tirto.id - Beberapa waktu terakhir, berita tentang kejahatan yang melibatkan warga negara asing (WNA) di Bali terus naik ke permukaan. Telinga tidak asing lagi dengan kasus bentrok antara lima orang WNA asal Australia dengan sekuriti di Finns Beach Club pada 11 Februari 2025. Mohammed Rifai (27), WN Australia, harus memakai baju tahanan karena terbukti menganiaya sekuriti tempat hiburan malam tersebut hingga mengakibatkan luka berat.
Belum menghela napas lega karena kasus Finns Beach Club telah mencapai titik terang, seorang WN Mesir berinisial AMA viral di jagat maya karena tertangkap merusak kaca salon di Kerobokan, Kuta Utara, pada Minggu (23/02/2025). Dari keterangan Polres Badung, kejadian tersebut diakibatkan karena AMA hendak mencari ponselnya yang hilang melalui koordinat Google Maps.
Namun, ternyata koordinat tersebut tidak sesuai dan AMA diminta untuk pergi dari titik tersebut. Berselang beberapa menit, terdengar suara pecahan kaca yang berasal dari salon di dekat sana. Ketika korban menanyakan kepada AMA mengenai perbuatannya, yang bersangkutan marah-marah dan mencoba melarikan diri.
Kejadian yang lebih parah terjadi ketika tahun hampir berganti, yakni pada 15 Desember 2024. Saat itu, terjadi kasus penculikan dan perampokan terhadap seorang WN Ukraina bernama Igor Iermakov oleh komplotan bandit yang diduga secara mayoritas berasal dari Rusia. Mobil BMW yang berisikan Iermakov dan sopirnya dipepet dua mobil dari depan dan belakang.
Saat mobil berhenti, muncul orang-orang berpenutup wajah hitam dengan senjata lengkap, lalu memaksa Iermakov dan sopirnya pindah ke mobil komplotan tersebut. Keduanya dibawa ke sebuah vila di Kuta Selatan untuk disekap dan dipaksa transfer aset kripto senilai Rp3,4 miliar ke akun milik pelaku.
Kasus-kasus tersebut hanya sedikit dari banyaknya kasus kriminalitas WNA di Bali semenjak 2024. Diungkapnya kasus WNA silih berganti tentu mengakibatkan masyarakat banyak bertanya-tanya: ada apa gerangan di Pulau Dewata? Terlebih, seiring berjalannya waktu, kasus-kasus tersebut tampak lebih menyeramkan, masif, dan rumit.
Membuka catatan Polda Bali pada 2024, sekiranya 226 orang WNA ditangkap karena terlibat sebagai pelaku tindak pidana, baik umum, khusus, siber, dan narkoba. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan 2023 yang mencatat 194 orang WNA menjadi pelaku tindak pidana di wilayah hukum Polda Bali. Dari jumlah tersebut, WN Amerika Serikat yang paling banyak terlibat tindak pidana, yakni sebanyak 34 orang.
Peringkat kedua ditempati oleh WN Australia dengan 32 orang terjerat kasus pidana di Bali, lalu diikuti dengan WN Rusia sejumlah 28 orang, WN Inggris sebanyak 35 orang, dan Jerman dengan 12 orang. Namun, jumlah tersebut belum termasuk WNA yang ditangani oleh imigrasi, BNN Provinsi Bali, dan otoritas lainnya yang berada di Pulau Bali.
Imigrasi sendiri tidak tinggal diam akibat tingginya kejahatan WNA di Pulau Dewata. Kantor Imigrasi Kelas I TPI Denpasar sendiri telah menangani 138 kasus pelanggaran keimigrasian sepanjang 2024, meningkat signifikan dibandingkan 2023 yang berjumlah 104 kasus. Di antara kasus tersebut, sebanyak 15 di antaranya adalah kasus prostitusi online yang melibatkan WNA di wilayah hukum Imigrasi Kelas I TPI Denpasar.
Jumlah tersebut ditambah dengan kasus scamming (penipuan) sebanyak 6 kasus, serta mengganggu ketertiban umum, penganiayaan, hingga perampokan yang mencapai angka 51 kasus. Dari 138 kasus tersebut, paling banyak dilakukan oleh WNA yang berasal dari Rusia, Nigeria, dan Australia.
Baru-baru ini, Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi mencatat 360 orang WNA melanggar izin keimigrasian di Bali, dengan 63 di antaranya sudah dipulangkan ke negaranya, 111 orang akan dideportasi, sementara sisanya masih menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Jumlah ini diperoleh selama operasi keimigrasian Wira Waspada yang digelar sejak 14 Januari hingga 21 Februari 2025.
“Februari ini, masih ada 186 orang asing yang masih kami periksa karena mereka disponsori oleh 86 PMA bermasalah,” ucap Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Imigrasi Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Saffar Muhammad Godam, saat berada di area kedatangan Terminal Internasional Bandara I Gusti Ngurah Rai, Jumat (21/2/2025).
Kebanyakan di antara mereka dideportasi dengan alasan mendirikan usaha fiktif atau mencari pekerjaan di Pulau Dewata. Berbagai modus mereka lakukan agar tidak terpantau radar imigrasi, termasuk berpura-pura menjadi investor, tetapi berujung menyalahgunakan izin yang telah diberikan.
Timbulnya Noda Kejahatan di Surga Wisatawan
Peningkatan kriminalitas WNA di Bali rupanya meningkat selama dua tahun ke belakang, setelah Bali mulai membuka pintunya usai dihantam pandemi Covid-19. Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI), Adrianus Eliasta Meliala, mengatakan terdapat faktor pendorong dan faktor penarik yang membuat angka kriminalitas WNA di Bali meningkat.
“Yang datang ke Bali ini adalah bule-bule yang boleh dibilang sebagai low level dari segi status, sosial ekonomi. Kemudian dia membawa kebiasaannya saat ada di Bali, yang tidak mematuhi aturan dan ketentuan, hidup serampangan, mudah terlibat dalam perkelahian, mudah didorong dalam kejahatan,” terang Adrianus kepada Tirto, Kamis (27/2/2025).
Sementara itu, kata Adrianus, faktor penariknya adalah ruang yang diberikan oleh Pemda Bali kepada turis untuk menikmati dan menghabiskan uang di Bali dengan harapan turis-turis tersebut kembali lagi di masa mendatang. Terlebih, Bali cukup terpuruk pada saat pandemi, sehingga saat ini mencoba meraup dana lebih banyak dari geliat wisata pasca-pandemi.
“Analoginya dulu mereka (Bali) haus, sekarang waktunya mereka untuk mendapatkan dana lagi dengan tidak terlalu ketat, dengan memberikan semacam kelonggaran. Jadilah wisatawan menemukan Bali betul-betul sebagai surga dunianya yang berbuah pada peningkatan kejahatan dan penyimpangan,” jelasnya.
Tidak hanya kasus kejahatan yang diungkap oleh Polda Bali, Adrianus juga menggarisbawahi rupa-rupa penyimpangan yang turis-turis asing lakukan ketika bertandang ke Bali, seperti mabuk-mabukan, masuk ke tempat suci tanpa busana, hingga berteriak dan mengganggu ketertiban masyarakat setempat.
Sementara itu, Kriminolog dari Universitas Udayana (Unud), Gde Made Swardhana, menjelaskan bahwa jenis tindak kriminal yang dilakukan oleh pihak asing di Bali serupa dengan yang dilakukan pribumi, hanya saja terlihat lebih berat dan masif.
“Mereka melakukannya dengan kedok datang ke Bali sebagai wisatawan. Hal itu terjadi karena dapat dikatakan bahwa faktornya Bali itu aman. Orang berkunjung ke Bali dengan kapasitas sebagai tamu juga mudah. Datang ke sini untuk berwisata, setelah tiga atau empat bulan mereka sudah dapat melakukan hal-hal (berbagai tindakan),” ucap Swardhana saat dihubungi oleh Tirto, Rabu (26/2/2025).
Keamanan dan kemudahan akses di Bali lantas dimanfaatkan orang asing sebagai celah untuk melakukan tindak kriminal. Mereka dengan leluasa melenggang masuk dengan visa kunjungan (visa on arrival) atau visa investor, lalu membeli properti atau mengontrak hunian untuk melaksanakan kegiatan mereka. Tidak jarang, mereka juga memanfaatkan warga lokal sebagai tameng untuk melakukan kejahatan.
“Dibuat seolah-olah mereka baru pindah. Di malam hari, baru mereka bekerja. Pabrik-pabrik (narkotika) yang berkembang, orang tidak akan tahu. Perilaku orang asing ini, mereka memanfaatkan kelemahan dari WNI kita sendiri,” terang Swardhana.
Penyebab lainnya, menurut Swardhana, adalah WNA tersebut kehabisan atau terkendala dana ketika menetap di Bali. Dari kurangnya dana tersebut, mereka terdorong untuk melakukan tindak kriminal berupa perampokan, pencurian, atau bahkan pembunuhan. Belum lagi, hukuman yang saat ini dikenakan untuk WNA dinilai ringan dan cenderung bermuara deportasi semata.
“Tentu juga karena pengawasan kita yang kurang. Pengawasan secara informal dapat dilakukan oleh masyarakat setempat dengan aparat desa, kelurahan, atau pemerintah daerah lainnya. Secara formal, untuk orang asing, pengawasannya ada di tangan imigrasi. Imigrasilah yang seharusnya banyak melakukan pengawasan, dimulai secara administratif: apakah visanya itu kunjungan wisata, visa pelajar, atau visa-visa lainnya? Bisa dilihat dan diawasi,” bebernya.
Isu overtourism di Bali menjadi hal yang diangkat sebagai salah satu penyebab tingginya kriminalitas WNA oleh pakar sosiologi dari Universitas Udayana, Gede Kamajaya. Menurutnya, konsentrasi wisatawan di satu titik yang melebihi kapasitas membuat peluang munculnya tindakan tidak wajar menjadi lebih tinggi.
“Ini berkaitan juga dengan anonimisme atau euforia berlebih. Ketika berada di satu tempat baru, mereka akan menurunkan standar tindakan mereka dari lingkungan aslinya karena merasa tidak dikenali di wilayah yang mereka kunjungi,” kata Kamajaya kepada Tirto, Rabu (26/2/2025).
Akibat dari meningkatnya jumlah turis asing tersebut, ungkap Kamajaya, berdampak pada timbulnya konflik horizontal antara wisatawan dengan warga lokal. Wisatawan dengan visa on arrival cenderung mampu secara leluasa membuka usaha di Bali dengan harga jauh di bawah standar.
“Bisa berdampak kepada perkelahian dengan warga lokal yang sering kita dengar belakangan ini,” imbuhnya.
Masuknya Sindikat WNA ke Bali
Kasus yang dialami Igor Iernakov yang diculik dan dirampok oleh komplotan beranggotakan sembilan orang berkewarganegaraan Rusia, Ukraina, dan Kazakhstan, terus menjadi sorotan akibat masif dan terstrukturnya tindakan yang terjadi. Polda Bali telah berkoordinasi dengan Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri dan Organisasi Polisi Kriminalitas Internasional (Interpol) untuk mengendus kemungkinan orang-orang yang terlibat sindikat tersebut.
Belum lagi pada Mei 2024, diketahui terdapat sindikat narkotika jaringan Hydra yang beranggotakan WN Ukraina, di antaranya Ivan Volovod, Mykyta Volovod, dan Roman Nazareno, serta seorang WN Rusia bernama Konstantin Krutz. Sindikat narkotika tersebut memiliki sebuah clandestine lab (laboratorium narkoba rahasia) di basement sebuah vila yang terletak di Canggu, Kuta Utara.
Pintu masuk ke Pulau Dewata tidak membatasi jumlah turis asing yang masuk, sehingga terkadang WNA yang datang ke Bali dapat membawa komunitas atau paguyubannya. Menurut Adrianus, terdapat segmentasi turis asing yang membuat komunitas tersendiri dengan sesamanya yang ada di Bali. Komunitas ini lantas berkembang dan mencari compound (lokasi atau titik kumpul).
Komunitas orang asing yang makin besar ini dapat menimbulkan gangguan yang lantas memusingkan aparat penegak hukum itu sendiri. Lambat laun, komunitas tersebut dapat berkembang menjadi kejahatan kriminal terorganisasi yang sudah tidak lagi melakukan kejahatan lepas (kejahatan sehari-hari).
“Dengan begitu, mereka mulai melakukan kejahatan-kejahatan. Mulai dari yang bersifat kecil-kecilan, penipuan, pemalsuan, hingga penjualan narkotika dan money laundering. Makin naik kelas jenis kejahatannya, makin besar volumenya,” terang Adrianus.
Sebagai organisasi, menurut Adrianus, sindikat dapat membuat beraneka macam modus dengan berbagai skema. Tingkat terparahnya, para WNA tersebut dapat menciptakan dunia bawah tanah (underworld) serupa Mafia Rusia atau Yakuza Jepang. Dengan begitu, mereka bisa mulai bermain-main dengan aparat penegak hukum.
“Mereka dapat menyuap polisi, penegak hukum, atau Pemda agar membuat kebijakan yang pro dan kondusif terhadap mereka. Ini harus ditahan, dicegat, seharusnya dipotong grafik perkembangan (kejahatan WNA) itu,” katanya.
Dalam rangka mengatasi berkembangnya sindikat WNA yang ada di Bali, Adrianus menilai Polda Bali harus mulai berpikir secara strategis (strategic policing) ketimbang hanya berkutat dengan urusan keseharian (daily policing). Menurutnya, berkembangnya sindikat-sindikat yang ada di Bali merupakan buah dari belum strategisnya kepolisian setempat.
“Pemolisian yang strategis ini tentang sesuatu yang hari ini belum menjadi masalah, tetapi besok berpotensi jadi masalah. Kalau (kelompok WNA) itu jadi besar, makin susah ditanggulangi, sebagai suatu potensi yang bahkan menjadi gangguan keamaanan riil,” ucapnya.
Di sisi lain, Swardhana menilai, perlu diketahui niat jahat yang kemungkinan sudah terbit semenjak para WNA masih berada di negara asal. Dengan tabiat kurang baik di negara asal, para WNA tersebut dapat masuk ke Bali untuk membentuk sindikat, terlebih melihat kelemahan yang ada pada hukum di Indonesia.
“Seharusnya dilihat, apakah si A yang datang ke sini memiliki tabiat yang kurang baik, sehingga dia membentuk sindikat. Terhadap orang demikian (WNA) itu harus ada kerja sama dengan Interpol, sehingga memudahkan untuk memantau orang-orang asing,” tuturnya.
Memberantas Kejahatan WNA di Pulau Dewata
Aksi kriminalitas WNA di Bali sudah mendapatkan atensi khusus dari Dinas Pariwisata (Dispar) Provinsi Bali. Sebagai destinasi pariwisata dunia, tentu tingginya angka kriminalitas berpengaruh terhadap jumlah wisatawan yang hendak berlibur atau investor yang akan menanamkan modalnya di Bali. Namun, aksi kriminalitas tersebut cenderung berada di luar prediksi.
“Kami ingin wisatawan berkualitas, hormat terhadap budaya, dan lingkungan. Namun, kejadian-kejadian ini juga tidak hanya dilakukan oleh wisatawan, tetapi juga oleh lokal. Ini perlu dilakukan kerja sama dengan semua stakeholder, baik itu pariwisata maupun desa adat sehingga kita bisa mengurangi kejadian ini (kriminalitas WNA),” kata Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Tjokorda Bagus Pemayun, ketika dihubungi Tirto, Rabu (26/2/2025).
Dispar Bali sendiri telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2023 dan membentuk satuan tugas tata kelola pariwisata sebagai langkah antisipasi pelanggaran. Perwujudan dari surat edaran tersebut di lapangan adalah seperangkat do and don’t yang lantas disampaikan kepada konsulat perwakilan asing yang ada di Bali, stakeholder pariwisata, dan tempat-tempat wisata dengan frekuensi wisatawan tinggi, seperti Uluwatu, Kuta, dan Canggu.
“Dengan kejadian-kejadian tersebut, kami mengintensifkan lagi. Kami ingin mengecek lagi surat keputusan di Bali karena perlu beberapa pembaharuan. Namun, sudah kami sampaikan (do and don’t) ke semua yang ada di Bali, berupa flyer. Tahun ini kami berkolaborasi dengan BPD Bali, dengan stakeholders pariwisata untuk memasang baliho do and don’t ini,” jelasnya.
Pemayun juga berterima kasih kepada Polda Bali yang telah menangani sejumlah kasus kriminalitas WNA. Dua minggu sebelumnya, Polda bahkan telah mengundang para konsulat untuk berbincang mengenai perilaku warga negara asal mereka yang berada di Bali. Dispar juga mengingatkan konsulat-konsulat tersebut untuk menyosialisasikan do and don’t pariwisata Bali.
“Konsul Cina juga ke kantor saya. Kebetulan untuk audiensi dan diskusi, menyampaikan apriesiasi dengan Pemprov Bali dan Polda Bali, sudah melakukan langkah-langkah yang luar biasa,” imbuhnya.
Sementara itu, selain peringatan dan penegasan oleh Dispar, Swardhana menilai tindakan yang diambil aparat penegak hukum yang ada di Bali harus lebih tegas. Jika hanya deportasi semata, maka WNA cenderung merasa aman karena tidak ada sanksi yang menimbulkan efek jera atas perbuatan-perbuatan mereka.
“Kalau misalnya ada WNA yang berulah, harus masuk hukuman. Jangan langsung dideportasi. Kalau dideportasi itu, dampaknya mereka akan merasa aman saja. Di sini dihukum, hukumannya juga berat, mereka tidak mungkin akan kembali lagi sebagai efek jera dari perbuatan-perbuatan itu,” terang Swardhana.
Opini lain dikemukakan oleh Adrianus yang menyarankan strategi besar Pemda Bali diarahkan untuk meraup lebih banyak wisatawan berkualitas yang memiliki uang, cukup umur, dan punya status sosial jelas. Apabila wisatawan yang berkunjung ke Bali selalu dalam kategori low quality, maka memungkinkan terjadinya lebih banyak kejahatan dan penyimpangan.
“Apa enggak bisa kita menjadikan Bali seperti Mauritius? Mauritius itu surga dunia juga, hanya relatif lebih jarang didatangi karena mereka mengejar turis yang lebih tinggi kelasnya atau lebih kaya dibandingkan Bali,” bebernya.
Dari sisi sosiolog, Kamajaya menilai, solusi yang harus ditegakkan adalah evaluasi terhadap kebijakan keimigrasian, termasuk pemberian visa kunjungan (visa on arrival) atau izin tinggal sementara bagi wisatawan. Solusi ini dinilai sebagai salah satu jawaban untuk menanggulangi overtourism yang juga mendorong terjadinya aksi kriminal oleh WNA.
“Selama pariwisata hanya diposisikan atau dilihat sebagai industri, maka dampaknya akan terus berulang. Dari mass tourism yang penuh persoalan, lalu diganti ke sustainable tourism, kita bisa lihat dampaknya tidak kalah brutal. Akibatnya, sustainable hanyalah slogan,” kata Kamajaya.
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Abdul Aziz