tirto.id - Kepengurusan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) tidak hanya diisi oleh warga negara Indonesia (WNI) saja, melainkan ada enam nama orang asing, di antaranya di posisi Dewan Pengawas, Managing Director, serta anggota Komite Investasi dan Portofolio.
Di posisi Dewan Penasihat, ada Ray Dalio, Jeffrey Sachs, Chapman Taylor, dan Thaksin Shinawatra. Sementara itu, di posisi Managing Director Risk and Sustainability, ada Lieng-Seng Wee, pakar manajemen risiko sekaligus CEO dan Pendiri Dragonfly, perusahaan ventura yang berbasis di New York. Terakhir, ada Yup Kim, CIO Texas Municipal Retirement System (TMRS), yang berfokus pada pengelolaan dana pensiun publik, sebagai Komite Investasi dan Portofolio.
Chief Investment Officer (CIO) Danantara, Pandu Patria Sjahrir, menjelaskan, penunjukan enam warga negara asing (WNA) sebagai pengurus Danantara adalah untuk mewaspadai risiko perekonomian global dan geopolitik dalam berinvestasi. Pengalaman panjang dari enam tokoh asing tersebut di bidang investasi dan keuangan dipercaya dapat menangkal risiko-risiko yang mungkin timbul dari gejolak ketidakpastian global yang saat ini masif terjadi.
“Mungkin ada concern lain adalah nanti tentunya adalah hal-hal yang menyangkut makro, dan kita sangat aware makanya tadi ada Dewan Pengawas seperti Ray, Pak Helman, Jeffrey Sachs itu kenapa? Karena kita tahu bahwa macro risk semakin besar, geopolitical risk semakin besar,” kata Pandu dalam konferensi pers di Gedung Graha Cimb Niaga, Jakarta, Senin (24/3/2025).
Apalagi, Danantara diproyeksikan bakal mengelola aset negara sebesar 900 miliar dolar Amerika Serikat atau setara Rp14 ribu triliun lebih. Sumber aset yang akan dikelola Danantara di antaranya berasal dari dividen perusahaan-perusahaan BUMN.
Tokoh-tokoh yang duduk di pengurusan Danantara, termasuk dalam hal ini enam WNA tersebut, disebut pemerintah telah dipilih melalui seleksi secara profesional, berdasarkan sepak terjang dan keahlian mereka. Bukan titipan dari pihak-pihak tertentu.
“Memang banyak noise, concern. Pertama, bagaimana pembentukan tim Danantara, siapakah manajemen Danantara, semoga dengan hari ini bisa dijawab tadi seperti kata Pak Rosan bahwa all professional, tidak ada titipan-titipan, semua adalah yang terbaik di bidangnya, and global, ini juga penting,” tegas Keponakan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan itu.
Lebih lanjut, Direktur Utama atau Chief Executive Officer (CEO) Danantara, Rosan P. Roeslani, menjelaskan, alasan ditunjuknya Ray Dalio sebagai Dewan Penasihat, adalah karena dia merupakan salah satu investor paling berhasil di dunia melalui perusahaan hedge fund (pengelola dana lindung nilai) dengan aset kelolaan mencapai 124 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp1.984 triliun.
Dalio pun telah menjadi penasihat makro ekonomi bagi pemerintahan di banyak negara, termasuk Cina.
Sementara itu, Jeffrey Sachs ditunjuk sebagai Dewan Penasihat Danantara berdasarkan latar belakang pendidikannya yang mentereng, yakni dari Harvard University. Selain itu, Sachs juga terlibat dalam pengeditan karya seperti Developing Country Debt and Economic Performance, yang membahas soal utang dan ekonomi Indonesia, di samping Korea, Turki, dan Filipina, serta penulisan buku The End of Poverty, yang membahas tentang strategi pengentasan kemiskinan yang relevan bagi Indonesia. Selain itu, ekonom asal AS ini juga pernah menjadi penasihat tiga Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB dalam kebijakan pembangunan global.
“Beliau juga sangat memahami ekonomi bukan hanya di dunia, tapi juga di Indonesia, di Asean dia sangat memahami. Sehingga, dia bisa memberikan different aspect dan different angle apabila kita melakukan investasi terutama di Indonesia, di ASEAN, maupun di dunia. Jadi, dari Jeffrey Sachs sudah menyatakan bersedia,” kata Rosan, saat mengumumkan struktur pengurus lengkap Danantara, di Jakarta, Senin (24/3/2025).
Selanjutnya, Chapman Taylor dipilih menjadi Dewan Penasihat karena pengalamannya yang telah lebih dari 30 tahun kiprahnya di bidang investasi. Per 27 Maret 2025, dia adalah equity portfolio manager di Capital Group. Chapman pun banyak memfokuskan investasinya di Asia, seperti Indonesia, Filipina, Malaysia dan Selandia Baru.
“Dan dia dikenali kepemimpinannya dalam investasi dan kontribusinya, terutama dalam dunia pendidikan. Kontribusinya sangat-sangat besar dan pengalamannya sudah sangat banyak dan diharapkan juga bisa memberikan kontribusi yang positif terhadap investasi yang akan kita lakukan ke depannya,” jelas Rosan.
Kemudian, untuk Thaksin Shinawatra dipilih karena pengalamannya sebagai Perdana Menteri Thailand tahun 2001-2006 dan juga pernah menjadi penasihat Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim. Lima tahun menjabat sebagai Perdana Menteri Thailand, Thaksin berhasil menaikkan Produk Domestik Bruto (PDB) Thailand dari 4,9 triliun baht pada 2001, menjadi 7,1 triliun baht pada 2006.
“Jadi, ini juga memberikan different angle apabila kita juga ingin berinvestasi di negara-negara Asean nanti di kemudian hari. Ini akan memperkaya kita, tentunya tidak hanya semata-mata dari segi keuangan atau financial, tapi juga pada saat berinvestasi di negara lain, kita harus melihat sektor-sektor lain, baik dari ekonomi, politik, dan juga faktor sustainability-nya,” tutur Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu.
Sementara itu, sebagai Managing Director Risk and Sustainability, Lieng-Seng Wee diharapkan dapat mengelola risiko dan keberlanjutan tidak hanya investasi di Danantara saja, melainkan nantinya di seluruh perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selain karena pendiri Dragonfly, Lieng-Seng Wee, dipilih sebagai salah satu pengurus Danantara karena ia juga merupakan pelopor dari konsep Risk-Adjusted Return on Capital (RAROC) dan Value at Risk (VaR), yang menjadi standar dalam industri keuangan.
Terakhir, Yup Kim dipilih untuk mengetuai Komite Investasi dan Portofolio karena telah dipercaya oleh banyak perusahaan pembiayaan untuk berinvestasi di luar negeri. Dia pun saat ini tengah menjabat sebagai CIO Texas Municipal Retirement System (TMRS) yang berfokus pada pengelolaan dana pensiun publik dan perusahaan pengelolaan dana pensiun California, CalPERS, yang mengelola dana sebesar 40 miliar dolar AS.
“Buat kami, investment ini tidak bisa main-main. Menjadi sangat-sangat penting dan sangat krusial. Jadi, kita mengambil orangnya itu yang untuk convince (meyakinkan) dia aja a lot of efforts (butuh usaha banyak),” terang Rosan.
Dengan pengalaman dari keenam tokoh tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, pun tak masalah jika kepengurusan Danantara sebagian dipegang oleh orang asing. Terlepas dari siapa pengurusnya, ia juga meyakinkan bahwa Danantara akan dikelola secara profesional oleh orang-orang yang profesional pula.
“Saking profesional, kredibelnya, Pak Prabowo saja tidak menitipkan orang satu pun. Itu dilakukan betul-betul secara profesional. Bahwa ada tokoh-tokoh (asing) yang menjadi bagian daripada kepengurusan, saya pikir itu tokoh-tokoh yang berintegritas, orang-orang yang profesional, yang sudah barang tentu punya reputasi, punya integritas, dan punya kemampuan,” jelas Bahlil, kepada awak media, di Kantor DPP Golkar, Jakarta Barat, Rabu (26/3/2025).
Polemik WNA
Kehadiran enam tokoh asing tersebut mendapat banyak sorotan dari masyarakat. Selain karena pengalaman dan prestasi mereka, beberapa tokoh juga dikenali karena kontroversi yang pernah mereka perbuat. Thaksin misalnya, dia dikenal memiliki catatan buruk dengan sederet kasus, mulai dari kasus kepemilikan saham Shin Corp, ketidakjujuran pengungkapan harta pejabat publik, korupsi, penyalahgunaan jabatan, penerapan extrajudicial killing kepada siapapun yang dituduh terlibat dalam kasus narkoba, hingga penghinaan Raja Thailand.
Tidak hanya itu, sepanjang jabatannya sebagai Perdana Menteri Thailand, Thaksin juga menghadapi banyak protes dari masyarakat, yang berujung pada kudeta militer pada 19 September 2006. Setelah itu, ayah dari Perdana Menteri Thailand saat ini, Paetongtarn Shinawatra, tersebut, kabur ke luar negeri. Namun, dalam periode buronnya tersebut upaya politik dinasti keluarga Shinawatra terus dilakukan, meski selalu berujung kegagalan.
“Thaksin, pengusaha yang jadi PM Thailand, yang dikenakan pasal transaksi benturan kepentingan, dan karena dia penyelenggara negara terkena pasal korupsi di negaranya. Ini soal jejak rekam, yang kata Rosan selaku CEO Danantara semua jejak rekam mumpuni sesuai kebutuhan Danantara,” kata ekonom Yanuar Rizky, saat dikonfirmasi Tirto, Rabu (26/3/2025).
Selain itu, dia juga menyoroti posisi Dalio dan Chapman sebagai pengurus Danantara. Menurut Yanuar, sebagai pengendali dan pendiri dari hedge fund global yang berkantor pusat di AS, keduanya sarat potensi konflik kepentingan. Dia khawatir, jabatan sebagai Dewan Penasihat, akses informasi keuangan terhadap seluruh perusahaan BUMN yang nantinya bakal masuk ke dalam kelolaan Danantara akan disalahgunakan untuk kepentingan hedge fund yang mereka kelola.
“Dan apa jaminannya tidak ada benturan kepentingan dengan usaha hedge fund dan nasabah di belakangnya dalam setiap aksi korporasi Danantara?” tambahnya.
Tidak hanya itu, posisi Dalio, Chapman, maupun pengurus lain di perusahaan hedge fund juga berpotensi memungkinkan terjadinya insider trading - praktik ilegal yang dilakukan dengan memanfaatkan informasi penting yang belum dipublikasikan untuk melakukan transaksi saham.
Dalam hal ini, para pengurus Danantara yang juga merupakan pemain saham aktif bakal mendapat suplai informasi penting terkait Danantara maupun perusahaan-perusahaan BUMN yang dikelolanya. Sehingga, jika para pengurus memanfaatkan informasi tersebut untuk memainkan saham yang mereka kelola, dapat berpotensi mengambil keuntungan secara abnormal atau dapat menghindari kerugian lebih awal.
“Kuncinya memang di sejauh mana Dewan Penasihat (dan pengurus lainnya) memiliki akses terhadap informasi yang detil dan sensitif soal aksi korporasi Danantara dalam mengelola aset BUMN,” jelas Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, saat dihubungi Tirto, Rabu (26/3/2025).
Namun, hal ini menjadi dilema bagi Danantara, karena sebagai pengurus, keenamnya akan mendapat suplai informasi secara penuh terkait aksi korporasi lembaga pengelola investasi tersebut. Potensi konflik kepentingan pun akan terus terjadi selama para pengurus aktif di perusahaan hedge fund yang mereka pegang.
“Selama dia aktif di perusahaan investasi lain, maka CoI (Conflict of Interest/konflik kepentingan) besar. Kecuali sudah tidak aktif, ya,” imbuh Bhima.
Pemilihan orang-orang seperti Thaksin, Dalio dan Chapman dinilai merupakan blunder terbesar yang dilakukan pemerintah dalam menentukan siapa saja yang bisa dan mampu mengurus Danantara. Dengan potensi konflik kepentingan terlalu besar, ekonom Yanuar Rizky pun sangsi Indonesia telah memiliki tradisi otoritas pasar keuangan dan investasi yang kuat.
Seharusnya, dalam membangun Danantara, pemerintah dapat berkiblat ke AS, dengan pelibatan Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat, United States Securities and Exchange Commission/US SEC. Lembaga tersebut sangat ketat dalam protokol, sehingga transaksi yang berbau benturan kepentingan akan sulit terjadi.
“Posisi orang dalam dan pemilik informasi orang dalam dan transaksi afiliasi, baik itu karena hubungan keluarga, usaha dan atau hubungan profesional (bisa dihindari). Deklarasi aksi korporasi yang berpotensi konflik kepentingan adalah mandatory di UU pasar modal negara manapun,” kata Yanuar.
Jika susunan pengurus Danantara terus seperti ini dan tak kunjung diperbaiki, khawatir investasi yang masuk ke dalam negeri tak seindah yang dibayangkan pemerintah. Bahkan, ketidakpercayaan (distrust) dari masyarakat akan membuat Danantara bak macan tanpa taring, selayaknya sovereign wealth fund Indonesia, Indonesia Investment Authority (INA) yang kini juga dilebur ke dalam Danantara.
“Sepertinya dalam jangka pendek belum (ada investasi yang masuk), ya. Kecuali komitmen atau MoU tanpa realisasi. Ini terlihat dari proyek pertama yang mau dibiayai Danantara adalah gasifikasi batu bara, di mana investor AS dan Cina sudah meninggalkan proyek itu,” tutur Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira.
Karenanya, untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Danantara, perlu diungkapkan apa saja proyek yang akan didanai Danantara. Dalam hal ini, ada baiknya jika Danantara menghindari proyek-proyek yang secara ekonomi tidak layak atau tidak berkelanjutan, seperti gasifikasi batu bara.
Selanjutnya, sebagai bentuk transparansi kepada masyarakat, laporan keuangan Danantara juga perlu dipublikasikan tiap kuartal dan bisa diakses oleh publik.
“PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) dan pengawas secara aktif melakukan investigasi apabila Ditemukan indikasi pelanggaran hukum, termasuk insider trading, korupsi, penghindaran pajak, dan pencucian uang,” tukas Bhima.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Farida Susanty