tirto.id - Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Kamis (17/11/2022) sore terus tertekan meski Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan. Nilai tukar ditutup melemah 63 poin atau 0,4 persen ke posisi Rp15.663 per dolar AS.
Analis DCFX Futures Lukman Leong mengatakan, faktor domesik masih mendominasi sentimen negatif pada rupiah.
"Sebelumnya BI dianggap terlalu pelan dan kurang agresif menaikkan suku bunga, namun sekarang investor justru kuatir dengan perlambatan ekonomi seperti yang tercermin pada impor yang naik jauh lebih kecil dari perkiraan," ujar Lukman dikutip Antara.
Kinerja impor pada Oktober 2022 meningkat 17 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang naik 22 persen dan juga lebih rendah dari ekspektasi 23 persen.
"Kenaikan suku bunga oleh BI yang diharapkan akan bisa meredam dolar AS, justru membuat rupiah semakin terpuruk," kata Lukman.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis poin (bps) ke level 5,25 persen. Keputusan tersebut sebagai langkah untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini masih tinggi.
“Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 16 dan 17 November 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate 50 basis poin menjadi 5,25 persen," kata Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers Pengumuman Hasil RDG di Jakarta, Kamis (17/11/2022).
Selain itu, bank sentral juga menaikkan suku bunga deposit facility 50 basis poin menjadi sebesar 4,50 persen dan suku bunga lending facility naik 50 basis poin menjadi sebesar 6 persen.
Keputusan kenaikan suku bunga tersebut, sebagai langkah lanjutan secara front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang masih tinggi.
Keputusan ini juga untuk memastikan inflasi inti ke depan kembali dalam sasaran 3 plus minus 1 persen lebih awal yaitu pada paruh awal pertama 2023 serta memperkuat kebijakan stabilitasi nilai tukar rupiah.
"Ini agar sejalan dengan fundamental akibat apresiasi mata uang dolar Amerika Serikat dan tingginya ketidakpastian pasar uang global ditengah kuatnya permintaan ekonomi domestik," jelas Perry.
Editor: Anggun P Situmorang