Menuju konten utama

Peluang Cuan bagi Indonesia dari Perang AI DeepSeek vs ChatGPT

Keberhasilan DeepSeek ini membuka peluang bagi Indonesia untuk juga dapat mengembangkan ekosistem digital, khususnya AI.

Peluang Cuan bagi Indonesia dari Perang AI DeepSeek vs ChatGPT
Logo DeepSeek. (FOTO/deepseek.com)

tirto.id - Persaingan model kecerdasan buatan antara Cina dan Amerika Serikat (AS) semakin memanas sejak kemunculan DeepSeek R1 pada November 2024 lalu. Tidak hanya itu, sejak diluncurkan pada 2023 lalu, DeepSeek yang mengembangkan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dalam bentuk AI open-source berhasil meraih peringkat teratas sebagai aplikasi yang paling banyak diunduh di AppStore AS, Inggris dan Cina. Membuat perusahaan asal Hangzhou, Cina timur itu diklaim mampu bersaing dengan teknologi raksasa seperti OpenAI (pemilik ChatGPT), Google dan Meta.

Melalui DeepSeek R1 yang dibangun hanya menggunakan sekitar 2.000 chip komputer generasi lama yang diproduksi oleh Nvidia dan dengan anggaran hanya sekitar 6 juta dolar AS (Rp97,2 miliar, kurs Rp16.200 terhadap dolar AS) untuk daya komputasi. Baik jumlah chip maupun anggaran daya komputasi yang dibutuhkan DeepSeek untuk mengembangkan teknologi AI dengan performa sebanding dengan model terbaru Open AI, yang unggul dalam penalaran bahasa alami, pemprograman dan matematika.

“Sebagai perbandingan, sistem AI Meta, Llama, menggunakan sekitar 16.000 chip, dan dilaporkan menghabiskan biaya jauh lebih besar bagi Meta untuk pelatihannya,” tulis laporan VOA, dikutip Jumat (31/1/2025).

Sedangkan mengutip Antara, untuk menjadi aplikasi kecerdasan buatan yang paling banyak diunduh nomor wahid di AppStore, DeepSeek hanya membutuhkan waktu kurang lebih 2 tahun dengan karyawan sebanyak 200 orang dan pendanaan awal sebesar Rp89 miliar. Sedang OpenAI, memerlukan waktu 10 tahun, dengan 4.500 karyawan dan pendanaan mencapai Rp105,6 triliun untuk menjadi seperti sekarang.

Berita tentang kehebatan DeepSeek R1 memicu aksi jual besar-besaran saham teknologi di pasar AS. Pada penutupan perdagangan Senin (27/1/1015), indeks Nasdaq yang sarat emiten teknologi turun sebesar 3,1 persen dan saham Nvidia, raksasa teknologi AS juga anjlok hampir 17 persen.

“Karena investor mulai mempertanyakan apakah rencana perusahaan AS yang dipublikasikan dengan baik untuk menginvestasikan ratusan miliar dolar di pusat data AI dan infrastruktur lainnya akan mempertahankan dominasi mereka di bidang tersebut,” tulis laporan tersebut.

Tak hanya pasar saham AS yang bergejolak. Sebagai respons atas pertumbuhan pesat DeepSeek, Presiden AS, Donald Trump, melalui calon Menteri Perdagangan, Howard Lutnick, memberi sinyal bahwa AS akan membatasi ekspor chip produksi Nvidia Corp. ke perusahaan-perusahaan Cina.

Selain itu, untuk mempertahankan kepemimpinannya di sektor teknologi, Lutnick juga memandang perlunya penetapan model ‘sentuhan ringan’ untuk menciptakan standar global dalam AI, serupa dengan standar AS untuk keamanan siber.

“Kita perlu memastikan bahwa kita menetapkan standar yang dapat dipenuhi oleh dunia," kata Lutnick kepada Komite Perdagangan, Sains, dan Transportasi Senat AS. "Dan saya pikir itulah cara kita untuk tetap memimpin. Lakukan dengan cara Amerika, yang kita tahu adalah cara yang jitu,” ujarnya dikutip Reuters, Jumat (31/1/2025).

Berkaca pada keberhasilan DeepSeek, Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi), Meutya Hafid, menilai, keberhasilan pengembangan teknologi AI tidak melulu bergantung pada modal besar. Bahkan, seperti halnya DeepSeek, keberhasilan bisa bermula dari proyek sampingan pendirinya.

“DeepSeek bermula dari proyek sampingan pendirinya. Jika kita bandingkan dengan perusahaan raksasa Indonesia seperti misalnya Bukalapak, biaya pengembangan modal AI ini sepertinya tidak terlalu tinggi atau bahkan rendah,” kata dia, dalam acara Ekonomi Outlook 2025, di Jakarta, Kamis (30/1/2025).

Dus, keberhasilan DeepSeek ini membuka peluang bagi Indonesia untuk juga dapat mengembangkan ekosistem digital, khususnya AI. Namun demikian, untuk mengembangkan teknologi AI, dibutuhkan inovasi dan strategi yang tepat untuk mengatasi masalah limitasi persediaan chip canggih di dunia.

“Sekali lagi, keberhasilan tidak selalu bergantung pada modal besar, tapi pada strategi pada efisiensi serta kesiapan dalam menghadapi perubahan di tengah limitasi chip canggih. Contohnya mereka, menciptakan peluang dan mendisrupsi industri dengan mengembangkan algoritma baru. Terobosan-terobosan ini yang perlu kita lakukan,” tegas Meutya.

Pasar pengembangan AI dunia memang masih sangat besar, PwC dalam laporan yang dirilis 2022 memprediksi nilai pasar AI global akan mencapai 1,5 triliun dolar AS pada 2030. Sedang berdasar data Statista, nilai pasar AI diproyeksikan mencapai 243,7 miliar dolar AS pada tahun 2025, dengan tingkat pertumbuhan tahunan (CAGR 2025-2030) sebesar 27,67 persen, menghasilkan volume pasar sebesar 826,7 miliar dolar AS pada 2030.

“Dalam konteks global, AI diharapkan dapat memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Pada 2030, AI diperkirakan akan berkontribusi hingga 15,7 triliun dolar AS melalui peningkatan produktivitas dan konsumsi. Selain itu, AI juga dapat meningkatkan PDB Asia Tenggara sebesar 1 triliun dolar AS pada 2030, dengan kontribusi Indonesia hingga 40 persen atau setara 366 miliar dolar AS,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam keterangan resminya, dikutip Jumat (31/1/2025).

Terlepas dari potensi ekonomi pengembangan AI, Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, menilai, hadirnya DeepSeek bisa menjadi game changer dari bagaimana perkembangan AI ke depan. Dalam hal ini, meski telah sebanding dengan ChatGPT yang dirilis OpenAI, baik pengembangan maupun layanan yang diberikan DeepSeek jauh lebih murah.

Sementara itu, jika melihat persaingan dari dua negara, Cina dan AS, posisi Indonesia berada di tengah-tengah. Artinya, sebagai negara berpenduduk besar dan pengguna internet banyak, yang mungkin terjadi adalah pada ujungnya akan menjadi pasar utama.

“Sehingga, memang Indonesia ini ujungnya akan menjadi pasar utama baik ChatGPT maupun DeepSeek,” kata dia, kepada Tirto, Jumat (31/1/2025).

Jika ini yang terjadi, pemerintah seharusnya dapat memperkuat posisi tawar Indonesia. Dus, untuk ke depan Indonesia bisa memilih teknologi yang memberikan manfaat besar bagi perekonomian nasional.

“Misalnya investasinya lebih besar bagi Indonesia, membuka lowongan kerja yang besar bagi orang Indonesia, memberikan kontribusi perpajakan. Jadi memang harus kita manfaatkan posisi strategis Indonesia ini di tengah pertarungan dua kubu. Sebab, kalau misalnya kita hanya menjadi pasar kiri kanan, ya kita tidak mendapatkan keuntungan apa-apa,” imbuh dia.

Meski begitu, Indonesia juga harus mewaspadai kerentanan yang ada di balik penggunaan teknologi AI. Heru mengakui, bahwa baik ChatGPT maupun DeepSeek memiliki kerentanan yang serupa, yakni mengambil data dari berbagai sumber terbuka dan tidak terbuka alias bukan informasi publik. Namun, dalam hal ini, pemerintah perlu menguji apakah DeepSeek sebagai teknologi baru akan melakukan pelanggaran privasi untuk mendapatkan data atau tidak.

“Tapi kalau secara umum, betapapun ini memang menjadi persaingan baru, ini menjadi alat dari bagaimana perang dagang ini juga terjadi. Betapapun kan juga kalau misalnya ada kebijakan di Amerika, pasti negara-negara sekutu di Eropa pasti akan mendukung. Dan sekarang ini kan terjadi, utamanya terjadi perang dagang antara Amerika Serikat dan juga Tiongkok,” terangnya.

Sementara itu, Indonesia memang mungkin saja bisa mengembangkan teknologi AI secara mandiri, namun membutuhkan dukungan sistem komputer yang kuat, chip yang handal dan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Kesemuanya, membutuhkan biaya dan dukungan besar dari pemerintah.

“Untuk membangun layanan AI kompetitif seperti DeepSeek atau ChatGPT, persiapkan anggaran minimal 10-50 juta dolar AS di tahap awal dan 100 juta dolar lebih untuk skala enterprise. Biaya ini belum termasuk risiko kegagalan eksperimen atau dinamika pasar yang cepat berubah. OpenAI menggelontorkan 100 juta dolar, Rp.1,6 triliun lebih untuk ChatGPT,” kata Heru.

Kalau tidak ada dukungan-dukungan itu, Indonesia tetap bisa bermimpi untuk menjadi salah satu pengembang AI dunia, namun realitanya akan menjadi ‘omon-omon’ belaka.

“Boleh saja bermimpi seperti itu, tapi strateginya dan aksi nya seperti apa, termasuk dukungan anggarannya bagaimana. Sebab, kalau tidak punya strategi, tidak ada aksi dan alokasi dana mencukupi, jadi pusat AI hanya sekadar narasi alias omon-omon saja,” tegas Heru.

Terpisah, Dosen Ekonomi dari Sekolah Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetya Mulya, Reinardus Suryandaru, menilai DeepSeek bisa menjadi contoh bahwa salah satu kunci kemajuan ekonomi adalah dari investasi SDM yang berfokus di sektor masa depan. Sementara seiring dengan pesatnya pengembangan AI, Indonesia sebetulnya bisa saja menarik investor-investor yang bergerak di pengembangan AI untuk masuk dan menanamkan modalnya di salah satu kawasan ekonomi khusus (KEK) alias Special Economic Zone (SEZ) yang sampai saat ini masih menjadi fokus pengembangan oleh pemerintah.

“SEZ memiliki banyak kemudahan investasi serta insentif pajak. Ini bisa menjadi alternatif untuk menarik investasi di bidang AI yang juga diharapkan memberikan spill over effect ke dalam wilayah ekonomi tersebut,” jelas Daru, sapaan Suryandaru, saat dihubungi Tirto, Jumat (31/1/2025).

Kendati, sebelum menarik investasi dari perusahaan-perusahaan pengembang AI atau turunannya, pemerintah harus terlebih dulu membuat proyek percontohan yang lebih konkrit terkait dukungan (support) perusahaan AI. Melalui cara ini, ditambah dengan persiapan SDM AI yang unggul, dapat menjadi salah satu bentuk keseriusan Indonesia dalam mengembangkan teknologi AI di Tanah Air.

“Selama ini masih hanya sebatas wacana. Dengan adanya perusahaan yang di support secara konkrit, ini bisa menjadi sinyal bahwa Indonesia serius dalam menampung peluang industri AI di tingkat global,” tukas Daru.

Sementara itu, menurut Wakil Menteri Komdigi, Nezar Patria, peluang Indonesia untuk menjadi bagian dari ekosistem AI Global akan terbuka jika memiliki regulasi yang tepat dalam pengembangannya. Namun, untuk merancang regulasi ini, membutuhkan kolaborasi dari seluruh pemangku kepentingan, mulai dari industri, akademisi, organisasi non pemerintah atau non-government organization (NGO), hingga masyarakat luas.

“Keterlibatan proaktif seluruh pemangku kepentingan dalam regulasi dan pengembangan AI sangat penting, sehingga peluang untuk menjadi bagian dari ekosistem AI global dan pemanfaatan teknologi AI yang bermakna di dalam negeri bisa tercapai,” ujar Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi), Nezar Patria, dalam keterangannya terkait acara Dialog Kebijakan AI di Hotel Le Meridien Jakarta Pusat, pada Kamis (30/1/2025).

Baca juga artikel terkait CHAT GPT atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang