tirto.id - Memilih bergaya hidup glamor ternyata tak hanya berpotensi dilakukan oleh kalangan selebriti. Masyarakat kebanyakan juga bisa melakukannya. Psikolog Adityana Kasandra Putrato menyebutnya sebagai psikodinamika kepribadian.
“Jadi selalu ingin menonjolkan diri. Ada unsur exibisionis juga,” kata finalis None Jakarta tahun 1989 itu kepada tirto.id, pada Rabu (3/8/2016). Psikodinamika kepribadian ternyata berpotensi menimbulkan masalah-masalah baru bagi pelakunya. Apa saja? Berikut wawancaranya reporter tirto.id Dieqy Hasbi Widhana dengan Adityana Kasandra Putranto.
Bagaimana Anda melihat fenomena para artis yang bergaya hidup glamor, meski mungkin realitanya berkata lain?
Memang ada orang-orang tertentu yang justru punya kebutuhan untuk menujukkan sesuatu kepada orang. Sesuatu yang kemudian ditonjol-tonjolkan. Padahal kalau memang orang berpunya, kebanyakan malah tidak mau menyombongkan diri.
Secara psikologis apakah bisa disebut sebagai gangguan jiwa?
Enggak ada penyakit yang terkait dengan hal seperti itu. Hanya psikodinamika kepribadian saja. Memang banyak terjadi, fenomena di mana seseorang ingin menampilkan kehidupan yang glamor. Tapi saya kira tidak pada artis saja. Lebih tergantung pada karakter kepribadian seseorang.
Kenapa bisa muncul efek psikodinamika?
Terjadi pada orang yang menganggap kepribadian dan image itu perlu ditonjolkan. Jadi selalu ingin menonjolkan diri. Ada unsur exibisionis juga. Jangankan artis, pejabat, karyawan, asisten rumah tangga, juga ada yang seperti itu. Punya duit atau tidak, orang tersebut selalu ingin menonjolkan diri. Ingin memunculkan image yang berbeda. Saya kira bukan karena profesinya, tapi lebih karena karakter psikologisnya yang berbeda dengan orang kebanyakan.
Apa ada dampak dengan berpola hidup seperti itu?
Pasti ada dampaknya. Nantinya dia akan terjebak di dalam gaya hidup semacam itu. Jadi keterusan. Akhirnya membuat dia terus mencari. Sebab terlalu memaksakan diri, akibatnya bisa terlilit utang atau terlibat masalah dengan pasangan. Karena kalau orang berpasangan, suami atau isterinya bisa saja tidak suka. Begitu juga anggota keluarga lainnya tidak suka. Akhirnya bukan hanya duit, pasangan juga akan melayang karena gaya hidupnya tidak sesuai.
Bagaimana agar tak terjebak pada pola hidup semacam itu?
Dunia ini makin susah, makin kacau. Hal yang jelas, segala hal di dunia ini banyak memberikan tekanan-tekanan. Jika menggunakan hukum Newton fisika, tekanan itu disebabkan karena gaya. Makanya hidup itu jangan banyak gaya, biar tidak banyak tekanan.
Tidak usah banyak gaya karena akan menimbulkan beban. Banyak orang yang tidak bisa menerima ketika ada tekanan. Tergantung egonya. Kalau egonya ternyata mudah panas, akan terulang lagi dan lagi.
Apakah benar bahwa menunjukkan pola hidup glamor terkait erat dengan bayaran dan popularitas?
Bisa jadi. Karena itu image atau pencitraan. Kadang-kadang dalam bisnis juga demikian. Misalnya ada orang-orang tertentu yang ingin mendapatkan proyek, dia harus membawa mobil yang keren. Gunanya untuk menunjukkan bahwa dia bonafid dan bisnisnya besar. Di satu sisi, ada yang justru untuk menujukkan kredibilitas. Sepanjang tidak untuk menipu, hal seperti itu masih bolehlah. Jadi tergantung derajatnya saja.
Maksud Anda, sekali lagi tidak hanya terjadi pada selebriti?
Memang biasanya dilakukan para artis, businessman atau business woman. Kalau kalangan pemerintah kan sudah tidak boleh. Dulu mungkin begitu. Tapi di masa Presiden Jokowi tidak boleh. Kalau pejabat menujukkan kemewahan, dia justru malu. Tapi ini budaya yang baru ditanamkan Pak Jokowi. Sebelumnya kan tida seperti itu. Sebelumnya dibebaskan. Cenderung ke arah liberal. Kalau sekarang, budayanya justru pejabat pemerintah yang tidak menunjukkan prestasi yang malah malu. Ini kan masalah bagaimana kita menanamkan nilai-nilai moral saja.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti