tirto.id - Seiring kita bersiap-siap untuk menyambut hati yang bersih, momen Lebaran juga menyentil kita tentang situasi dompet yang mungkin akan ikut “bersih” juga.
Tak bisa dimungkiri, pengeluaran kita membengkak untuk keperluan sepanjang libur Lebaran. Terkadang, anggaran yang digelontorkan tidak bisa diprediksi.
Tengok cerita Ria Damayanti (39).
Tunjangan Hari Raya (THR) yang baru saja Ria terima sudah habis untuk membeli tiket mudik dari Jakarta ke Solo yang harganya melambung tinggi.
"Keperluan lain untuk beli hampers, untuk biaya piknik bersama keluarga, memberi fitrah ponakan. Sudah diperkirakan untuk ponakan inti saja, tetapi ternyata ada ponakan-ponakan dari saudara yang datang ke rumah. Kalau zakat tidak terlalu membebani karena sudah disiapkan," jelas Ria.
"Meski THR habis, hati senang bisa berbagi dan berkumpul bersama keluarga setahun sekali. Walaupun agak menyesal saat tahu uang habis, tapi momen seperti ini tak mungkin terulang lagi," imbuhnya.
Menurut perencana keuangan bersertifikasi, Metta Anggriani, CFP, bukan kejadian langka ketika THR habis untuk keperluan hari raya baik untuk diri sendiri dan keluarga.
"Seyogyanya THR memang untuk membiayai kebutuhan Lebaran, mulai dari tiket mudik, baju baru, biaya hampers, termasuk ZIS (Zakat, Infaq, Sedekah). Kalau THR habis untuk hal-hal ini, tentu wajar,” ujar Metta.
“Yang tidak wajar adalah bila THR kurang, alias jadi berutang—karena pengeluaran Lebaran sebenarnya bukan pengeluaran wajib, yang wajib hanya zakat," tegasnya lagi.
Metta menambahkan, "Bagusnya, apabila masih ada sisa THR, ditabung. Apalagi dengan kondisi ekonomi yang sekarang serba tidak pasti.”
“Namun, sekali lagi, jika THR sudah habis untuk keperluan keluarga, itu wajar," ujar founder layanan pengelolaan keuangan Daya Uang ini.
Sudah menjadi kebiasaan pula di masyarakat kita untuk saling mengirimkan hampers kepada keluarga atau kolega—praktik yang tentu membutuhkan biaya.
Metta berpendapat, mengirim hampers merupakan langkah yang baik untuk menunjukkan perhatian dan menjaga relasi dengan keluarga, teman, kerabat, atau kolega.
"Namun ini bukan hal yang wajib, sehingga harus disesuaikan dengan kemampuan. Apabila ada dana, sangat boleh mengirimkan hampers. Namun apabila dana terbatas, sesuaikan pilihan dan jumlah hampers dengan budget,” saran Metta.
Dalam kondisi keuangan yang terbatas, Metta menyarankan untuk memberikan hampers berupa kerajinan tangan buatan sendiri (DIY) atau kartu ucapan digital.
“Kalau menerima hampers namun tidak mampu membalasnya, pastikan kita menyampaikan rasa terima kasih dan doa yang tulus secara langsung. Mungkin di lain waktu kita bisa membalasnya saat keuangan sudah membaik," terangnya lagi.
Menurut Metta, Ramadhan idealnya menjadi bulan untuk berpuasa, bersabar, menahan diri dan nafsu.
Di sisi lain, Ramadhan adalah momentum untuk lebih banyak berbagi kepada sesama dan keluarga, sehingga tidak mengherankan apabila kita cenderung memiliki pengeluaran lebih besar daripada bulan-bulan lainnya.
Metta mengingatkan, “Kita Lebaran sekitar akhir Maret—pas baru gajian. Dua minggu sebelumnya, kita terima THR. Libur dan cuti bersama hingga awal April. Ingat, gajian berikutnya masih tiga minggu lagi!”
“Setelah Lebaran, kita memang kembali fitri. Bagaimana dengan dompetmu? Mulai dari nol? Asal jangan minus ya!" kelakar Metta.
Maka dari itu, dalam rangka menyambut Lebaran, penting untuk melakukan financial check up.
Kamu bisa melakukannya sendiri maupun dibantu oleh perencana keuangan.
"Financial check up setelah Lebaran sangat penting untuk memastikan bahwa semua pengeluaran sudah tercatat dan tersedia uang untuk dapat kembali ke pola belanja semula," jelas Metta.
Metta menganalogikan financial check up seperti serangkaian tes untuk menilai kondisi kesehatan keuangan kita.
"Caranya adalah dengan membuat catatan keuangan dan melakukan analisa atau perbandingan angka-angka keuangan tersebut untuk menilai kewajarannya," tutur Metta.
Setidaknya terdapat dua unsur penting dalam pencatatan keuangan.
Pertama adalah arus kas, yaitu catatan penghasilan dan pengeluaran harian kita untuk periode tertentu. Ini bisa dilakukan setiap bulan.
Arus kas memungkinkan kita untuk mengetahui apakah pengeluaran lebih besar daripada penghasilan, ataukah masih ada sisa uang setiap bulan.
Kita pun akan tahu seberapa rutin dapat menabung setiap bulan. Saving ratio itu sendiri idealnya adalah 10 persen dari penghasilan. Lebih besar lebih baik.
Selain itu, arus kas membantu kita mengetahui jumlah pengeluaran, termasuk Debt Service Ratio (DSR).
DSR yang aman maksimal sebesar 30 persen. Maksudnya, jumlah cicilan (dari semua utang) maksimal 30 persen dari penghasilan.
Pada akhirnya, arus kas juga dapat menjadi pengingat tentang pola konsumsi dan gaya hidup kita sehari-hari—berapa persen uang yang kita alokasikan untuk kebutuhan, berapa persen untuk bersenang-senang.
Unsur kedua yang tak kalah pentingnya dalam pencatatan keuangan adalah neraca.
Neraca merupakan catatan jumlah aset (harta) dan utang kita pada waktu tertentu. Tujuannya untuk membantu kita melihat likuiditas.
Likuiditas merujuk pada persentase jumlah aset likuid dibandingkan total aset dan porsi hutang terhadap aset atau Debt to Asset Ratio (DAR). Umumnya, DAR yang baik berada di kisaran 50 persen, atau total utang tidak melebihi 50 persen dari total aset.
Saat ini, daya beli masyarakat Indonesia dilaporkan sedang turun.
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, pada Februari 2025 terjadi deflasi year on year sebesar 0,09 persen.
Selain itu, Survei Konsumen Februari 2025 dari Bank Indonesia mengungkap bahwa proporsi tabungan masyarakat sekarang menjadi di tingkat terendah (14,7 persen) sejak masa pandemi COVID-19 pada Desember 2021 lalu (14,1 persen).
Padahal, menjelang Ramadhan, masyarakat cenderung banyak aktivitas konsumsi dengan membelanjakan uangnya.
Pada situasi seperti ini, Metta menyarankan agar kita lebih berhati-hati untuk mengeluarkan uang (spending money).
Bagaimana jika kamu tetap ingin berinvestasi?
Terkait hal ini, Metta berpendapat, "Di tengah ketidakpastian, cari yang memberi kepastian. Paling baik investasi konservatif dalam bentuk deposito, obligasi, atau emas dengan tujuan untuk menjaga kekayaan (wealth preservation).”
“Apabila kondisi ekonomi sudah membaik, kita bisa berinvestasi dengan tujuan lebih agresif untuk mengembangkan kekayaan (wealth accummulation) dengan instrumen seperti saham atau properti," pungkasnya.
Kamu sepakat dengan Metta?
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih