Menuju konten utama

Bareskrim Naikkan Status Kasus PLTU Kalbar ke Tahap Penyidikan

Dugaan tindak pidana korupsi ini membuat pembangunan PLTU 1 Kalbar (2x50 MW) mengalami kegagalan.

Bareskrim Naikkan Status Kasus PLTU Kalbar ke Tahap Penyidikan
Warga melintas dengan latar belakang PLTU Suralaya di Kota Cilegon, Banten, Rabu (6/12/2023). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/YU

tirto.id - Penyidik Bareskrim Polri meningkatkan status penanganan perkara PLTU Kalimantan Barat (Kalbar) ke tahap penyidikan. Peningkatan perkara tersebut dilakukan saat gelar perkara pada Selasa (5/11/2024).

"Penyidik Dittipidkor Bareskrim Polri telah meningkatkan status penyelidikan ke penyidikan terhadap perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat (2x50 MW) di Kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah, Kalbar," ucap Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri, Kombes Arief Adiharsa, dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (6/11/2024).

Arief menjelaskan bahwa proyek tersebut berlangsung sejak 2008 sampai dengan 2018. Akibat adanya dugaan tindak pidana korupsi ini, pembangunan PLTU 1 Kalbar (2x50 MW) mengalami kegagalan.

"Dalam kasus ini, diduga adanya penyalahgunaan wewenang sehingga pekerjaan mengalami kegagalan (mangkrak) sejak 2016, meskipun telah diberikan perpanjangan waktu melalui amandemen kontrak sebanyak 10 kali sampai 2018 sehingga tidak dapat dimanfaatkan," ujar Arief.

Arief juga membeberkan bahwa duduk perkara kasus ini berawal pada 2008, ketika dilaksanakan lelang pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat (2x50 MW). Dana pembangunan itu bersumber dari anggaran PT PLN (Persero) yang berasal dari pembiayaan kredit komersial Bank BRI dan BCA (Export Credit Agency/ECA).

Seturut keterangan Arief, lelang tersebut kemudian dimenangkanoleh KSO BRN sebagaimana Surat Persetujuan Direksi Nomor 178 Tahun 2008 bertanggal 11 Desember 2008 yang ditandatangani oleh Dirut PT PLN saat itu.

Surat itu berisi tentang Penetapan Pemenang Pengadaan Barang/Jasa melalui Pelelangan Umum untuk Pengadaan PLTU 1 Kalbar (2x50 MW).

"KSO BRN sebagai pihak yang ditunjuk pemenang lelang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dalam tahap prakualifikasi dan evaluasi penawaran administrasi dan teknis dalam proses pelelangan yang didasarkan fakta hukum," kata dia.

Selanjutnya, kata Arief, pada 11 Juni 2009 dilakukan penandatanganan kontrak antara RR selaku Dirut PT BRN mewakili konsorsium BRN dengan FM selaku Dirut PLN. Nilaikontrak tersebut sebesar USD80 juta dan Rp507 miliar atau sekitar Rp1,2 T (dengan kurs saat ini).

Setelah dilakukan kontrak pekerjaan, pada 28 Desember 2009, BRN mengalihkan seluruh pekerjaan pembangunan PLTU 1 Kalbar kepada PT PI dan QJPSE (Perusahaan energi asal Tiongkok). Terhadap pekerjaan itu, addendum yang tertulis sebanyak 10 kali.

"Sejak pertama dilakukan pada tanggal 13 April 2011 dan yang terakhir pada tanggal 31 Agustus 2018, serta telah terjadi perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang," ungkap Arief.

Arief memaparkan bahwa BPK RI mendapati indikasi kerugian keuangan negara sebesar sekitar USD62,410 juta dan Rp323,2 miliar. Kemudian, diindikasikan proses pekerjaan diduga terdapat aliran dana dari KSO BRN melalui PT PI kepada para pihak yang terkait (suap) dalam pekerjaan pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat (2x50 MW).

Baca juga artikel terkait KASUS DUGAAN KORUPSI atau tulisan lainnya dari Ayu Mumpuni

tirto.id - Hukum
Reporter: Ayu Mumpuni
Penulis: Ayu Mumpuni
Editor: Fadrik Aziz Firdausi