tirto.id - Lebaran atau Idulfitri merupakan perayaan keagamaan dan budaya yang sangat penting bagi umat Islam di Indonesia. Menandai berakhirnya bulan suci Ramadhan, Lebaran dirayakan dengan berbagai tradisi, termasuk kebiasaan mengenakan baju baru.
Fenomena ini begitu melekat dalam perayaan Lebaran di Indonesia. Oleh karenanya, membeli dan memakai baju baru seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari "hari kemenangan". Tradisi ini tidak hanya sekadar mengikuti tren mode, tetapi juga mencerminkan makna spiritual dan sosial yang mendalam bagi masyarakat Indonesia.
Tradisi Sejak Era Kerajaan
Jejak awal tradisi memakai baju baru saat Lebaran di Indonesia dapat ditelusuri hingga abad ke-16, tepatnya pada masa Kesultanan Banten pada 1596. Berbagai sumber sejarah secara konsisten menyebutkan periode ini sebagai awal mula tradisi tersebut eksis di Nusantara.
Pada masa itu, kemampuan untuk membeli pakaian bagus untuk merayakan Lebaran sangat terbatas. Hanya kalangan kerajaan dan bangsawan yang memiliki sumber daya untuk membeli baju baru. Sementara itu, rakyat biasa harus membuat pakaian sendiri dengan menjahit atau memperbaiki pakaian lama agar terlihat layak dikenakan saat hari raya.
“[...]pada menjelang hari raya, orang-orang sibuk membuat pakaian sehingga dikatakannya seolah-olah semua orang menjadi tukang jahit,” tutur Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto mengutip catatan Willem Lodewycksz pada 1596 dalam buku Sejarah Nasional III (1981:212).
Artinya, ada indikasi bahwa pada mulanya, tradisi mengenakan baju baru saat Lebaran berkaitan erat dengan stratifikasi sosial dan status ekonomi dalam masyarakat.
Selain di Kesultanan Banten, tradisi serupa juga ditemukan di Kerajaan Mataram (Yogyakarta). Masyarakat pada masa itu berupaya mendapatkan pakaian baru menjelang Idulfitri, baik dengan membeli maupun menjahit sendiri.
Kemunculan tradisi serupa di dua kerajaan Islam berbeda di Jawa menunjukkan, praktik ini mungkin telah menyebar seiring dengan perkembangan agama Islam dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia pada masa itu.
Pada masa penjajahan Belanda, terdapat dimensi baru pada tradisi memakai baju baru saat Lebaran. Pada awal abad ke-20, Snouck Hurgronje, penasihat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial Belanda, mencatat kebiasaan yang mengakar di Nusantara tersebut.
Sebagaimana terekam dalam catatan Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Jilid IV, Hurgronje mengonfirmasi fakta bahwa tradisi ini terus berlanjut dan menjadi bagian penting dari perayaan Lebaran di masyarakat Indonesia masa itu.
Ia bahkan mengamati adanya kemiripan antara tradisi ini dengan kebiasaan di Eropa saat merayakan tahun baru. Orang-orang Barat juga mengenakan pakaian yang paling bagus serta saling mengunjungi kerabat dan kenalan. Kesamaan ini mengindikasikan, setidaknya ada paralelisme dalam cara masyarakat merayakan hari-hari besar, termasuk dengan simbolisme pakaian baru yang menandakan awal yang baru.
Hurgronje juga mencatat aspek ekonomi dari tradisi ini. Ia mengamati bahwa menjelang Lebaran, terjadi peningkatan pengeluaran besar-besaran di Batavia untuk pembelian pakaian, makanan, bahkan petasan. Artinya, pada awal abad ke-20, tradisi membeli baju baru untuk Lebaran telah mendorong aktivitas ekonomi, terutama di pusat-pusat perdagangan.
Namun, tradisi ini juga tidak luput dari kritik. Beberapa pejabat kolonial menganggap kebiasaan membeli baju baru sebagai pemborosan, bahkan berpotensi menjadi sumber masalah ekonomi. Terlebih, ada dugaan bahwa beberapa pejabat pribumi melakukan korupsi dana pemerintah untuk keperluan perayaan Lebaran pribadinya, termasuk pembelian pakaian baru.
Selain itu, pada masa kolonial, terlihat adanya perbedaan gaya berpakaian saat Lebaran berdasarkan kelas sosial. Kalangan priyayi dan bangsawan cenderung mengenakan pakaian terbaik mereka, bahkan mengadopsi elemen-elemen mode Eropa. Sementara itu, pilihan rakyat biasa lebih terbatas. Mereka biasanya mengikuti mode lokal atau pengaruh dari budaya Arab dan India.
Pada masa Jepang, meski mendapatkan kesulitan ekonomi, pemerintah memberikan bantuan pakaian-pakaian bekas menyambut hari Lebaran, seperti dilaporkan Soeara M.I.A.I Nomor Lebaran pada 1 Syawal 1362 atau 1 Oktober 1943:
“Sekalipoen dalam masa perang ini amat soekar mendapat bahan2 pakaian itoe, tetapi dengan kebidjaksanaanja, bahan-bahan itoe dibagi-bagikan kepada ra’jat ketjil jang tentoeja tidak akan koeasa mendapatkannja.”
Ini sekali lagi menegaskan bahwa tradisi ini, bahkan di masa kolonial, masih mencerminkan struktur sosial yang ada.
Signifikansi Sosial dan Budaya
Dari perspektif agama Islam, anjuran untuk mengenakan pakaian terbaik saat Idulfitri menjadi salah satu landasan bagi tradisi memakai baju baru. Nabi Muhammad saw. menganjurkan umatnya tampil rapi dan bersih, bahkan mengenakan pakaian terbaik yang dimiliki, saat Lebaran.
Salah satu hadis yang diriwayatkan Al-Hakim menyebut bahwa cucu Nabi, Hasan bin Ali, mengatakan:
“Pada setiap hari raya [Idulfitri], Rasulullah saw. menyuruh kami agar mengenakan pakaian terbaik yang kami miliki, memakai minyak wangi terbaik yang kami punya, dan menyembelih kurban hewan termahal yang mampu kami sediakan.”
Meskipun hadis tersebut tidak secara eksplisit mewajibkan pembelian baju baru, interpretasi terhadap frasa pakaian terbaik sering kali dikaitkan dengan pakaian baru, bersih, dan paling layak. Pada dasarnya, pandangan agama menekankan bahwa yang terpenting adalah kebersihan dan kerapian pakaian, bukan semata-mata kebaruannya. Jika seseorang tidak mampu membeli baju baru, mengenakan pakaian lama yang bersih, rapi, dan terbaik yang dimiliki, tetap dianggap sesuai dengan anjuran agama.
Simbolisme dari pakaian yang bersih dan baik sejalan dengan semangat niat untuk memperbarui dan menyucikan diri setelah menjalani ibadah puasa Ramadhan. Mengenakan baju baru di hari kemenangan juga menjadi cara untuk mengekspresikan kegembiraan, merayakan keberhasilan dalam menahan diri selama Ramadhan, dan turut memeriahkan suasana perayaan.
Selain itu, tradisi mengenakan baju baru memiliki dimensi sosial. Pada masa lalu, kemampuan untuk membeli baju baru lebih terbatas dan menjadi penanda status sosial. Meskipun di era modern akses terhadap pakaian baru lebih luas, tradisi ini masih dapat membawa konotasi sosial tertentu.
Kiwari, dalam banyak keluarga, terutama di Indonesia, terdapat kebiasaan untuk mengenakan pakaian yang serupa atau seragam saat Lebaran. Praktik ini memperkuat rasa solidaritas, kebersamaan, dan identitas komunal dalam keluarga dan masyarakat saat merayakan hari raya.
Tradisi memakai baju baru saat Lebaran bukan hanya sekadar masalah penampilan, tetapi juga sarat dengan makna simbolis, ekspresi kegembiraan, dan penguatan ikatan sosial.
Perspektif Alternatif dan Perdebatan
Di era modern, tradisi membeli baju Lebaran makin berkembang seiring dengan pesatnya industri fesyen dan budaya konsumerisme. Pusat-pusat perbelanjaan menawarkan berbagai promosi besar-besaran menjelang Lebaran, menarik minat banyak orang untuk berbelanja pakaian baru.
Busana muslim, seperti gamis, koko, hijab, dan aksesori pelengkap lainnya, menjadi incaran utama konsumen. Selain itu, berbagai promosi dan diskon besar yang ditawarkan oleh niaga-el makin menarik minat masyarakat untuk berbelanja lebih awal.
Salah satu dampak signifikan dari tradisi ini adalah peningkatan penawaran, yang kemudian berpengaruh pada penambahan jumlah produksi busana muslim untuk memenuhi permintaan yang melambung tinggi.
Studi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menunjukkan, industri fashion halal di Indonesia mengalami peningkatan permintaan hingga 200-300 persen menjelang Lebaran. Kelompok milenial muslim menjadi salah satu konsumen terbesar dari produk pakaian modis.
Tren mode yang terus berubah juga mendorong masyarakat untuk membeli pakaian yang sesuai dengan perkembangan terkini. Belum lagi peran pemengaruh yang sedemikian besar di media sosial. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh budaya konsumsi dalam membentuk dan mempertahankan tradisi membeli baju baru Lebaran di Indonesia.
Dampak ekonomi yang ditimbulkan pun cukup luas. Permintaan akan pakaian meningkat drastis menjelang hari raya, memberikan keuntungan besar bagi industri tekstil dan ritel. Banyak pedagang pakaian yang omzetnya meningkat pesat pada periode ini.
Selain itu, bagi sebagian keluarga, membeli baju baru untuk anak-anak menjadi prioritas utama. Bukan hanya untuk memenuhi keinginan, tetapi juga sebagai bentuk kasih sayang dan upaya membahagiakan anak-anak di hari yang istimewa.
Meskipun demikian, tidak sedikit pula yang memilih mengenakan pakaian yang sudah ada. Artinya, tradisi ini tidaklah bersifat kaku dan terikat, melainkan lebih fleksibel.
Tidak Ada Kewajiban Membeli Baju Baru Lebaran
Tradisi memakai baju baru saat Lebaran lantas melahirkan perspektif alternatif dan perdebatan mengenai urgensi dan dampaknya.
Dari sudut pandang agama, seperti yang telah disebutkan, anjuran utamanya adalah mengenakan pakaian terbaik yang dimiliki, tidak selalu berarti harus baru. Ini memberikan ruang bagi orang-orang yang tidak mampu membeli baju baru agar tetap dapat merayakan Lebaran dengan khidmat.
Selain itu, muncul pula perdebatan mengenai aspek ekonomi dari tradisi tersebut. Bagi sebagian orang, tekanan sosial untuk membeli baju baru dapat menjadi beban finansial, terutama bagi keluarga dengan ekonomi terbatas.
Tradisi yang awalnya mungkin bertujuan baik, jika tidak disikapi dengan bijak, dapat menimbulkan kesulitan ekonomi bagi sebagian masyarakat. Lebih lanjut, dengan meningkatnya kesadaran akan isu keberlanjutan, muncul pula kritik terhadap konsumerisme berlebihan yang seringkali menyertai tradisi ini.
Studi dari Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sosial mengeksplorasi budaya konsumsi baju Lebaran di Desa Jubung, Sukorambi, Jember. Para peneliti menemukan bahwa tradisi membeli baju baru hari raya berkaitan dengan gaya hidup konsumtif masyarakat muslim di Indonesia. Faktor yang memengaruhinya beragam, mulai dari perilaku konsumtif, tekanan sosial, dominasi budaya visual, hingga citra diri yang diperoleh dari kepemilikan pakaian baru.
Perilaku konsumtif menjelang Lebaran tidak hanya bertujuan memenuhi kebutuhan praktis, tetapi juga menjadi bentuk pengukuhan struktur sosial dan pernyataan identitas. Namun, orang-orang sering kali mengalihkan fokus dari esensi spiritual Lebaran yang seharusnya introspektif dan solidaritas.
Industri fesyen, terutama dengan konsep fast fashion, memiliki dampak lingkungan yang besar. Oleh karena itu, beberapa orang mulai mempertimbangkan alternatif yang lebih berkelanjutan, seperti mengenakan pakaian lama yang masih layak, melakukan upcycling pakaian, atau membeli pakaian bekas berkualitas.
Terlepas dari berbagai perspektif, tradisi memakai baju baru saat Lebaran tetap menjadi bagian penting dari perayaan Idulfitri di Indonesia. Hal itu mencerminkan perpaduan antara nilai-nilai agama, budaya, dan dinamika sosial ekonomi masyarakat.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi