP juga memiliki pandangan yang serupa dengan pemerintah dan IESR. Edo menuturkan beberapa peraturan yang sudah diterbitkan cukup baik dan dapat mendukung upaya transisi energi yang sedang berlangsung di lapangan.

Seperti PMK 103 tahun 2023 mengenai Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam rangka Percepatan Transisi Energi di sektor ketenagalistrikan dan Keputusan Menkomarves no 144 tahun 2023 mengenai Pembentukan Satuan Tugas Transisi Energi Nasional.

“Kedua peraturan ini dapat menjadi landasan hukum bagi banyak upaya transisi energi, termasuk JETP,” kata Edo.

Catatan: artikel ini merupakan liputan kolaborasi antara Tirto dengan IPC.

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Dwi Ayuningtyas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Ayuningtyas
Editor: Muhammad Taufiq