tirto.id - Rebecca Bloomwood tak bisa mengalihkan matanya dari sebuah scarf hijau nan cantik. Ia ingin memberikan penampilan terbaiknya saat wawancara kerja. Sempat ragu-ragu, Rebecca akhirnya membeli scarf seharga 120 dolar itu. “Ini akan menjadi sebuah investasi.”
Padahal ia sedang tak punya uang, tagihan kreditnya sedang membengkak. Namun, scarf hijau itu begitu menyilaukan pandangan matanya. “Scarf ini akan membuat matamu lebih besar,” bisik sang penggoda. Scarf cantik itu akhirnya dibawanya ke kasir. Rebecca membayarnya dengan 50 dolar tunai, dan sisanya dibayar dengan sisa-sisa jatah di empat kartu kreditnya. Malang, kartu kredit terakhirnya ditolak. Ia lari ke tukang hotdog dengan harapan bisa mendapatkan cash back sehingga bisa membayar scarf itu. Ia berbohong harus membeli scarf untuk bibinya yang sedang sakit. Sang penjual menolak meski ia mengiming-imingi akan memborong semua hotdog jualannya.
Seorang pria tampan yang merasa terganggu karena antreannya diserobot akhirnya memberinya pinjaman uang. Si Pria itu adalah pemilik perusahaan di mana Rebecca melamar. Ia lantas tahu, bahwa Rebecca menipu karena memakai scarf itu ketika wawancara kerja. Kegilaan belanja, kegemaran berutang, dan konsumerisme berlebih membuat hidup Rebecca berantakan. Ia kehilangan pekerjaan, pacar, dan sahabatnya karena kegilaannya belanja. Itulah penggalan film Confessionsof a Shopaholic, tentang mereka yang gila belanja untuk tampil gaya, meski harus berutang, berbohong, atau menipu.
Kita boleh berdebat bahwa itu sekadar fiksi, cerita, dan mustahil ada orang-orang yang demikian di dunia nyata. Tapi di banyak negara, termasuk Indonesia peristiwa semacam ini banyak dan kerap terjadi. Hal ini terutama terjadi pada kelas menengah di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Riset Share of Wallet yang dilakukan Kadence International-Indonesia pada 2013 lalu menunjukkan, 28 persen masyarakat kelas menengah di Indonesia mengalami defisit penghasilan karena utang yang digunakan untuk konsumerisme.
Dalam riset itu disebutkan, mereka yang memiliki pendapatan Rp4,3 juta per bulan memiliki pengeluaran hingga Rp5,8 juta, atau defisit Rp1,5 juta. Apa yang menjadi alasan? Kelas menengah ini memiliki kecenderungan ingin menaikkan status dan tampil menjadi upper class. Caranya dengan meminjam uang dan utang agar bisa membeli barang yang dapat menaikkan status sosial mereka. Cara sederhana yang bisa dilakukan adalah dengan membeli barang-barang terkini. Misalnya ponsel keluaran terbaru atau tren busana terkini.
Survey Kadence juga membagi kelas menengah di Indonesia menjadi empat kelompok. Pertama Deep Pockets, yaitu mereka yang menabung lebih dari Rp2 juta sebulan atau mereka yang menabung 49 persen penghasilan bulanan mereka untuk masa depan. Lalu kelompok Pragmatic, mereka yang menabung Rp1 - 2 juta per bulan atau mereka yang menyisihkan 28 persen penghasilannya untuk tabungan. On Edge adalah mereka yang menabung Rp100 ribu hingga Rp1 juta per bulan atau rata-rata 10 persen dari penghasilan bulanannya untuk tabungan. Terakhir, kelompok kelas menengah Broke, yakni yang pengeluarannya lebih daripada pendapatannya, sehingga penghasilan defisit 35 persen daripada penghasilannya.
Apa alasan yang mendasari seseorang memilih hidup dalam lilitan utang demi sekadar gaya? Dalam buku Posmodernisme dan Budaya Konsumen susunan Mike Featherstone, disebutkan bahwa manusia tidak sekadar hidup. Mereka memikirkan bagaimana konsumsi dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Dalam hal ini, tubuh, busana, bicara, hiburan saat waktu luang, pilihan makanan dan minuman, rumah, kendaraan, dan pilihan hiburan, dan seterusnya dipandang sebagai indikator dari individualitas selera serta rasa gaya dari pemilik. Semakin tinggi selera, maka ia semakin bonafide, keren, dan segala citra kelas atas yang menyertainya akan ikut menempel pada si konsumen.
Konsumerisme kerap kali menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang. Mereka yang merasa mampu, mapan, dan sukses akan membeli barang-barang non kebutuhan dasar yang dianggap mengangkat citra sosial mereka. Sayangnya, beberapa kelas menengah menganggap gaya hidup ini adalah sebuah kewajiban, untuk menunjukkan status sosial. Semakin parlente, semakin modis, semakin kekinian, maka ia semakin sukses, peduli setan dengan utang yang menumpuk.
Salut Muhidin, dosen demografi di Faculty of Business and Economics, Macquarie University, Australia, menggambarkan dengan sinis bagaimana kelas menengah di Indonesia. Dalam artikel yang berjudul “Don’t care how, I want it now! Who are kelas menengah ngehe – the awful middle class?”, Salut menjelaskan fenomena bergesernya kebutuhan manusia, terutama pada kelas menengah. Mereka, kata Salut, mengejar kebutuhan akan kemewahan, prestis, memiliki barang bermerek, dan hiburan global. Semua ini kerap dipenuhi tanpa memedulikan kemampuan finansial mereka.
Sebelumnya tirto.id telah menurunkan artikel tentang konsumsi kelas menengah selama bulan Ramadan. Ada kecenderungan di bulan Ramadan, konsumsi naik dalam hal makanan dan juga belanja menjelang lebaran. Selama periode hari raya, responden yang ikut serta dalam riset tirto.id menyatakan akan mengeluarkan uang hingga mencapai dua hingga lima juta rupiah untuk kebutuhan lebaran. Seperti makanan, pakaian dan angpau. Tapi ini tidak cukup menjadi dasar bahwa kelas menengah gemar berutang untuk gaya hidup mereka.
Pada 2015, Middle Class Institute (MCI), SWA dan Inventure menyelenggarakan Middle Class Consumer Survey. Dari survei tersebut diketahui bahwa ada keunikan perilaku kelas menengah Indonesia terkait waktu luang dan persepsi liburan. Menggunakan metodologi Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan jumlah responden 2.277 orang, sebanyak 77 persen peserta mengatakan pergi belanja ke mal adalah bentuk liburan dan belanja adalah salah satu kegiatan bersenang-senang yang paling disukai.
Apa indikator lain yang bisa menunjukan konsumerisme dan kegemaran berutang di kalangan kelas menengah? Dari data transaksi belanja menggunakan kartu, sejak 2009 hingga 2015, nilai transaksi belanja menggunakan kartu kredit selalu lebih tinggi dibandingkan penggunaan kartu debit. Hal ini bisa menjadi pendukung bahwa masyarakat Indonesia gemar berutang untuk menunjang gaya hidupnya. Pada 2009, angka belanja dari kartu debit mencapai 56,17 triliun rupiah, sementara belanja menggunakan kartu kredit sebesar 132,65 triliun rupiah.
McKinsey Global Institute pada 2014 menyebut bahwa setiap tahun Indonesia menghasilkan lima juta kelompok masyarakat konsumtif urban. Saat ini, ada 70 juta kelas menengah urban yang konsumtif. Dari angka itu, hanya 10 persen dari populasi kelas menengah tadi yang melek teknologi digital belanja secara online. Diperkirakan dengan peningkatan belanja sebesar 7,7 persen setiap tahun, pada 2030 belanja yang dihasilkan kelas menengah di Indonesia akan mencapai satu triliun dolar.
McKinsey juga menyebutkan bahwa fenomena konsumerisme ini tidak hanya menjangkiti kelas menengah yang ada di kota besar. Dalam riset tersebut ada pola yang menunjukkan kota-kota satelit di sekitar kota besar seperti Gresik di Jawa Timur yang dekat dengan Surabaya juga mengalami kenaikan konsumerisme. Pemahaman akan merek, gaya hidup urban, dan juga keterpaparan internet membentuk selera di masyarakat suburban.
Fenomena semacam ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Gayatri Jayaraman menggambarkan fenomen serupa di India. Kaum miskin urban yang lapar dan bokek karena lebih memilih tekanan sosial daripada hidup wajar. Mereka yang menghabiskan hampir seluruh gajinya demi gaya hidup dan penampilan yang mereka yakini berpengaruh pada pekerjaan mereka. Beban gaya hidup ini tidak bisa dicoret dari daftar pengeluaran mereka: baju-baju dan perawatan tubuh, kongkow dan makan malam di tempat mewah, biaya transport naik Uber.
Ah kelas menengah. Biar kere yang penting kece.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti