Menuju konten utama
Pamer Kemewahan

Mengungkap Dorongan di Balik Obsesi Konsumsi Barang-Barang Mewah

Kenapa ada orang yang mau membeli aksesoris tas tangan seharga satu unit rumah? Apa saja faktor yang memengaruhi minat terhadap konsumsi komoditas mewah?

Mengungkap Dorongan di Balik Obsesi Konsumsi Barang-Barang Mewah
Tas tangan "Himalaya Niloticus Crocodile Diamond Birkin 30" produksi Hermès sedang dilelang di acara Heritage Actions di Beverly Hills, California pada 22 September 2014. ANTARA FOTO/REUTERS/Mario Anzuoni

tirto.id - Menurut banyak pekerja Indonesia dengan rata-rata upah gaji Rp3 juta per bulan, membeli tas Louis Vuitton atau jam tangan Rolex yang harganya setara dengan jumlah uang muka rumah (atau bahkan satu unit rumah di pinggiran Jakarta) jelas terdengar seperti keputusan irasional dan absurd. Di sisi lain, tindakan tersebut wajar saja di otak kaum berduit—seperti pengusaha sukses, artis terkenal, atau influencer papan atas, termasuk yang baru-baru ini beritanya membuat kita semua muak: keluarga pejabat yang terindikasi melakukan korupsi.

Apa yang sebenarnya mendorong orang untuk membeli komoditas tersier tersebut? Kenapa membeli barang bernilai fantastis meskipun fungsi yang sama bisa ditemukan pada produk dengan harga lebih manusiawi?

Mungkinkah mereka membeli barang mahal karena sekadar merasa bisa melakukannya—dalam rangka mengatasi stres, misalnya, seperti seorang bintang televisi yang mengklaim bahwa kepalanya pusing apabila tidak menggelontorkan duit untuk beli tas tangan berwarna merah muda produksi Hermès. Ataukah konsumsi barang-barang mewah dilakukan untuk pencitraan agar terlihat “berbeda” alias lebih keren dari kebanyakan orang?

Pertanyaan seputar motif dan dorongan di balik obsesi manusia terhadap gemerlap komoditas mewah sebenarnya sudah berusaha dijawab oleh banyak pakar sedari lama. Salah satu studi tentang konsumerisme yang dianggap terobosan berpengaruh pada zamannya dilakukan oleh ekonom-sosiolog Thorstein Veblen.

Dalam The Theory of The Leisure Class (1899), Veblen menyorot perilaku bermewah-mewah yang lazim ditemui pada kalangan elite di Amerika Serikat pada era Victoria. Sesuai konteks satu abad silam, “kelas penikmat” ini punya karakteristik ekonomi non-industrial alias tidak perlu banting tulang seperti kelas pekerja yang berpeluh keringat memetik hasil panen kebun di bawah terik matahari atau menggali dalam gelap lubang tambang agar bisa makan sehari-hari.

Seiring diberkahi dengan aset dan kekayaan turun-temurun dari buyutnya, kalangan jetset ini diasosiasikan dengan gaya hidup conspicuous consumption atau 'konsumsi yang mencolok', yaitu aktivitas menghambur-hamburkan uang untuk membeli barang mahal tanpa manfaat praktis atau punya fungsi sama dengan barang lain dengan harga lebih terjangkau.

Biasanya, orang-orang kaya kala itu pamer kemewahan dengan memakai alat makan dari perak, mengenakan ragam jenis pakaian dari material langka, atau menikmati aktivitas olahraga (ya, zaman dulu cuma orang kaya saja yang punya privilese untuk berolahraga).

Bagi kalangan kelas penikmat, kata Velben, konsumsi kemewahan yang mencolok itu semua adalah “sarana reputasi”. Melalui kepemilikan material dan pamer harta itulah orang-orang kaya bisa mendapatkan pengakuan dari masyarakat sekitar dan status sosial lebih tinggi.

Identitas Diri, Tameng Pelindung Relasi

Konsumsi barang-barang barang mewah tidak hanya berkaitan dengan pengakuan publik dan status sosial di masyarakat. Dalam studi yang terbit di Journal of Brand Management (2004), Franck Vigneron dan Lester Johnson menjelaskan bahwa sikap tersebut berhubungan erat dengan identitas diri dan kepuasan pribadi.

Melalui kepemilikan barang luks, konsumen ingin menyisipkan makna simbolis produk tersebut pada identitas diri mereka. Sebagai contoh, apabila seseorang berhasil membeli tas tangan Hermès tipe Birkin (yang saking langkanya sampai ada yang dihargai Rp6,6 miliar) bukan tidak mungkin ia mengasosiasikan tas tersebut sebagai perpanjangan dari identitas dirinya yang sukses, atau paling sukses, di lingkaran sosialnya.

Masih melansir Vigneron dan Johnson, konsumsi barang mewah bisa didorong pula oleh keinginan seseorang untuk mendapatkan self-reward dan memenuhi hasrat pribadi yang bisa memberikan manfaat emosional seperti rasa puas, bahagia, dan kesenangan lainnya. Fungsi praktis produk pun jadi pertimbangan yang kesekian saat membeli.

Seiring perkembangan zaman dan perubahan pola perilaku konsumen, riset seputar dorongan konsumsi barang mewah semakin beragam dan menjangkau demografi lebih spesifik.

Dalam studi di Journal of Consumer Research (2013), Yajin Wang dan Vladas Griskevicius membahas motivasi konsumsi barang mewah di kalangan perempuan dan fungsi aksesori mewah sebagai sarana untuk mengomunikasikan status hubungan mereka.

Dalam satu eksperimen, Wang dan Griskevicius meminta responden perempuan untuk membayangkan pergi ke acara pesta bersama dengan kekasihnya. Pada kesempatan itu, mereka juga diminta berandai-andai sedang memakai pakaian buatan desainer dan perhiasan mewah. Hasilnya, lebih dari separuh responden percaya bahwa produk-produk bermerek yang dikenakannya merupakan sinyal untuk menunjukkan kepada perempuan-perempuan lain di lokasi acara bahwa kekasih mereka sangat cinta dan setia. Dalam survei berikutnya, responden pun memandang perempuan dengan koleksi barang-barang bermerek memiliki pasangan laki-laki yang sangat mencintainya.

Eksperimen lain menunjukkan, ketika responden merasa relasi romantisnya terancam (skenario: pasangan laki-lakinya didekati atau digoda wanita lain), mereka cenderung mendambakan aksesori mewah yang harganya lebih mahal. Minat terhadap aksesori dengan simbol atau logo merek berukuran lebih besar dan mencolok juga bisa didorong oleh keinginan responden untuk menjaga kekasihnya agar tidak direbut orang lain.

Apabila ditarik kesimpulan besarnya, motivasi perempuan memakai tas buatan desainer dan perhiasan mewah bisa dikaitkan dengan fungsi sebagai tameng untuk menghalangi orang lain agar tidak mendekati atau merebut kekasihnya—yang diasumsikan sudah membelikan aksesoris mewah itu semua, dan otomatis terlihat sangat mencintai pasangannya.

Dipengaruhi Kepribadian sampai Preferensi Politik

Dorongan memiliki produk mewah ternyata dipengaruhi pula oleh faktor-faktor yang mungkin terdengar sepele. Tahun 2017, tim peneliti dari University College London mengulas tentang kepribadian intraversi-ekstraversi sebagai faktor yang ikut memengaruhi seseorang untuk mengonsumsi barang mewah.

Penelitian ini melibatkan 718 nasabah bank di Inggris yang, sesuai hasil pengisian kuesioner, dikelompokkan dalam dua kategori kepribadian: introvert dan ekstrovert. Hasilnya, responden berkepribadian ekstrovert dengan penghasilan rendah cenderung mengalokasikan anggaran lebih besar untuk membeli barang-barang mewah yang dianggap bisa mencerminkan status sosial lebih tinggi.

Temuan tersebut sejalan dengan penelitian di masa lalu yang menyebut orang dengan kepribadian ekstraversi—lebih banyak bicara, terbuka, energik, berani dan berjiwa sosial—lebih peduli pada status sosialnya daripada orang-orang introvert.

Infografik Dorongan Untuk Tampil mewah

Infografik Dorongan Untuk Tampil mewah. tirto.id/Quita

Konsumsi barang mewah bahkan dipengaruhi oleh ideologi politik, sebagaimana bisa diamati pada publik AS—yang spektrum ideologi politiknya sering disederhanakan jadi dua: konservatif di kubu Partai Republikan dan yang relatif lebih luwes atau liberal di sisi Partai Demokrat.

Menurut studi American Marketing Association yang diterbitkan di Journal of Marketing (2018), konsumen dengan latar belakang politik konservatif ternyata lebih empuk untuk dijadikan target pemasaran produk mewah. Berdasarkan pengamatan pada 21 ribu pembeli mobil di penjuru AS, terungkap bahwa konsumen Republikan dengan status sosial tinggi (ditentukan berdasarkan nilai gaji dan latar belakang pendidikan) mempunyai kecenderungan 9,8 persen lebih besar untuk membeli mobil mewah dibandingkan responden Demokrat yang sama-sama punya status sosial tinggi.

Selain itu, apabila konsumen Demokrat berstatus tinggi menghabiskan rata-rata 29 ribu dolar (Rp430 juta) untuk beli mobil, pada kalangan Republikan rata-ratanya mencapai 33 ribu dolar (Rp500 juta). Artinya, konsumen konservatif bersedia merogoh kocek 14,45 persen lebih banyak.

Eksperimen lain bersinggungan dengan prinsip yang dipegang kaum konservatif. Responden diperlihatkan pada tiga iklan kacamata hitam dengan bahasa pemasaran berbeda. Hasilnya, kalangan Republikan condong memilih iklan yang mengklaim produknya dapat mempertahankan status sosial mereka alih-alih meningkatkan atau tidak menyinggungnya sama sekali (contoh redaksional: “produk ini dibuat untuk semua orang”).

Berpijak dari temuan di atas, eksperimen berikutnya mengungkap bahwa responden berpandangan politik konservatif garis keras bersedia membayar headphone dengan harga rata-rata 109 dolar—jauh di atas preferensi responden Demokrat seharga rata-rata 65 dolar.

Tim peneliti menyimpulkan, konsumen dari spektrum politik konservatif cenderung berminat pada barang-barang mewah yang dianggap bisa membantu menjaga status sosial mereka—selaras dengan gagasan di spektrum politik konservatif tentang mempertahankan tatanan sosial-ekonomi dan keengganan mengubah hierarki sosial.

(Bersambung...)

Baca juga artikel terkait BARANG MEWAH atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino