Menuju konten utama

Bahu Membahu Warga Manggarai Cegah Kekerasan dan Pernikahan Anak

Perkawinan anak di Kabupaten Manggarai menjadi persoalan serius dan semakin menantang di era keterbukaan informasi dan teknologi.

Bahu Membahu Warga Manggarai Cegah Kekerasan dan Pernikahan Anak
Suster Gabriella di Susteran Gembala Baik di Ruteng, Manggarai, NTT. tirto.id/Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kekerasan dan perkawinan anak merupakan persoalan yang saling berkelindan. Keduanya berdampak jangka panjang bagi masa depan anak. Persoalan tersebut perlu diatasi dengan upaya bersama antara elemen masyarakat dan pemangku kebijakan. Kerja-kerja kolaboratif tersebut yang saat ini terus digalakkan di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Manggarai menunjukkan bahwa pada 2018 hingga 2020, persentase perempuan yang menikah pertama kali pada usia di bawah 16 tahun berkisar antara 5,98 persen hingga 7,8 persen. Rinciannya di tahun 2018 (6,39%), 2019 (7,8%), dan 2020 (5,98%). Sementara yang menikah pada usia 17-18 tahun di periode yang sama, berkisar antara 18,94 persen hingga 24,07 persen. Tampaknya masa pandemi COVID-19 lalu, perkawinan anak justru mengalami peningkatan signifikan di Manggarai.

Dalam menghadapi persoalan yang sedemikian kompleks ini, peran kolektif dari pemerintah, masyarakat, tokoh agama dan adat, serta organisasi non-pemerintah (NGO) menjadi sangat krusial. Pasalnya, perkawinan anak sarat dengan kekerasan. Anak perempuan usia 10-14 tahun memiliki resiko lima kali lebih besar meninggal dalam kasus kehamilan dan persalinan dibandingkan perempuan usia 20-24 tahun. Secara global, kematian yang disebabkan oleh kehamilan merupakan penyebab utama kematian anak perempuan usia 15-19 tahun.

Salah satu peran elemen masyarakat dan tokoh agama tergambar serius dalam kerja-kerja yang dilakukan Susteran Gembala Baik di Ruteng, Kabupaten Manggarai. Di sana tak cuma berisi biara dan kediaman para suster, namun turut berfungsi sebagai rumah aman atau safe house bagi penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan anak korban kekerasan.

Suster Gabriella Mahos, salah satu suster di Gembala Baik Ruteng dan penanggung jawab bagian sosial, menuturkan bahwa mereka sudah melakukan pengabdian di Manggarai sejak 1987. Menurut Suster Gabriella, bisa dibilang Gembala Baik merupakan shelter atau rumah aman pertama di wilayah Manggarai, NTT. Hal itu sekaligus membuat Gabriella bangga dan cukup miris.

Awalnya, kata dia, kerja Susteran Gembala Baik mendampingi anak-anak kost yang berada di Ruteng untuk belajar atau bekerja. Mereka tidak terpantau dan kerap dicap ‘liar’ sebab tak ada yang mengatur pergaulannya. Namun sejak 2000, Susteran Gembala Baik mulai berfokus terhadap perlindungan perempuan dan anak, terutama untuk korban yang mencari tempat perlindungan sementara.

“Karena kalau ngomong pemerintah, maaf saja, pertama mereka sebelum nolong orang itu budget dulu. Kalau kami manusianya dulu baru pikir cari dananya. Jadi agak berbalik arah, tetapi saya melihat kolaborasi itu mulai terjadi,” kata Suster Gabriella ketika ditemui Tirto di Susteran Gembala Baik, Kota Ruteng, Manggarai, NTT, Rabu (12/3/2025).

Hal yang membuat Gabriella sedih, pasalnya rumah aman Gembala Baik belum memenuhi standar. Sayangnya, kata dia, pemerintah belum membuat rumah aman resmi di Manggarai yang memenuhi standar kelayakan dan keamanan bagi korban. Jangankan rumah aman, di Manggarai Gabriella amat kesulitan mencari psikolog klinis yang bisa mendampingi korban. Baru tahun ini, Susteran Gembala Baik mulai resmi menggandeng psikolog klinis tetap.

Menurut Gabriella, rumah aman yang belum memenuhi standar rentan menghasilkan bentuk kekerasan ganda bagi korban. Di Susteran Gembala Baik misalnya, belum memiliki fasilitas lengkap dan keamanan sesuai standar, sehingga korban dan para suster berada di posisi yang rawan. Namun, di tengah keterbatasan itu, Gembala Baik terus berjalan melayani dan membantu perempuan dan anak korban kekerasan.

Susteran Gembala Baik di Ruteng

Suasana Susteran Gembala Baik di Ruteng, Manggarai, NTT, Rabu (12/3/2025). tirto.id/Mochammad Fajar Nur

Di tahun ini misalnya, sudah ada dua korban yang didampingi oleh Susteran Gembala Baik. Sementara 2024, ada 3 korban yang ditangani Gembala Baik: terdiri dari satu anak dan dua perempuan korban KDRT. Pengalaman Gabriella, pelaku kekerasan seringnya justru orang terdekat korban seperti kerabat, teman, suami bahkan orang tua.

“Kalau dilihat sih keluarga dekat. Bapak tiri, teman, bapak kandung,” ujar Gabriella.

Menurut Gabriella, kolaborasi menjadi hal krusial dalam penanganan perempuan dan anak korban kekerasan. Apalagi, kasus kekerasan dan perkawinan anak di Manggarai tergolong masih tinggi. Mengingat hal tersebut, ia merasa saat ini kolaborasi itu mulai terbangun. Kini Gembala Baik intens bekerja sama dengan kepolisian setempat serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Manggarai.

Bukan cuma dengan pemangku kebijakan, Gembala baik menggandeng sekolah, tokoh adat hingga lembaga non-pemerintah lain seperti Wahana Visi Indonesia (WVI) untuk sama-sama melakukan perlindungan pada perempuan dan anak di Kabupaten Manggarai.

Saat ini, ungkap Gabriella, mereka tengah berfokus pada perlindungan anak-anak migran yang menetap di Ruteng. Anak migran merupakan anak-anak dari kampung dan daerah lain yang tinggal sendirian di Ruteng untuk bersekolah. Pasalnya, mereka sangat rentan menjadi korban perdagangan manusia dan kekerasan.

Tak jarang, anak-anak usai sekolah yang hidup sendirian di kost, menjadi korban kekerasan dari teman sebaya hingga orang dewasa, termasuk bapak kost. Tidak sedikit juga, mereka dijebak dalam pola eksploitasi yang merupakan lembah gelap prostitusi anak. Gembala Baik mencatat, rata-rata per tahun ada empat anak perempuan di sekolah yang ada di Ruteng, terpaksa tidak melanjutkan pendidikan karena hamil atau menikah.

“Mereka biasanya pulang ke kampung, istilahnya damai begitu. Karena perkawinan anak tak bisa itu dicatat oleh pemerintah atau gereja, jadi pakai adat saja. Ini menyebabkan juga apa itu fenomena gunung es ya,” ucap Gabriella.

Perkawinan yang difasilitasi secara adat itu rentan menyebabkan anak perempuan menjadi korban kekerasan ganda. Pelaku yang terkadang juga masih anak-anak, tak bisa membiayai kehidupan. Anak hasil perkawinan terkadang justru diurus oleh pihak orang tua korban atau bahkan terkatung-katung. Anak perempuan yang menjadi korban dengan bayinya akhirnya menjadi sangat rentan hak-hak hidupnya.

Ke depan, Gabriella berharap pemerintah dapat semakin serius memberikan perhatian pada anak-anak migran di Ruteng. Misalnya membentuk peraturan daerah untuk usaha kost yang ramah anak dan bisa diawasi. Selain itu, rumah aman resmi dan layak bagi perempuan dan anak korban kekerasan sangat dinantikan keberadaannya.

“Anak laki-laki itu juga banyak mengalami kekerasan oleh sesama laki-laki. Karena mereka tinggal bersama di kost, ini kan sebenarnya tidak bagus,” ujar Gabriella.

Upaya Lewat Komunitas Anak

Bicara upaya kolektif, berbagai program yang digagas Wahana Visi Indonesia (WVI) ibarat motor gerakan upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak di Kabupaten Manggarai. WVI misalnya, mendorong pembentukan forum atau kelompok anak di desa-desa yang menjadi wadah bagi anak-anak mempelajari hak-hak mereka. Dalam kelompok anak, orang tua turut dilibatkan agar pengasuhan cinta anak dapat diterapkan di rumah.

Koordinator WVI Manggarai, Hilari Tatik, menyatakan keberadaan WVI bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak dengan bermitra dengan gereja maupun pemerintah memfokuskan dua program kerja yaitu kesejahteraan perlindungan dan kesehatan anak. WVI, kata dia, menjadi salah satu pendorong agar Manggarai mendapatkan status Kabupaten Layak Anak (KLA).

Tatik menuturkan, perkawinan anak di Kabupaten Manggarai menjadi persoalan serius. Hal ini semakin menantang di era keterbukaan informasi dan teknologi. Misalnya, tahun lalu saja ia menerima informasi dari salah satu desa dampingannya, terjadi perkawinan anak berawal dari perkenalan di media sosial. Dua sejoli itu berkenalan di Facebook dan kabur dari rumah masing-masing. Sekembalinya, mereka memutuskan untuk menikah, padahal keduanya itu masih sekolah di bangku SMA dan SMP.

Itulah mengapa, kata Tatik, WVI juga membentuk parent supporting group bagi orang tua. Ini sejalan dengan forum anak, karena bukan hanya anak yang perlu diedukasi, tetapi juga dari sisi pengasuhan orang tua yang perlu ditingkatkan agar ramah anak.

“Mereka itu ada pertemuan setiap bulan kayak arisan, gitu. Pertemuan kayak arisan itu kita kasih materi parenting. Yang mana, setelah itu kelompoknya didampingi relawan sosial WVI yakni dari elemen warga juga,” ujar Tatik ketika ditemui Tirto di Ruteng, Manggarai, NTT, Kamis (13/3).

Salah satu relawan sosial WVI, Ecak, menyatakan bahwa kelompok anak dan orang tua itu memberikan dampak signifikan terhadap pemahaman atas pemenuhan hak-hak anak, baik di lingkungan sekolah atau di rumah. Ecak merupakan seorang guru dan fasilitator kelompok anak WVI di salah satu desa di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Perempuan itu mulai menggeluti peran sebagai relawan sosial WVI sejak 2019 silam.

KEKERASAN ANAK

Kekerasan Pada Anak. Foto/Istock

Kelompok anak dampingan Ecak, terbuka mulai dari jenjang PAUD hingga SMA. Ini menjadi wadah yang ramah anak sekaligus juga tempat melakukan kegiatan yang mengasah minat bakat anak-anak seperti menyanyi, melukis, teater hingga pantomim.

Menurut Eca, kegiatan anak-anak di luar sekolah yang positif membantu anak untuk terlepas dari kegiatan negatif. Kelompok anak WVI membuat anak-anak bisa meraih prestasi alih-alih terjebak dalam pergaulan bebas. Lewat kelompok anak, Eca menuntun anak-anak di desa agar mereka saling menjaga dan menghormati sesama. Termasuk, edukasi soal kekerasan terhadap anak dan hak-hak anak.

“Jadi misalnya kalau dalam situasi tertentu mereka melihat kejadiannya. Misalnya mereka baca berita atau mungkin ada kejadian yang mereka dengar. Mereka tahu itu kekerasan terhadap anak,” ucap Ecak ketika ditemui Tirto di salah satu sekolah di Manggarai, NTT.

Dihubungi lewat sambungan telepon, Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak dan Tumbuh Kembang Anak di Dinas P3A Kabupaten Manggarai, Fransiskus Martino Dura, menyatakan pemerintah kabupaten mendukung dan terlibat dalam kerja-kerja kolektif yang digagas oleh elemen masyarakat dan lembaga non-pemerintah. Tino, sapaan akrabnya, merasa upaya kolektif memang menjadi kebutuhan untuk saling melengkapi di tengah keterbatasan.

Dari sisi regulasi, kata dia, pemerintah Kabupaten Manggarai telah mengeluarkan Perda No 1/2023 tentang Penyelenggaraan Kabupaten Layak Anak. Komitmen dan kemitraan antara pemerintah dan stakeholder lainnya, tergambar dalam Evaluasi Tahunan KLA. Dijelaskan, dalam evaluasi KLA terdapat peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Pada 2021 skor evaluasi mandiri KLA Kabupaten Manggarai hanya 70. Pada tahun 2022, skor ini naik menjadi 418, dan di tahun 2023 meskipun belum secara resmi diversifikasi, skor meningkat signifikan menjadi 738.

“Kemudian kami juga punya namanya DRPPA, Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak. Di situ ada pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, hingga ada pencegahan perkawinan anak,” ucap Tino kepada wartawan Tirto.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN ANAK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang