tirto.id - Indonesia baru saja menuntaskan tugas sebagai tuan rumah dan pemegang presidensi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada 15-16 November 2022. Oleh-oleh darinya yang dianggap sebagai milestone, sayangnya, berisi utang baru bernilai triliunan.
Dalam pertemuan dua hari tersebut, para pemimpin negara berkumpul untuk menuntaskan beberapa agenda prioritas seperti transisi energi, transformasi digital, isu kesehatan sampai pendidikan.
Usai KTT G20, pemimpin negara tentu pulang meninggalkan Indonesia dengan buah tangan program kemitraan serta dana bantuan, tidak terkecuali Indonesia. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa dana bantuan ini besar kemungkinan berbentuk “utang.”
Merujuk situs resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, capaian dana bantuan yang diperoleh adalah pandemic fund (dana pandemi) yang mencapai US$1,5 miliar atau setara Rp23,6 triliun (asumsi kurs Rp15.700/ dolar AS).
Lalu, ada pembentukan dana perwalian resilience and sustainability trust (RST) di bawah Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) senilai US$81,6 miliar (Rp1.281 triliun). Dana RST itu ditujukan membantu negara-negara yang menghadapi krisis.
Sementara itu, untuk Ibu Pertiwi ada dana khusus yang didapat, yakni lewat kerja sama transisi energi yang adil dan terjangkau atau dikenal dengan istilah Just Energy Transition Partnership (JETP).
Melalui skema JETP, Indonesia mendapat sokongan hingga US$20 miliar atau berkisar Rp314 triliun. Memperoleh dana komitmen begitu besar, tentu wajib dipahami apa tujuan JETP dan mekanisme pendanaan yang diterima: berupa hibah atau malah utang?
Apa itu JETP?
Pada acara kemitraan untuk infrastruktur dan investasi global (PGII) di KTT G20, Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi), Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von Der Leyen, dan perwakilan pemimpin International Partner Group (IPG) mengumumkan komitmen untuk terobosan target iklim dan dukungan pembiayaan melalui konsep JETP.
Melansir situs Bank Pembangunan Asia (ADB), program JETP adalah pendekatan inovatif oleh G7 dan negara-negara mitra untuk memanfaatkan dan menyatukan beragam sumber daya keuangan untuk mendukung tujuan iklim yang menyeluruh dan mempercepat transisi energi dari berbahan bakar fosil ke energi bersih dan terbarukan.
“Kemitraan transisi energi yang adil untuk Indonesia akan memetakan peta jalan menuju masa depan yang lebih hijau dan bersih di negara ini–dan masa depan yang penuh dengan peluang bagi masyarakat Indonesia. Merekalah yang akan menuai manfaat dari transformasi ekonomi mereka karena Indonesia menjadi pusat energi terbarukan,” ujarnya dalam siaran pers Uni Eropa.
Kerja sama jangka panjang ini bermaksud untuk memobilisasi US$20 miliar dalam pembiayaan publik dan swasta selama 3-5 tahun menggunakan campuran hibah, pinjaman lunak, pinjaman dengan sesuai suku bunga pasar, jaminan, dan investasi.
Sekitar US$10 miliar uang publik akan dinaungi oleh anggota IPG dan sisanya dalam bentuk pembiayaan swasta yang akan dimobilisasi dan difasilitasi oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GASFW).
Uni Eropa bersama dengan anggotanya yang merupakan bagian IPG berniat memobilisasi dana sekitar US$2,5 miliar, di mana sekitar €1 miliar atau setara Rp16,3 triliun (asumsi kurs Rp16.300/euro) berbentuk skema investasi dengan Bank Investasi Eropa (EIB).
Mereka juga akan menyumbang €25 juta atau Rp407,5 miliar dalam bentuk hibah dan bantuan teknis. Pemerintah Inggris yang juga anggota IPG dalam siaran persnya juga menyatakan siap mendukung pelaksanaan JETP dengan memberi jaminan US$1 miliar lewat Bank Dunia (World Bank).
Fasilitas ini akan memungkinkan pemerintah memperpanjang pinjaman dari Bank Dunia dengan persyaratan terjangkau hingga Rp16,7 triliun.
“Saya bangga bahwa kami meluncurkan kemitraan transisi energi Indonesia yang adil untuk membantu mempercepat transisi Indonesia ke ekonomi hijau dan membuka peluang pembiayaan swasta untuk infrastruktur yang baru,” ujar Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak.
ETM Pensiunkan PLTU
Lebih lanjut, kemitraan JETP bertujuan agar sektor ketenagalistrikan Tanah Air mampu mencapai target emisi nol murni (net zero emissions) pada 2050, atau satu dekade lebih awal dari target pemerintah.
Salah satu programnya adalah dengan mempensiunkan dini pembangkit listrik berbasis batu baru melalui skema program mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism/ETM) Country Platform.
ETM resmi diluncurkan Senin, 14 November 2022 dan PT Sarana Multi Infrastruktur Persero (PT SMI) ditunjuk sebagai manajer untuk membangun kerangka kerja dan pembiayaan. SMI berkolaborasi dengan PT PLN (Persero), Indonesia Investment Agency (INA).
Selain itu, ada mitra internasional seperti Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United National Development Program/UNDP), Hongkong Shanghai Banking Corporation (HSBC), dll.
Lebih lanjut berdasarkan situs Kementerian Keuangan (kemenkeu) ETM akan beroperasi dalam dua skema, yakni:
- Skema fasilitas pengurangan emisi karbon yang digunakan untuk pensiun dini dari pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) di Indonesia;
- Skema fasilitas energi bersih yang ditujukan untuk mengembangkan atau menginvestasikan pembangunan fasilitas energi hijau.
Melalui skema ETM, pemerintah Indonesia menyepakati dukungan pendanaan lunak, alias utang berbunga murah, dengan nilai US$500 juta atau setara Rp7,9 triliun.
Dana tersebut akan mendukung lebih dari US$4 miliar pembiayaan untuk mengakselerasi penghentian PLTU hingga 2 Gigawatt (GW). Targetnya, sekitar 50 juta ton emisi karbon dioksida bisa dikurangi pada 2030, dan 160 juta ton pada 2040.
Selanjutnya, PLTU Cirebon-1 berkapasitas 660 Megawatt (MW) dipilih sebagai pembangkit listrik yang akan diujicobakan pertama kali lewat skema ini. Dana untuk proyek uji coba ini berkisar US$250 juta hingga US$300 juta, seperti dilansir dari situs ADB.
ADB menjelaskan alasan terpilihnya PLTU Cirebon-1 dipicu dua faktor.
Pertama, kombinasi kepemilikan yang tepat, usia PLTU yang tua, dan struktur keuangan yang memungkinkan pembiayaan kembali (refinancing). Kedua, perusahaan sudah memiliki program tanggung jawab sosial yang secara aktif melibatkan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setidaknya lebih dari setengah komitmen dana yang diperoleh pemerintah Indonesia untuk kemitraan JETP berbentuk skema investasi dan utang, bukan dana hibah.
Kemudian, pembiayaan ETP yang telah disepakati pun berbentuk pinjaman lunak berbunga rendah.
Transisi energi memang menjadi komitmen bersama seluruh negara di dunia. Namun apa jadinya jika langkah kerja-sama yang diterima pemerintah malah berujung pada kenaikan utang hingga triliunan rupiah?
Per akhir September 2022, Kemenkeu mencatat posisi utang luar negeri (ULN) Tanah Air berada di angka US$ 394,6 miliar atau setara Rp 6.195,2 triliun.
Terlihat bahwa per Juli 2022, angka ULN Ibu Pertiwi menyentuh kepala tiga, dimana nilai ini terakhir kali tercatat di akhir tahun 2018. Sejak tahun 2019, posisi ULN Indonesia berada di kisaran kepala empat menyusul gelontoran insentif di kala pandemi.
Dengan tambahan kerja sama proyek JETP, angka tersebut bisa melonjak ke Rp 6.300 triliun atau sekitar US$400 miliar. Padahal, sebelumnya pemerintah sudah berupaya melunasi ULN agar tidak lagi menyentuh angka US$400 miliar.
Utang yang kembali melebar akibat proyek JETP semestinya menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengukur manfaat dan mudharat "kemitraan" yang akan dijalankan. Pada prinsipnya, rakyatlah yang menanggung utang itu melalui pajak yang dibayarkan.
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono