tirto.id - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, proyek pendanaan transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM) perlu ada transparansi secara rinci kepada publik dalam pelaksanaannya. Sebab, pendanaan ini bersifat utang.
“JETP dan ETM Ini bentuknya adalah pinjaman (utang), bukan investasi swasta murni, pinjaman dari berbagai pihak, maka harus menjunjung tinggi transparansi proyek apa yang akan didanai secara rinci kepada publik,” kata Bhima dikutip Antara, Jakarta, Kamis (17/11/2022).
Pada KTT G20 di Bali, Indonesia memperoleh komitmen pendanaan transisi energi melalui skema JETP sebesar 20 miliar dolar AS (setara Rp310 triliun) dan skema ETM dari Asian Development Bank (ADB) sebesar 250-300 juta dolar AS (setara Rp3,87 triliun).
Sebagai negara kedua yang memperoleh skema JETP, Bhima melanjutkan, peran keterlibatan publik sangat penting dalam proyek transisi energi di Indonesia, belajar dari pengalaman dari Afrika Selatan, sebagai negara pertama yang mendapatkan skema JETP sebesar 8,5 miliar dolar AS.
“Diperlukan aspek keterlibatan dari masyarakat untuk memilih proyek apa, landasannya seperti apa. Kalau pensiun dini, kenapa PLTU ini yang dipilih, kenapa bukan PLTU lainnya, bagaimana nilainya dan lainnya. Ini adalah pelajaran dari Afrika Selatan yang sudah menjalankan proyek dari JETP,” kata Bhima.
Dalam kesempatan ini, dia menyampaikan transisi energi dapat menjadi game changer dalam beberapa tahun ke depan, yang mana Indonesia memiliki peluang besar menjadi salah satu raksasa komoditas hijau (green comodity), salah satunya melalui karbon.
“Setelah G20 yang akan menjadi salah satu game changer atau komoditas itu bukan lagi batu bara atau migas tetapi disebut sebagai green comodity,” kata Bhima.
Dia mengatakan kebutuhan transisi di bidang energi dan transportasi Indonesia mencapai kisaran Rp4.000 hingga Rp5.000 triliun.
Editor: Anggun P Situmorang