Menuju konten utama

Copot Pegawai Tak Cukup, Seret Otak Pemagaran Laut ke Meja Hijau

Pemerintah tak boleh puas hanya dengan menjatuhkan sanksi etik kepada para pejabat di level daerah kasus pagar laut. Sikat sampai dalangnya!

Copot Pegawai Tak Cukup, Seret Otak Pemagaran Laut ke Meja Hijau
Sejumlah Personel TNI membongkar pagar laut yang terpasang di kawasan pesisir Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, Sabtu (18/1/2025). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/YU

tirto.id - Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menjatuhkan sanksi kepada delapan pejabat Kantor Pertanahan Tangerang memang perlu diapresiasi. Sebanyak delapan pejabat dicopot sebab terlibat dalam kasus pagar laut di perairan Tangerang, Banten. Dari delapan pejabat yang disanksi berat, enam pegawai diberi sanksi pemberhentian.

Mencopot pejabat internal seharusnya cuma menjadi langkah awal. Pemerintah tak boleh puas hanya dengan menjatuhkan sanksi etik kepada para pejabat di level daerah. Hal ini harus dilanjutkan dengan melakukan tindakan penegakan hukum pidana. Indikasi adanya pelanggaran hukum dan maladministrasi dalam pembangunan pagar laut yang punya Hak Guna Bangunan (SHGB) dan sertipikat hak milik (SHM) sudah terang-benderang.

Pasalnya, hampir sebulan kasus ini bergulir, belum ada nama-nama yang diumumkan untuk dilidik aparat penegak hukum. Tidak pula ada pengumuman resmi soal pelaku pemagaran laut di Tangerang. Padahal, Kementerian ATR/BPN sudah membuka nama-nama korporasi pemegang SHGB dan SHM, yakni PT Intan Agung Makmur, PT Cahaya Inti Sentosa, serta bidang lain milik perorangan. Bahkan, sudah ada puluhan HGB yang dicabut karena terbukti ilegal dan menyalahi aturan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tak jauh berbeda. KKP menyampaikan secara tegas bahwa pagar laut itu tak memiliki izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Tetapi KKP justru menyatakan cuma mampu memberikan denda administratif pada pelaku jika kelak terbukti. Mereka mengeluarkan perhitungan denda sebesar Rp18 juta per kilometer atas pembangunan pagar laut sepanjang 30 km di Tangerang, Banten.

Pembongkaran Pagar Laut Tangerang

Dirpolair Polda Metro Jaya Kombes Joko Sadono bersama jajarannya melakukan pencabutan pagar laut misterius di perairang Tangerang, Senin (27/1/2025). tirto.id/Ayu Mumpuni

KKP berdalih perhitungan denda tersebut mengacu dan didasarkan pada perhitungan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, memandang adanya sanksi dan denda tersebut menunjukkan sikap KKP dan Kementerian ATR/BPN yang tidak serius dalam menindak pelaku perusakan perairan laut. Ia menilai, saat ini rakyat justru menunggu pemerintah mengumumkan dalang utama pelaku pemagaran laut di Tangerang.

Terlebih, kata Susan, langkah pemecatan yang diambil Menteri Nusron baru mengincar para pejabat di level bawah. Ia yakin, perkara ini melibatkan banyak aktor dan mempunyai dalang utama dari pihak di level atas atau individu high profile.

“Mereka memang penting dipecat, namun jangan seolah-olah berhenti seperti tumbal saja. Kita harus melihat besarnya kasus dan banyaknya orang yang terlibat dalam mengeluarkan SHGB dan SHM,” ucap Susan kepada wartawan Tirto, Jumat (31/1/2025).

Susan menyayangkan, sejak KKP menyegel pagar laut pada 9 Januari 2025 hingga sampai saat ini tidak ada pengungkapan siapa dalang dan aktor intelektual dari pagar laut tersebut. Padahal, sudah ada bukti pihak-pihak yang diduga aktor lapangan dan aktor intelektual yang didapat dari kesaksian masyarakat lokal.

Jika Kementerian ATR/BPN hanya berhenti pada pencopotan jabatan, tidak heran apabila masyarakat melihat hal ini sebagai upaya meredam kasus semata. Ditambah KKP mengaku hanya bisa memberikan denda administratif yang tentu tidak menghasilkan efek jera. Susan melihat kurangnya ketegasan pemerintah membuat aksi mafia tanah terus tumbuh subur.

Meski KKP menetapkan denda sebesar Rp18 juta per kilometer, angka tersebut jauh lebih ringan dan murah daripada perkiraan modal pembuatan pagar laut. Hal seperti inilah yang membuat pelaku perusakan laut, pesisir dan pulau kecil, tidak jera dan tidak menimbulkan efek ketakutan. Jika dikalkulasikan, jelas Susan, Rp18 juta per kilometer dengan total pagar laut sepanjang ±31 kilometer, hanya akan menghasilkan denda Rp558 juta.

“Jelas denda tersebut tak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh nelayan yang ditaksir Ombudsman RI sebesar Rp7,7 miliar per bulan,” ucap Susan.

KIARA mengingatkan agar instansi pemerintah tidak menjadi corong para korporasi hanya demi penanaman investasi. Sudah terang dan jelas bahwa SHM dan SHGB berada di Desa Kohod dan diduga melibatkan aparatur desa setempat serta Kantor Pertanahan Tangerang. Maka, atas terbitnya SHM dan HGB itu, seharusnya pihak penegak hukum baik Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, hingga Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di ATR/BPN sudah bisa melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Terlebih, sudah mulai muncul intimidasi bagi masyarakat lokal yang bersuara mendorong penyelesaian kasus ini. Seorang nelayan lokal bernama Kholid, ujar Susan, sudah diancam akan dikriminalisasi oleh kelompok ormas. Laman resmi KIARA juga mengalami serangan karena terus vokal mendorong penuntasan kasus pagar laut Tangerang ke meja hijau.

“Membuktikan bahwa ini kasus kakap dengan para pemainnya ikan-ikan besar, pemerintah kalau diam saja maka ikut terlibat,” terang Susan.

Sebelumnya, Koordinator Masyarakat Anti-korupsi (MAKI), Boyamin Saiman, melaporkan dugaan tindak pidana korupsi dalam penerbitan SHGB pembangunan pagar laut di perairan Tangerang, Banten. Pelaporan dugaan praktik rasuah itu dilayangkan Boyamin, ke Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung (JAM Pidsus Kejagung).

Dalam laporannya, Boyamin turut membawa bukti berupa salinan akta jual beli. Ia menilai penerbitan HGB yang berujung pembangunan pagar laut tersebut sudah melanggar Pasal 9 dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pengusutan kasus dugaan korupsi dalam perkara pagar laut juga mengarah kepada Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Tipikor.

"Terbitnya sertifikat di atas laut itu saya meyakini palsu, karena tidak mungkin bisa diterbitkan karena itu di tahun 2023. Kalau ada dasar klaim tahun 80-an, 70-an, empang dan lahan. Artinya, itu sudah musnah, sudah tidak bisa diterbitkan sertifikat," kata Boyamin, kepada wartawan di Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis (30/1/2025).

Dalang Pagar Laut Harus Dipidana

Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, memandang aparat kepolisian tampak ragu-ragu dalam menegakkan hukum dalam kasus pagar laut di Tangerang. Sangat aneh ketika aparat kepolisian mengaku belum menemukan pelanggaran pidana pada kasus ini. Abdul menduga, terdapat pengaruh di luar proses hukum yang membuat kepolisian tidak bergerak dengan leluasa.

“Ada potensi ikut bermain karena hal yang mustahil pembangunan pagar laut sepanjang itu mencolok mata [tidak tahu], jadi berlagak pilon saja,” kata Abdul kepada wartawan Tirto, Jumat.

Abdul menyampaikan unsur pidananya sudah jelas dan polisi seharusnya dapat memanggil pihak yang diduga terlibat. Celah yang bisa dilidik, kata Abdul, sudah jelas peristiwa pidana di perairan laut yakni memasang pagar tanpa izin dan melakukan penerbitan SHGB bodong. Selain itu, tindak pidana penyerobotan ruang publik yang merugikan masyarakat setempat.

Abdul mendorong penegakan pidana pada pejabat di ATR/BPN dari tingkat bawah hingga atas yang mengetahui penerbit SHGB dan SHM. KKP yang juga diduga membiarkan kasus ini perlu diperiksa hingga ke level pimpinan agar dimintai pertanggungjawabannya.

“Ini preseden yang sangat buruk, baik bagi penegakan hukum maupun bernegara secara menyeluruh,” ucap Abdul.

Juru kampanye WALHI Jakarta, Muhammad Aminullah, menilai kasus pagar laut Tangerang akan menjadi antiklimaks jika tidak ada aktor intelektual dan lapangan yang diseret pidana. Pemecatan pejabat terlibat tak cukup sebagai hukuman bagi pelaku perampasan ruang laut. Sebab, adanya perampasan ruang yang dibiarkan, justru menandakan negara tunduk pada segelintir kelompok pebisnis.

Terlebih, kata Aminullah, tanah dan air seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Jika pemerintah tidak mau dibilang tunduk pada pengusaha, bongkar siapa pengusaha yang bermain. Apalagi Presiden Prabowo Subianto adalah orang yang memahami pertahanan dan kedaulatan nasional bangsa Indonesia.

TNI AL dan KKP kembali bongkar pagar laut di Tangerang

Pasukan Komando Pasukan Katak (Kopaska) TNI-AL membongkar pagar laut di kawasan Pantai Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (22/1/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/agr

Denda administrasi dan pemecatan tidak menimbulkan efek jera, justru terus memperuncing konflik agraria dan lingkungan. Nelayan akan terus hidup di bawah ancaman perampasan ruang laut karena sikap lembek pemerintah yang membuat pengusaha mengempit di sektor laut secara leluasa dan tidak takut dihukum.

“Prabowo sebagai yang kita lihat perspektifnya sangat ketahanan nasional, seharusnya paham, zaman sekarang bicara ketahanan tak hanya soal militer, tapi juga lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat,” ucap Aminullah kepada wartawan Tirto, Jumat.

Diberitakan sebelumnya, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid pada rapat kerja bersama Komisi II DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Kamis (30/1/2025), menegaskan memecat enam pejabat yang terlibat dalam kasus pagar laut Tangerang. Namun, Nusron mengaku tidak tahu apakah para pejabat itu menerima suap atau tidak. Menurut dia, dugaan tindak pidana tidak menjadi ranah atau wewenang ATR/BPN.

"Kalau itu saya enggak tahu. Sepanjang pemeriksaan kita, ya memang belum menemukan itu kalau di internal. Tapi kalau masalah suap, dan tindak pidana yang lain itu kan bukan lagi kewenangan kementerian. Itu kewenangan APH, bisa di polisi, bisa di jaksa. Dan mereka, APH ini sudah on going jalan, sudah berjalan," ungkap Nusron.

Sementara itu, KKP menyatakan tengah memeriksa Kepala Desa Kohod beserta 13 orang nelayan lain terkait kasus pagar laut sepanjang 30,16 kilometer (km) yang ada di perairan Kabupaten Tangerang, Banten. Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Doni Ismanto menyatakan Polisi Khusus Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Polsus PWP3K) KKP terus mengembangkan pemeriksaan kasus pagar laut di Tangerang.

Dia menyampaikan bahwa pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari proses penegakan sanksi administratif sesuai kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kelautan dan perikanan, PP 21/2021, PP 85/2021, dan PermenKP No 31/2021. Dengan demikian, hingga saat ini secara keseluruhan Kementerian Kelautan dan Perikanan telah melakukan pemeriksaan terhadap 16 orang.

"KKP menegaskan bahwa seluruh proses ini dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku guna memastikan ketertiban dan ketaatan pengelolaan ruang laut yang berkeadilan," kata Doni dikutip Antara.

Baca juga artikel terkait PAGAR LAUT atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang