tirto.id - Konflik agraria antara warga Desa Iwul, Kabupaten Bogor, dengan PT Kuripan Raya semakin memanas. Pada Sabtu, 20 Juli 2024, tanpa pemberitahuan atau sosialisasi kepada warga, perusahaan tersebut diam-diam memobilisasi alat berat untuk melakukan pekerjaan cut and fill di lahan bekas PTPN XI.
Suasana damai Desa Iwul, Kabupaten Bogor, yang biasanya terasa sejuk di pagi hari, berubah mendalam saat 24 pria dan sebuah alat berat mendekati musala warga. Aksi tersebut berlangsung di area yang melintasi perumahan Grand Duta City milik Duta Putra Land, yang sebelumnya merupakan lahan pertanian warga.
Di tanah itu, terdapat kebun singkong dan tanaman lainnya. Warga menolak proyek pengembangan lahan perusahaan yang dianggap mengancam lingkungan dan ruang hidup mereka.
Musala yang dikenal sebagai tempat beribadah dan berkumpul untuk kegiatan sosial terancam dihancurkan oleh PT Kuripan Raya, yang tengah mengembangkan proyek lahan. Bargot, salah satu warga, merasakan ketegangan yang semakin membuncah ketika dirinya diminta untuk segera mengosongkan musala tanpa pemberitahuan sebelumnya.
“Ini kosongin! Ini harus dikosongin!” ucap Bargot bercerita kepada Tirto, mengungkapkan kata-kata yang dilontarkan salah satu dari mereka kepadanya.
Dalam hitungan menit, ekskavator merobohkan bangunan yang menjadi tempat ibadah dan pertemuan warga itu. Tak hanya musala, rumah warga yang kosong, studio radio lokal RMS, serta kebun-kebun yang menjadi tumpuan hidup warga, turut dihancurkan.
“Saya bilang saya minta waktu ngosongin ini dulu. Ternyata orang-orang itu malah masuk, ngeluarin barang saya semua. Pas saya ke dapur, waktu mereka ngeluarin barang itu, ya itu langsung dikeruk aja sama beko (musala),” tutur Bargot.
Studio radio yang selama ini menjadi pusat informasi dan komunikasi penting bagi masyarakat Desa Iwul juga turut tergilas proyek yang mengancam kehidupan mereka. Warga yang dulu berkumpul untuk mengaji, berkegiatan sosial, dan merencanakan santunan anak yatim kini harus merasakan kehilangan ruang yang selama ini mereka andalkan.
Sejarah panjang lahan Desa Iwul, yang membentang seluas 750 hektare, mencatatkan kisah pilu bagi warganya. Sebelum berubah menjadi sengketa, tanah ini merupakan milik adat yang dikelola secara turun-temurun oleh masyarakat.
Berdasarkan dokumen yang dihimpun oleh Forum Masyarakat "JAJAKA" (Jaga Alam, Jaga Kampung),
bukti-bukti peninggalan sejarah, seperti situs pemakaman dan jejak kehidupan lama, masih dapat ditemukan di lahan yang kini menjadi pusat perdebatan tersebut.
Namun, perubahan besar mulai terjadi ketika kolonial Belanda menerapkan Undang-Undang Agraria 1870 yang mengalihkan kepemilikan tanah tanpa sertifikat menjadi milik pemerintah kolonial. Setelah kemerdekaan Indonesia, kendali atas tanah tetap berada di tangan negara, sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan bumi, air, dan sumber daya alam.
Pada 1960, lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diharapkan menjadi solusi bagi masyarakat adat, karena memberikan pengakuan terhadap hak atas tanah adat. Namun, harapan tersebut tak sepenuhnya terwujud. Tanah yang dulu dikelola oleh Perusahaan Perkebunan PTP XI di wilayah Perkebunan Cimulang mulai dihuni oleh warga sejak 1980-an.
Dengan surat keterangan hak garap yang diterbitkan oleh PTP XI, warga pun bebas bercocok tanam dan mendirikan pemukiman tanpa halangan. Pemerintah Desa Iwul bahkan turut mengeluarkan surat keterangan penggarap pada 12 Juni 1991, yang semakin memperkuat klaim warga atas lahan tersebut.
“Perjuangan kami hari ini adalah mempertahankan lahan ini untuk keberlangsungan hidup kami dan anak cucu kami,” kata Jakarsih, salah satu tokoh masyarakat Desa Iwul, dengan penuh tekad.
Namun, kenyataan berubah drastis ketika PT Kuripan Raya, pada awal 2000-an, mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya. Perusahaan ini mengajukan dokumen yang mereka klaim sebagai hak legal atas pengelolaan lahan. Warga yang sudah puluhan tahun tinggal dan menggarap tanah itu tentu menolak klaim tersebut.
Dengan mengacu pada dokumen sejarah, warga menunjukkan bahwa tanah ini dulunya merupakan tanah adat diambil paksa oleh Belanda, lalu dikelola oleh PTP XI, sebelum akhirnya dikelola oleh masyarakat. Surat administrasi dari desa semakin menguatkan klaim warga atas tanah ini.
Sementara itu, PT Kuripan Raya bersikeras bahwa mereka memiliki sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang diperoleh setelah pengalihan hak dari perusahaan perkebunan sebelumnya. Namun, warga mempertanyakan keabsahan sertifikat tersebut.
“Kalau mereka memang memiliki tanah ini sejak 1996, kenapa tidak ada papan nama atau tanda kepemilikan di sini? Setelah HGU itu selesai, mereka tidak pernah merawat atau mengurus lahan ini. Justru kami yang menjaga dan merawatnya,” tegas Jakarsih, penuh penolakan.
Ketegangan memuncak pada 2022, saat PT Kuripan Raya mulai mengerahkan alat berat untuk menggusur lahan yang telah dikelola warga selama puluhan tahun. Dalam sekejap, rumah-rumah semi permanen dan lahan pertanian warga rata dengan tanah.
“Kami sudah bertahun-tahun tinggal dan bertani di sini. Tiba-tiba datang alat berat, dan semua hilang begitu saja,” ungkap seorang warga yang kehilangan tempat tinggalnya dengan nada kecewa.
Aksi penggusuran ini berlangsung tanpa adanya dialog atau transparansi dari pihak perusahaan. Beberapa warga yang mencoba mempertahankan tanahnya bahkan mengalami kriminalisasi, dan bentrokan dengan petugas keamanan perusahaan tak terhindarkan.
Beberapa warga mengalami luka-luka akibat peristiwa tersebut, meninggalkan trauma yang mendalam dalam perjuangan mereka mempertahankan tanah yang telah lama menjadi bagian dari hidup mereka.
PT Kuripan Raya Tetap Klaim Legalitas, Warga Desak Penghentian Penggusuran Paksa
PT Kuripan Raya, yang sebelumnya berfokus pada perkebunan karet, kini beralih ke pengembangan perumahan setelah memperoleh perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) selama 20 tahun, dengan rencana perpanjangan lebih lanjut. Perusahaan ini mengklaim lahan yang mereka kelola bukanlah kawasan hijau, melainkan tanah yang sebelumnya digunakan untuk budidaya tanaman singkong oleh warga berdasarkan perjanjian sewa.
“Kami memiliki izin lengkap dari Pemkab Bogor dan BPN. Siteplan kami sudah disahkan, dan lahan ini kini diperuntukkan sebagai kawasan permukiman sesuai revisi Perda Tata Ruang,” ungkap General Manager PT Kuripan Raya, Marim Purba, yang juga pernah menjabat sebagai Wali Kota Pematang Siantar pada periode 2000-2005, kepada Tirto.
Namun, klaim PT Kuripan Raya dibantah oleh sejumlah warga Desa Iwul. Mereka mengaku mengalami intimidasi dan perusahaan telah melakukan penggusuran paksa terhadap lahan pertanian serta rumah ibadah. Perusahaan pun membantah tuduhan tersebut, dengan alasan pembongkaran hanya dilakukan terhadap tanaman yang tidak memiliki izin atau perjanjian kerja sama.
“Tanaman yang ada di lahan yang kami kelola sudah diberi waktu untuk dipanen oleh pemiliknya. Tidak ada rumah ibadah yang kami hancurkan, tuduhan tersebut hanya propaganda untuk menggiring opini publik,” tegas Marim.
Meski menghadapi penolakan dari sebagian warga, PT Kuripan Raya menuturkan proyek akan tetap berjalan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Mereka mengklaim telah berdiskusi dengan berbagai pihak, termasuk Bupati, DPRD, Camat, dan Kepala Desa untuk mencari solusi terbaik.
"Bupati sudah menegaskan bahwa investasi swasta harus dilanjutkan dan tidak boleh diganggu. Kami juga terus berkomunikasi dengan masyarakat melalui jalur resmi," tambah Marim.
Sebagai bentuk kompromi, PT Kuripan Raya juga mengaku siap mengalokasikan sebagian lahan untuk usaha pertanian warga dengan syarat adanya perjanjian resmi dan pendataan penerima manfaat. Namun, tawaran tersebut masih dalam pembahasan dengan pemerintah desa.
“Semakin lama proyek ini tertunda, semakin banyak kerugian yang kami tanggung. Siapa yang akan menanggung kerugian perusahaan?” ujar Marim dengan nada frustrasi.
Terkait laporan adanya bentrokan fisik antara warga dan pihak keamanan proyek, PT Kuripan Raya membantah telah melakukan tindakan kekerasan. Mereka mengeklaim justru manajemen perusahaan yang sering mendapat ancaman dan gangguan dari oknum-oknum tertentu.
“Sampai saat ini, tidak ada kekerasan fisik yang dilakukan oleh perusahaan. Jika ada, kami siap melaporkannya ke pihak berwajib. Kami justru sering mengalami intimidasi, termasuk penghentian paksa alat berat dan ancaman terhadap pekerja,” lanjut Marim.
Warga Desa Iwul: Alih Fungsi Lahan Bisa Menyebabkan Bencana Alam
Saripudin, seorang petani dari Desa Iwul, berjalan perlahan di atas tanah yang dulu ia kenal seperti bagian dari dirinya. Tanah yang kini terasa asing, penuh debu kering, seolah menyimpan luka yang tak akan pernah sembuh. Dulu, lahan ini tumbuh subur dengan tanaman singkong, jagung, dan ubi. Kini, yang tersisa hanyalah hamparan tanah retak yang meratap kehilangan.
"Sekarang, tanah ini hanya mengingatkan kita pada harapan yang hilang. Tidak ada lagi yang bisa kami tanam, semua hancur," ujar Saripudin, matanya kosong menatap sisa-sisa tanah seluas 750 hektare yang dulu menjadi tumpuan hidupnya.
Di kejauhan, alat berat dan kendaraan patroli PT Kuripan Raya tampak terparkir di depan sebuah bangunan semi permanen. Saripudin menunjukkan dengan jari, "Itu posko premannya, mereka menggunakan jasa preman untuk mengintimidasi warga. Kalau kami komplain, mereka malah pakai aparat preman,"
Meski sudah berusaha berkomunikasi dengan pemerintah desa, Saripudin merasa terbatas dalam menyuarakan hak-hak mereka. “Ini korporasi besar yang dihadapi. Mungkin banyak pihak yang tertekan oleh situasi ini, meski mereka berpihak pada masyarakat,” ungkapnya.
Saripudin mengingatkan Desa Iwul adalah satu-satunya desa di Kecamatan Parung yang masih memiliki kawasan resapan air. Namun, kini PT Kuripan Raya telah menguasai lebih dari 700 hektare lahan.
"Ini resapan terakhir yang kami miliki, dan mereka (PT Kuripan) sudah menguasai hampir semuanya,” lanjutnya dengan suara penuh kekhawatiran.
Dengan penuh kesungguhan, Saripudin menegaskan bahwa penghancuran alam yang terjadi bisa berujung pada bencana besar, seperti banjir dan longsor yang sudah mulai terlihat di wilayah lain.
“Jika lahan ini hancur, bencana alam tinggal menunggu waktu,” tambahnya.
Sebagai bentuk perlawanan terhadap proyek yang merusak lingkungan, warga Desa Iwul menanam 3.000 bibit pohon pada Senin (24/3/2025). Mereka berharap pohon-pohon tersebut bisa menjaga ekosistem dan memberi manfaat bagi generasi mendatang. Namun, pada Kamis (27/3/2025), semua bibit pohon tersebut raib tanpa jejak, menyisakan hanya potongan bambu penyangga.
"Pohon yang kami tanam sudah hilang. Kami belum tahu siapa yang bertanggung jawab atas kejadian ini," kata Saripudin dengan nada kecewa.
Walhi Jabar Kecam Proyek Telaga Kahuripan: Negara Abai Lindungi Hak Warga
Kebijakan pembangunan proyek "Telaga Kahuripan" yang melibatkan PT Kuripan Raya dan perusahaan besar lainnya, seperti Urban+ dan Grand Duta City, menuai kritik tajam dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat. Dalam konferensi pers bersama warga, Walhi menegaskan bahwa negara seharusnya melindungi hak-hak warga, bukan memberikan ruang bagi perusahaan besar untuk merugikan mereka.
Anggota tim advokasi Walhi Jawa Barat, Fauqi, menuturkan, kewajiban perusahaan untuk menjaga komitmen terhadap masyarakat jauh lebih besar, apalagi proyek tersebut melibatkan banyak perusahaan besar. Dia pun melihat tidak ada perusahaan itu terhadap masyarakat.
"Mereka [perusahaan] hanya memberikan lip service semata,” kata Fauqi.
Fauqi juga menyoroti fakta proyek ini mengabaikan hak-hak masyarakat, termasuk hak atas lingkungan yang sehat. Dia menilai apa yang terjadi di Desa Iwul bisa berdampak luas pada wilayah lain.
"Masyarakat di sini berusaha menjaga keseimbangan alam,” tambah Fauqi.
Direktur Walhi Jawa Barat, Wahyudin Iwang, menuturkan, masyarakat berhak mengetahui segala aktivitas perusahaan, termasuk dokumen perizinan yang dikeluarkan. Dia juga menilai kasus ini menunjukkan negara perlu hadir untuk menjamin hak-hak dasar warga, sesuai dengan Undang-Undang.
“Selama ini, pembangunan lebih memprioritaskan investasi tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan,” ujarnya.
Penulis: Dini Putri Rahmayanti
Editor: Intan Umbari Prihatin