tirto.id - Penghinaan yang dilakukan oleh seorang karyawan PT Timah Tbk terhadap ‘honorer’ menandakan perlunya peningkatan kesadaran akan sikap profesional dan empati di lingkungan perusahaan BUMN. Karyawan BUMN, sepatutnya menjadi contoh bagi masyarakat dalam hal perilaku dan etika kerja. Bukan sebaliknya membuat gaduh dengan pernyataan yang merendahkan tenaga ‘honorer’.
Baru-baru ini, perilaku tak terpuji diketahui dilakukan oleh salah satu karyawan PT Timah Tbk Provinsi Bangka Belitung, bernama Dwi Citra Weni alias Wenny Myzon. Lewat video TikTok-nya ia membuat gaduh dan viral usai diduga menghina pegawai honorer pengguna Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Dalam video yang diunggahnya, tanpa malu ia melenggak-lenggokan tubuhnya sambil mengatakan pegawai honorer yang berobat ke rumah sakit dengan BPJS Kesehatan harus mengantri. Ini berbeda dengan dia yang seolah merupakan pasien prioritas - seraya menunjuk logo PT Timah Tbk pada seragam yang dikenakannya.
"Ngantri ya Dek, BPJS ya? Oh BPJS, masih honorer? Kebetulan saya kan, ehm, saya enggak ngantri, Dek. Pasien prioritas," ucapnya dalam video.
Kejadian ini jelas memicu keprihatinan bersama. Karena sebagai bagian dari BUMN, para karyawan harusnya memiliki sikap profesional dan empati yang tinggi terhadap sesama terlepas dari status pekerjaan mereka. Bukan sebaliknya yang nir empati terhadap apa yang terlihat di bawahnya.
Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, melihat dalam kasus ini yang terjadi adalah perilaku individu yang tidak merepresentasikan keseluruhan karyawan BUMN. Namun, bisa dilihat bahwa unsur empati memang tidak tampak pada kasus ini sehingga muncul penghinaan dengan cara demikian.
“Empati merupakan bagian psikologis yang bervariasi antar individu dan dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk pengalaman pribadi, nilai-nilai yang dianut, serta budaya di tempat kerja,” ujar dia kepada Tirto, Senin (3/2/2025).
Wawan berpendapat, karyawan BUMN bekerja untuk kepentingan masyarakat, seharusnya memiliki nilai-nilai yang mencerminkan kepedulian dan penghormatan terhadap semua warga negara. Selain itu, perlu ditekankan bahwa perilaku dan ucapan mereka di ruang publik, termasuk media sosial, bisa berdampak luas dan mencerminkan institusi tempat mereka bekerja.
Padahal jika dicermati, dari pemegang saham BUMN (Kementerian BUMN) sendiri sebenarnya sudah mengeluarkan standar umum terkait dengan nilai-nilai utama Sumber Daya Manusia (SDM) di perusahaan pelat merah tersebut. Salah satunya melalui Peraturan Menteri BUMN No. SE-7/2020 tentang Nilai-nilai Utama Sumber Daya Manusia BUMN.
Beberapa isi nilai-nilai utama (core values) Sumber Daya Manusia Badan Usaha Milik Negara terdiri dari Amanah: Memegang teguh kepercayaan yang diberikan. Perilaku ini melingkupi memenuhi janji dan komitmen, bertanggung jawab atas tugas, keputusan, dan tindakan yang dilakukan, dan berpegang teguh kepada nilai moral dan etika.
Kemudian ada Harmonis: saling peduli dan menghargai perbedaan. Panduan perilaku ini meliputi bagaimana para karyawan BUMN dapat menghargai setiap orang apapun latar belakangnya, suka menolong orang lain, dan membangun lingkungan kerja yang kondusif.
Maka bagi BUMN, nilai-nilai ini jangan hanya diterjemahkan dalam teks. Seharusnya melekat pada Kode Etik Perusahaan. Karena kode etik ini merupakan standar wajib bagi BUMN, juga perusahaan publik, yang melekat dalam penerapan tata kelola perusahaan yang baik.
“Kalau sudah diatur dalam kode etik, itu berarti ada standar sanksinya. Nah, dalam kasus karyawan PT Timah, seharusnya juga ada. Sanksi dalam pelanggaran kode etik bisa macam-macam: dari sanksi administrasi, teguran, skorsing, hingga pemecatan,” ujar Herry.
Herry sendiri berharap nilai-nilai utama dari regulasi Kementerian BUMN yang menjadi standar etika "universal" bagi BUMN itu sudah diadopsi oleh PT Timah dalam kode etik perusahaan. Dengan demikian, ada kontrol melekat secara organisasi terhadap standar perilaku karyawan.
“Sekiranya belum, ya berarti ada masalah juga di perusahaannya,” imbuh dia.
Sebelumnya, PT Timah Tbk sempat menyampaikan permintaan maaf atas perilaku karyawannya yang menghina pegawai honorer yang menggunakan BPJS Kesehatan. Departement Head Corporate Communication PT Timah, Anggi Siahaan, mengatakan perusahaan menjunjung tinggi nilai-nilai etika, harmoni, dan saling menghormati. PT Timah juga disebut menyesalkan dan menyayangkan kegaduhan yang telah ditimbulkan dari kelakuan salah seorang pegawainya tersebut.
Anggi juga menegaskan apa yang disampaikan pemilik akun tidak berhubungan atau mewakili karakter dan budaya kerja perusahaan. Perusahaan juga telah memanggil karyawan yang bersangkutan dan akan mengambil langkah tegas sesuai dengan aturan kekaryawanan yang berlaku di perusahaan.
“PT Timah akan terus bertransformasi, melakukan perbaikan khususnya melakukan edukasi dan internalisasi kepada seluruh karyawan dan keluarga besar PT Timah, untuk bijak dalam bermedia sosial, serta menghindari tindakan yang dapat merugikan diri sendiri maupun perusahaan,” ujar Anggi Siahaan dalam keterangannya.
Dalam kasus karyawan PT Timah Tbk, memang harus dilihat secara jernih. Meskipun kejadian ini dilakukan seseorang, namun tidak bisa digeneralisasi menjadi kasus PT Timah, apalagi BUMN secara keseluruhan. Bahwa masih ada persoalan yang perlu diperbaiki dari sisi etika, ya harus diakui juga.
“Tentu itu adalah perilaku oknum karyawan BUMN yang tidak bisa kita generalisir,” ujar Direktur Eksekutif Sinergi BUMN Institute, Achmad Yunus, kepada Tirto, Senin (3/2/2025).
Menutup Kesenjangan
Lebih jauh, Yunus juga melihat di BUMN sendiri harus diakui masih ada kesenjangan karena berbagai macam jenis kelompok karyawan dengan penghasilan dan fasilitas yang tidak sama. Umumnya karyawan BUMN terdiri dari karyawan tetap dengan status perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), karyawan kontrak dengan status perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang sering disamakan dengan honorer pegawai pemerintah, serta ada juga profesional hire (prohire).
“Job security paling aman adalah karyawan tetap PKWTT, fasilitasnya juga lebih baik daripada karyawan honorer, tapi untuk prohire lebih tinggi lagi penghasilan dan fasilitasnya,” ujar dia.
Oleh karena itu, dia berharap kesenjangan penghasilan dan fasilitas karyawan BUMN perlu diatur kembali. Bila perlu diseragamkan agar tidak muncul kesenjangan antara karyawan tetap maupun honorer. “Ada lagi karyawan outsourcing dan ini lebih parah sih penghasilan dan fasilitasnya, padahal mereka adalah ujung tombak di BUMN,” imbuhnya.
Untuk menutup kesenjangan tersebut, maka ke depan Kementerian BUMN perlu menerbitkan Permen BUMN yang mengatur dua hal. Pertama, tentang rasio penghasilan Direksi BUMN terhadap karyawan BUMN (karena gap kesenjangan ini paling besar). Kedua, jenis dan status pekerja BUMN berikut rasio fasilitas.
Jika kedua Permen BUMN itu diakomodir, maka ke depan kesenjangan terhadap karyawan di tubuh BUMN diharapkan dapat berkurang. Sehingga, harapannya tidak ada lagi kejadian-kejadian berupa penghinaan dilakukan oleh pegawai BUMN.
Kasus karyawan PT Timah Tbk, setidaknya menjadi momentum bagi perusahaan BUMN untuk lebih memperhatikan kesejahteraan dan perlakuan yang adil bagi seluruh karyawan tanpa terkecuali. Hal ini juga bisa jadi tumpuan untuk memastikan bahwa sikap empati dan saling menghargai menjadi bagian integral dari budaya kerja di setiap instansi.
BUMN harus bisa menjadi contoh yang baik, bukan justru memperburuk citra dengan tindakan yang merendahkan sesama!
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang