tirto.id - Korps Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan terkait kasus dugaan korupsi pengadaan pada pekerjaan konstruksi terintegrasi rekayasa, pengaduan, konstruksi, dan komisioning alias Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC) proyek Pengembangan dan Modernisasi Pabrik Gula Assembagoes Situbondo milik PT Perkebunan Nusantara XI (PTPN XI).
Kepala Kortastipidkor Polri, Irjen Cahyono Wibowo, mengatakan dalam proyek yang telah berlangsung sejak 2016-2022 ini, beberapa jaminan kinerja yang dijanjikan, seperti kapasitas giling, kualitas produk, dan produksi listrik untuk ekspor, gagal dipenuhi.
Padahal, dalam pelaksanaannya, proyek besar tersebut melibatkan uang milik negara dan pinjaman. Dengan pada tahap awal proyek yang merupakan bagian dari program strategis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan anggaran berasal dari penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp650 miliar. Kemudian, pengembangan dan modernisasi Pabrik Gula Assembagoes juga mendapatkan pinjaman senilai lebih dari Rp462 miliar.
"Kami melihat adanya sejumlah penyimpangan yang mengarah pada dugaan pelanggaran hukum yang merugikan keuangan negara. Oleh karena itu, kami akan melanjutkan proses penyidikan dengan fokus pada pencarian bukti-bukti lebih lanjut untuk menetapkan tersangka." ungkap Cahyo dalam keterangan resminya, dikutip Kamis (30/1/2025).
Selama proses pengembangan dan modernisasi Pabrik Gula Assembagoes, ditemukan bahwa kontraktor utama, Kerja Sama Operasi (KSO) Wika-Barata-Multinas, tidak melibatkan pihak yang memiliki keahlian dalam teknologi gula, sehingga menyebabkan kegagalan terhadap target-target yang telah ditentukan. Karenanya, pada 2022, PTPN XI memutuskan kontrak dengan KSO Wika-Barata-Multinas meski telah melakukan pembayaran sebesar 99,3 persen dari nilai total Rp716,6 miliar kepada kontraktor.
"Proses penyidikan ini akan terus berjalan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Kami akan berkoordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum dan pihak terkait lainnya untuk memastikan bahwa kasus ini diselesaikan secara transparan dan akuntabel," tambah Cahyono.
Dengan peningkatan status menjadi penyidikan, penyidik akan melanjutkan upaya untuk mengungkap lebih jauh dugaan pelanggaran hukum yang dapat merugikan negara dalam proyek ini. Kemudian, pencarian bukti juga dilakukan untuk menetapkan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kerugian negara.
“Penyidik Kortastipidkor juga telah melakukan pemeriksaan terhadap 49 saksi yang berasal dari berbagai pihak terkait, termasuk PTPN XI dan KSO Wika-Barata-Multinas,” imbuhnya.
Sebelum Assembagoes, sebelumnya Direktur Tindak Pidana Korupsi (Dirtipikor) Bareskrim Polri juga telah mengusut kasus tindak pidana korupsi terkait proyek pengembangan dan modernisasi Pabrik Gula (PG) Djatiroto milik PTPN XI. Sama halnya dengan Assembagoes, dugaan korupsi juga terjadi pada pengadaan program EPCC yang merupakan tindak lanjut dari program strategis BUMN yang didanai oleh PMN dan dengan nilai kontrak sebesar Rp871 miliar.
Kata Wakil Direktur Dirtipikor Bareskrim Polri, Arief Adiharsa, program pembangunan dan modernisasi Pabrik Gula Djatiroto dimulai pada 2016 dan telah direncanakan sejak 2014.
“Proyek ini sebagai tindak lanjut program strategis BUMN didanai oleh PMN (Penyertaan Modal Negara) yang dialokasikan pada APBN-P tahun 2015,” kata Arief dalam keterangan tertulisnya, Selasa (13/8/2024).
Melalui hasil penyidikan, Ditemukan bahwa anggaran program kurang dan tidak tersedia sesuai dengan nilai kontrak, hingga kontrak ditandatangani. Selain itu, penentuan KSO Hutama-Euroasiatic-Uttam sebagai penyedia proyek konstruksi juga tetap dilakukan meski tidak sesuai dengan kualifikasi.
“Proyek dikerjakan tanpa adanya studi kelayakan. Jaminan uang muka dan jaminan pelaksanaan expired dan tidak pernah diperpanjang. Metode pembayaran barang impor atau letter of credit tidak wajar,” ucap Arief.
Baik korupsi Pabrik Gula Assembagoes maupun Djatiroto, keduanya terjadi saat pemerintah berniat mencapai target swasembada gula. Sebelumnya, setelah gagal mencapai kemandirian produksi gula pada 2020, Kementerian Pertanian memundurkan target menjadi di 2024. Belum bisa juga, melalui pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto, swasembada gula ditarget terjadi pada 2027.
Alasan memundurkan target swasembada gula dari 2020 menjadi 2024 ialah karena Pabrik Gula (PG) baru masih belum dapat beroperasi maksimal dan lahan tebu juga masih dalam persiapan. Padahal, pada 2015, Kementerian Keuangan telah menggelontorkan duit negara dalam bentuk PMN kepada PTPN IX, X dan XI guna merevitalisasi pabrik gula dan mengembangkan industri hilir yang berbasis tebu. Sementara untuk mencapai target swasembada pangan, termasuk gula sekitar Rp550 miliar.
Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Krisna Gupta, menilai korupsi yang dilakukan oleh pabrik-pabrik gula tersebut jelas akan berdampak pada target swasembada pangan. Sebab, anggaran yang seharusnya dapat menaikkan produksi gula justru diselewengkan.
“Modal tersebut bisa saja buat perusahaan lain atau bisa digunakan untuk program terkait lahan/on farm,” kata dia, kepada Tirto, Jumat (31/1/2025).
Korupsi pabrik gula memang tidak akan menurunkan produksi gula nasional. Namun, dengan nihilnya tambahan produksi, saat stok gula konsumsi dalam negeri mengalami keterbatasan atau bahkan kurang, pemerintah harus mencukupi kebutuhan gula konsumsi melalui impor.
Padahal, alasan dilakukannya kebijakan impor adalah karena keekonomian dari pergulaan nasional tidak efisien, salah satunya karena korupsi. Dus, harga gula di dalam negeri akan menjadi lebih mahal dari harga rata-rata gula dunia.
“Selama masalah mendasarnya tidak diperbaiki (ekonomi yang tidak efisien), maka memaksakan swasembada hanya akan mengurangi ketersediaan stok gula, atau inflasi, atau keduanya,” imbuh Krisna.
Mengutip data Trading Economics, kontrak berjangka gula pada perdagangan Jumat (31/1/2025) pukul 19.01 berada pada harga 19,30 sen per pon. Dari hitungan Tirto, harga gula tersebut sama dengan 0,42 dolar Amerika Serikat (AS) per kilogram (sekitar Rp6.878,52, kurs Rp16.200 per dolar AS). Sementara menurut panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga gula konsumsi tertinggi tercatat di Provinsi Papua Tengah, yakni sebesar Rp21.182 per kilogram dan paling rendah di Kepulauan Riau sebesar Rp15.763 per kilogram.
Korupsi Rusak Tata Kelola
Seperti pada berbagai komoditas lain, praktik korupsi pada akhirnya baik secara langsung atau tidak akan menimbulkan persoalan-persoalan yang berujung pada ketidakmampuan negara dalam menjaga produksi dan ketersediaan pangan. Sebaliknya, tindakan koruptif justru membuat keropos tata kelola dan sistem pangan nasional yang sudah terbangun selama ini.
“Dan kalau kita melihat kasus ini jadi menarik. Kenapa menarik? Karena pada saat yang sama, kita justru sedang mencanangkan target swasembada gula. Tapi, ternyata upaya-upaya penguatan produksinya justru dirusak oleh tindakan-tindakan seperti ini yang koruptif,” ujar Koordinator Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP), Ayip Said Abdullah, saat dihubungi Tirto, Jumat (31/1/2025).
Dengan adanya kasus korupsi pada pabrik gula, jelas akan berdampak pada penurunan baik kuantitas maupun kualitas produk gula pada pabrik tersebut. Karenanya, untuk mencapai swasembada gula, pemerintah harus memastikan tidak ada praktik koruptif pada pabrik-pabrik gula, utamanya yang terafiliasi dengan perusahaan BUMN.
“Dan ini harusnya diusut tuntas, supaya kalau betul-betul kita mau swasembada, hal-hal seperti ini harusnya tidak terjadi,” tegas dia.
Kata Said, dalam hal produksi gula, kontribusi pabrik gula BUMN memang cukup besar. Sebagai contoh, pada holding BUMN Pangan ID Food, produksi gula 2024 mengalami kenaikan hingga 17 persen menjadi 306 ribu ton, dari di tahun sebelumnya hanya 262 ribu ton. Sementara produksi gula oleh PTPN Group, diklaim berkontribusi sebesar 50 persen terhadap kenaikan produksi gula nasional 2024, yang mencapai 2,46 juta ton. Produksi tersebut naik 10 persen dibandingkan produksi 2023 yang sebesar 2,27 juta ton.
Dengan kondisi ini, pabrik-pabrik gula di bawah naungan BUMN memang masih layak untuk menjadi tonggak swasembada gula. Namun, harus ada prasyarat yang harus dipenuhi, salah satu yang paling penting adalah penerapan tata kelola yang baik.
“Kedua, kita juga melihat aspek pengawasannya itu juga penting. Karena selama ini kita tahu memang BUMN jadi ruang bagi kelompok-kelompok tertentu untuk mendapatkan keuntungan ekonomi politik. Selama ini juga kita melihat berbagai program yang dijalankan BUMN kan pada akhirnya seolah-olah hanya memenuhi target-target politik,” jelas Said.
Karenanya, evaluasi menyeluruh pada pabrik-pabrik gula milik BUMN atau perusahaan-perusahaan BUMN itu sendiri sebelum terlibat dalam program swasembada gula juga perlu dilakukan. Namun, lebih penting dari itu, pemerintah harus meningkatkan keterlibatan pelaku usaha, yang dalam hal ini adalah petani tebu.
“Harusnya, memang upaya penguatan produksi itu dilakukan oleh petani. Tentu pelibatan ini tidak seperti kemarin, ngasih bantuan bibit, alat pertanian dan seterusnya. Tapi juga penting untuk dipastikan ada harga dan proses pendampingan yang memadai. Tanpa itu, agak sulit,” tegas dia.
Sementara menurut Peneliti CIPS, Krisna Gupta, hanya ada dua cara untuk mencapai swasembada gula. Pertama, dengan memperbaiki tata kelola BUMN dan kedua adalah dengan meningkatkan keterlibatan swasta.
“Sudah lama kan BUMN perannya sentral sekali di gula. Dan selama itu pula swasembada masih angan-angan saja,” ujar dia.
Tirto telah mencoba meminta tanggapan Wakil Menteri Pertanian (Wamentan), Sudaryono, yang bertanggungjawab atas swasembada gula, namun pihaknya mengaku belum mendengar kabar dugaan kasus korupsi yang menjerat Pabrik Gula Assembagoes. “Saya nggak monitor,” katanya saat ditemui usai rapat terbatas di Graha Mandiri, Jakarta Pusat, Jumat (31/1/2025).
Selain itu, Tirto juga sudah mencoba menghubungi Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero), Mohammad Abdul Ghani dan Direktur Keuangan PTPN III, Iswahyudi, namun juga tak ada tanggapan.
Sementara itu, sebagai asosiasi yang menaungi Pabrik Gula Assembagoes, Asosiasi Gula Indonesia (AGI), tak bisa memberikan komentar banyak terkait kasus dugaan korupsi proyek pengembangan dan modernisasi pabrik gula ini. Namun demikian, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) AGI, Dwi P Putranto, menilai kasus ini tak akan berdampak pada target swasembada gula yang ditetapkan pada 2027. Pasalnya, Assembagoes hanya satu di antara banyak pabrik gula yang ada di Tanah Air.
“Kapasitas pabrik gula itu kita anggap 5.000, gitu ya, kalau misalnya in operation optimal. Nah, pabrik gula di seluruh Indonesia itu total ada di atas 330.000. Itu, ya. Jadi kalau pengaruh (kasus korupsi) Assembagoes secara keseluruhan dalam segi kuantitas, ya nggak signifikan,” jelasnya, kepada Tirto, Jumat (31/1/2025).
Alih-alih kasus korupsi Pabrik Gula Assembagoes, target swasembada gula akan berada dalam ancaman jika terjadi gejolak pada pasokan bahan baku, tebu. Dus, jika nantinya Assembagoes tidak dapat beroperasi lagi, masih banyak pabrik gula dengan utilitas di bawah 74 persen dapat menampung dan memproduksi tebu-tebu dari petani menjadi gula yang layak konsumsi.
“Meskipun panen tebunya naik, pabrik gula-pabrik gula yang lain itu karena utilitasnya masih di bawah 74 persen, mereka masih bisa menampung tebu yang ada. Apalagi, Jawa Timur kan sentranya pabrik gula,” tegas Dwi.
Meski AGI tak bisa mencampuri tata kelola maupun bisnis perusahaan-perusahaan gula yang dinaunginya, namun menurut Dwi, perusahaan yang didominasi oleh BUMN seperti IDFood, PTPN, hingga RNI sudah menerapkan tata kelola yang baik dalam menjalankan proses bisnisnya. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang ada di bawah AGI juga sudah sepenuhnya berkomitmen untuk mencapai swasembada gula yang ditarget tercapai pada 2027.
“Kita mendorong supaya manajemen itu meningkatkan kompetensi building lah ya, capacity building. Jadi, dengan cara misalnya kita menjalin hubungan dengan pabrik-pabrik gula di luar Indonesia yang teknologinya tinggi lah, misalnya Thailand, Vietnam,” sambungnya.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang