Menuju konten utama

Konsumerisme Puasa

Bulan puasa semestinya menjadi bulan untuk menahan diri dari segala godaan duniawi. Menariknya, saat ramadan juga menjadi waktu di mana tingkat konsumsi masyarakat naik signifikan. Setidaknya menurut Bank Indonesia selama sembilan tahun terakhir pertumbuhan uang yang beredar di masyarakat pada periode Ramadan-Idul Fitri selalu meningkat 14 persen setiap tahunnya. Untuk apakah sebenarnya uang sebanyak itu?

Konsumerisme Puasa
Warga memilih aneka makanan untuk berbuka puasa di pasar takjil Benhil, Jakarta. Antara foto/Yudhi Mahatma

tirto.id - “Berbukalah dengan yang sayang, kalau sekedar manis tapi enggak sayang, buat apa? Nanti ditinggal juga.” Kelakar ini boleh jadi sudah kepalang sering anda dengar, mungkin pada awalnya ia lucu, tetapi pelan-pelan jadi sedemikian membosankan dan anda hanya bisa tersenyum getir membaca lelucon itu. Belakangan berbuka bukan soal yang manis atau yang sayang, tapi berbuka bersama siapa dan di mana, menjadi persoalan pelik.

Dunia sebenarnya lebih indah ketika perkara makan hanya perihal ada atau tidak. Sayangnya, perkara makan itu kini diperumit dengan pertanyaan di mana, kapan, dengan dan siapa. Buka puasa bersama ketika Ramadan bagi beberapa orang bisa sangat merepotkan dan tentu saja mahal. Ketika Ramadan, menjelang berbuka puasa, banyak umat muslim seolah terjebak balas dendam.

Mereka mencari berbagai jenis makanan untuk disantap ketika maghrib berkumandang. Tentu tidak semua, tapi kebanyakan dari mereka merasa perlu makan cemilan jenis-jenis tertentu sebagai pembatal, seperti kurma, gorengan, kue pasar, dan es buah. Setelah itu baru disusul makan besar. Tak jarang usai menjalankan ibadah sunah sholat tarawih kegiatan makan masih dilanjutkan.

Padahal untuk berbuka yang penting adalah keseimbangan gizinya. Pakar gizi Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatera Barat (Sumbar), Prof Nur Indrawati Lipoeto, menyarankan untuk memakan makanan yang bervariasi dan berimbang selama Ramadan agar pola makan sehat tetap terjaga. Seperti yang dikutip via Antara, Prof Nur Indrawati mengatakan bahwa prinsip pola makan yang sehat itu berimbang dan bervariasi. Berimbang artinya antara karbohidrat, protein dan lemak harus dalam proporsi yang baik, sedangkan bervariasi tidak memakan makanan dengan jenis yang sama setiap harinya terutama untuk buah-buahan dan sayur-sayuran.

Ia menerangkan, berimbang artinya karbohidrat yang banyak sekitar 60 persen, lemak seperempat atau 25 persen dan protein 15 persen, tidak boleh lemaknya yang banyak atau proteinnya yang kurang. Ada alasan medis yang menyebutkan mengapa kita diminta untuk berbuka puasa dengan yang manis. Ini dikarenakan ketika berpuasa kadar gula dalam darah rendah karena seharian tidak makan. Ia menjelaskan berlebihan dalam konsumsi makanan justru membuat tubuh tidak sehat selama bulan puasa.

Tapi apakah Ramadan cuma soal makan? Dalam survei mandiri yang dilakukan oleh tirto.id diketahui bahwa konsumsi kelas menengah di Jakarta naik lebih tinggi daripada bulan-bulan yang lain. Dalam penelitian kami melibatkan 353 responden yang berusia mulai dari 16 sampai 30 tahun. Proporsi responden pria sebanyak 44,5 persen dan responden perempuan sebanyak 55,5 persen.

Dari survei itu diketahui bahwa selama bulan Ramadan, mayoritas kaum muda Jakarta (56,4 persen responden) mengeluarkan uang tambahan sebesar Rp 1 juta – Rp 3 juta. Dengan rincian buka bersama/makanan (89,5 persen), membeli pakaian/sepatu (49,7 persen), serta infaq/sedekah (40,2 persen). Baik generasi muda wanita maupun pria di Jakarta menyatakan bahwa buka puasa bersama/makanan merupakan pengeluaran terbesar mereka.

Bulan puasa menjadi kesempatan bagi banyak orang untuk bertemu ketika buka puasa tiba. Beberapa kantor dan pemerintah daerah di Indonesia memberikan keleluasaan dan waktu kerja yang relatif fleksibel. Kemudahaan ini digunakan untuk bertemu dan berjumpa teman dan saudara jauh. Bisa juga untuk reuni dari waktu sekolah/kuliah, silaturahmi sesama perantau, atau sekedar mempererat kebersamaan antar rekan kerja.

Itulah mengapa buka puasa bersama kerap dilakukan dalam frekuensi yang padat. Dalam satu minggu bisa dua sampai tiga kali dengan orang-orang yang berbeda. Lantas berapa besaran uang yang mesti dikeluarkan? Mayoritas warga muda Jakarta mengalokasikasi 10 sampai 20 persen dari pendapatan mereka untuk buka bersama pada bulan ramadan (48,2 persen responden). Ini tentu angka yang cukup besar. Sebelumnya tirto.id pernah menuliskan bahwa 18 persen pengeluaran warga Jakarta dihabiskan untuk transportasi. Artinya, selama Ramadan berlangsung, 28 sampai 38 persen pengeluaran dihabiskan hanya untuk konsumsi saja.

Dari data yang didapat tirto.id diketahui bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang, maka semakin besar pengeluaran yang ia habiskan untuk konsumsi selama bulan ramadan. Misalnya bagi mereka yang memiliki pendapatan di atas Rp 7,5 juta, mayoritas mengalokasikan dana untuk buka puasa sebesar 31 sampai 35 persen dari gaji mereka. Menariknya bagi mereka yang memiliki pendapatan di bawah lima juta rupiah, hanya mengalokasikan dana 10 sampai 20 persen gaji untuk keperluan buka bersama.

Konsumerisme ini tidak hanya berhenti ketika Ramadan berakhir. Selama periode hari raya (idul fitri), 55 persen responden menyatakan akan mengeluarkan uang hingga mencapai Rp 2 juta. Mereka mengalokasikan lebih dari 50 persen pendapatannya pada periode hari raya. Dilihat berdasarkan jenis kelamin, wanita akan mengeluarkan uang lebih banyak dibandingkan pria. Pengeluaran selama idul fitri paling banyak digunakan untuk makanan, lalu uang lebaran, pakaian dan tiket mudik.

Gejala ini selalu terjadi setiap tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya peningkatan terhadap permintaan barang dan jasa sejak menjelang Ramadan sampai setidaknya sepuluh hari setelah Lebaran setiap tahunnya. BPS mencatat peningkatan permintaan secara rata-rata terutama didominasi oleh barang kebutuhan pokok seperti beras, aneka daging, dan aneka bumbu. Peningkatan permintaan didorong oleh kecenderungan budaya konsumtif sesaat sebagai bagian dari semangat perayaan.

Mei lalu Country Industry Head Google Indonesia, Hengky Prihatna, dalam presentasi yang bertajuk “Ramadhan Indonesia: Wawasan dan Rekomendasi” mengungkap pola belanja online saat Ramadhan yaitu kebutuhan dan hiburan. Google melihat adanya peningkatan volume Penelusuran pada lima kategori belanja: pakaian (+29%), travel (+30%), ponsel cerdas (+17%), telekomunikasi (+19%), dan barang elektronik (+24%). Ramadan bagi banyak orang berarti waktu yang tepat untuk berbelanja.

Dalam situs resminya BI memperkirakan kebutuhan uang tunai masyarakat dan perbankan pada Ramadan dan Idul Fitri 1437 Hijriah akan naik 14,5 persen menjadi Rp160,5 triliun dari realisasi penarikan pada periode sama di 2015 sebesar Rp140 triliun. BI menyebarkan pasokan uang tunai tersebut sebanyak 28 persennya di DKI Jakarta, 33 persen di Pulau Jawa, 20 persen di Pulau Sumatera, 7 persen di Kalimantan dan 11 persen di Sulawesi, Maluku, Papua dan Bali serta Nusa Tenggara.

Ini klise. Ramadan semestinya menjadi bulan di mana kita menahan diri dari berbagai godaan, termasuk godaan untuk menjadi konsumtif. Tapi tentu saja godaan bernama diskon, makan bersama, dan tunjangan hari raya membuat kita menjadi buta dan merasa jadi orang paling kaya di dunia. Tidak semua orang memang, tapi kita mesti mengakui, konsumerisme itu lebih menggoda daripada sekadar warteg yang buka ketika siang hari.

Untuk itu mari kita ucapkan, marhaban ya konsumerisme.

Baca juga artikel terkait RAMADAN atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti