tirto.id - Pemerintah memastikan bahwa Ujian Nasional (UN) diterapkan kembali dengan nama dan konsep yang berbeda, yaitu Tes Kompetensi Akademik (TKA). Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tengah menggodok konsep pelaksanaan TKA agar bisa bergulir segera.
Dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (26/2/2025), Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikdasmen, Toni Toharudin, menjelaskan bahwa penerapan TKA sudah diinisiasi. Berbeda dari UN, penerapan TKA sifatnya tak wajib. Ia pun bukan satu-satunya penilaian untuk menentukan kelulusan siswa.
TKA juga akan menjadi indikator untuk proses kenaikan jenjang pendidikan di tingkat SD dan SMP. Untuk jenjang SMA, hasil TKA akan menjadi salah satu pertimbangan penilaian dalam Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) jalur prestasi di perguruan tinggi negeri (PTN).
Namun, Toni lagi-lagi menegaskan bahwa TKA tidak memengaruhi kelulusan siswa. Kemendikdasmen berencana menerapkan TKA di jenjang SMA pada November tahun ini.
“Untuk pelaksanaan TKA SD dan SMP akan mulai dilakukan pada tahun depan,” kata Toni.
Dalam mengoksep pelaksanaan TKA jenjang SMA, Kemendikdasmen turut menggandeng Kemdiktisaintek. Kemendikdasmen, kata Toni, juga bersinergi dengan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri dalam membahas TKA sebagai indikator penilaian jalur prestasi.
Saat ini, TKA masih dalam proses pengkajian dan detailnya akan disampaikan secepatnya.
Dari UN ke ANBK ke TKA
Rencana penerapan kembali UN dalam bentuk baru sebetulnya sudah bergulir sejak Mendikdasmen, Abdul Mu’ti, dilantik pada Oktober tahun lalu. Mu’ti menyatakan bahwa pemerintah tengah mengaji penerapan kembali UN bagi satuan pendidikan dasar dan menengah yang sudah dihapus sejak 2021.
Opsi tersebut bahkan sudah dibicarakan bersama Komisi X DPR RI. Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menilai UN mampu membangkitkan semangat belajar siswa. Namun, Hetifah meminta pemerintah mengaji ulang perihal apakah nilai UN menjadi penentu kelulusan siswa atau tidak.
Usai UN dihapus oleh Mendikbud, Nadiem Makarim, pemerintah meluncurkan sistem Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK). Namun, ANBK berbeda dari UN karena tidak dilakukan di masa akhir sekolah dan tidak diikuti oleh seluruh siswa di sekolah.
ANBK terdiri atas tiga instrumen, yakni Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.
Peserta ANBK dipilih secara acak dari masing-masing satuan jenjang pendidikan oleh Kemendikbud. ANBK diselenggarakan terhadap siswa kelas 5 SD/MI, 8 SMP/MTs, dan 11 SMA/MA/SMK.
Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menyatakan bahwa pergantian nama UN menjadi TKA bukanlah persoalan. Menurutnya, yang jauh lebih penting adalah konsepnya.
Selama TKA tidak memengaruhi kelulusan siswa, maka tidak ada masalah berarti.
“Apa pun namanya, kami apresiasi kalau memang benar tidak menentukan kelulusan seperti UN sebelumnya,” kata Iman kepada wartawan Tirto, Rabu (26/2/2025).
Definisi tes yang digunakan UN termaktub dalam Pasal 57 Ayat 1 UU Sistem Pendidikan Nasional. Isinya soal evaluasi yang dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan nasional. Oleh karena itu, Iman mempertanyakan landasan apa yang digunakan untuk TKA kali ini.
Pasalnya, apabila TKA juga digunakan untuk mengendalikan mutu pendidikan, fungsi itu saat ini sudah ada pada ANBK. ANBK juga sudah digunakan untuk mengukur kompetensi siswa dan sekolah dengan metode sampling. Namun, apabila TKA akan menggantikan ANBK, ia diharapkan lebih inklusif dan tidak diskriminatif.
Iman meminta pemerintah menjelaskan konsep TKA secara lebih detail, terutama terkait mekanisme untuk indikator jalur prestasi masuk PTN. Pasalnya, hal itu membutuhkan sinergi yang matang antara Kemendikdasmen dan Kemdiktisaintek.
Iman pun tidak menyarankan hasil TKA menjadi salah satu indikator siswa masuk ke perguruan tinggi karena berpotensi timbul masalah baru dan celah kecurangan.
“Kalau TKA dijadikan salah satu indikator masuk PT, ini akan runyam sebetulnya. Koordinasi antara Kemdiktisaintek dan kemdidasmen juga harus selaras,” ucap Iman.
Masih Butuh Kajian Mendalam
Pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, mengapresiasi rencana pemerintah mengubah konsep UN menjadi TKA. Pasalnya, hasil uji kompetensi siswa yang valid, reliabel, adil, dan bermakna memang diperlukan secara faktual.
Edi menilai bahwa ujian kompetensi—apa pun namanya—penting untuk mengetahui progres belajar per individu siswa. Sayangnya, kredibilitas pelaksanaan ujian kompetensi selama ini dipertanyakan karena banyaknya kasus penggelembungan nilai oleh sekolah.
Maka sistem ujian atau asesmen kompetensi yang dikelola bukan oleh sekolah sangat diperlukan. Edi sepakat bahwa hasil TKA jangan dijadikan penentu kelulusan siswa. Selain itu, Kemendikdasmen perlu menyosialisasikan secara utuh dan jelas konsep TKA yang bersifat tidak wajib dan menjadi indikator masuk perguruan tinggi jalur prestasi.
“Jelas diperlukan adalah bukan sekadar ganti istilah saja, tapi juga ganti perspektif lebih melayani keragaman, keadilan, dan kebermaknaan bagi siswa,” ungkap Edi kepada wartawan Tirto, Rabu.
Tak ditampik, setiap model ujian sebetulnya selalu punya potensi kecurangan. Meski begitu, Edi yakin kecurangan bisa dicegah asalkan penyelenggara ujian kompetensi bersikap profesional dan menjunjung tinggi integritas.
Hal itu adalah pekerjaan berat bagi penyelenggara, terutama bila penyelenggaraannya melibatkan guru, sekolah, dan pemerintah. Sebab, berkaca dari pelaksanaan UN dahulu, sekolah bahkan rela membentuk tim untuk memastikan siswanya seratus persen lulus.
Sementara itu, pemerintah daerah butuh citra baik keberhasilan dalam bidang pendidikan. Angka kelulusan memang menjadi taruhan serta ukuran keberhasilan pemerintah. Faktor-faktor itu menjadi tekanan politis dan psikis yang akhirnya menjebak guru dan sekolah melakukan kecurangan, walaupun tentu saja tidak semua sekolah bisa disetir seperti itu.
Kelulusan siswa melalui UN juga dipandang sebagai keberhasilan guru. Secara psikis tidak ada guru yang mau dilabeli gagal dalam mendidik murid. Karena itulah, independensi, profesionalitas, dan integritas amat penting dijunjung dalam penyelenggaraan TKA.
“Lebih baik, kalau menurut saya, TKA diselenggarakan oleh lembaga yang lebih independen sehingga minim potensi konflik kepentingan. Selain tentu saja ketika TKA tidak menentukan kelulusan,” jelas Edi.
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai bahwa informasi soal TKA masih sangat minim diungkap oleh pemerintah. Padahal, pulik harus lebih dulu memahami tujuan dan manfaat TKA.
JPPI ingin perumusan kebijakan TKA dilakukan secara transparans dan melibatkan publik. Jangan sampai masyarakat memperdebatkan soal pelaksanaan, tapi masih buta soal manfaatnya.
“Kalau hanya untuk penilaian, tidak wajib ke semua murid, dan tidak untuk mengukur kelulusan, kan ini sama dengan AN [asesmen nasional]. Kenapa tidak memperkuat saja sudah ada atau AN dihapus? atau sekarang ada dua penilaian?” ungkap Ubaid kepada wartawan Tirto, Rabu.
Menurut Ubaid, efektivitas TKA akan bergantung pada desain dan pelaksanaannya. Jika dirancang dengan baik, TKA berpotensi menjadi metode mengukur kemampuan siswa yang lebih komprehensif dibandingkan yang sebelumnya.
Terlepas dari hal itu, Ubaid menilai usulan diadakannya TKA menunjukkan ada masalah serius dalam tata kelola pendidikan Indonesia. TKA adalah bukti bahwa pemerintah tidak percaya dengan sistem penilaian yang dibuat oleh sekolah.
Padahal, institusi sekolah sudah mengadakan berbagai macam ujian kompetensi. Di antaranya ulangan harian, penilaian siswa bulanan, tengah semester, akhir semester, dan lain sebagainya.
Hasil-hasil dari ragam ujian itu, menurut Ubaid, bisa menjadi ukuran penilaian siswa.
Jika pemerintah tidak percaya pada sistem penilaian yang dilakukan sekolah, publik bisa saja kehilangan kepercayaan terhadap sistem pendidikan secara keseluruhan. Siswa pun merasa bahwa usaha mereka dalam mengikuti ujian harian dan lainya menjadi tidak berguna.
Selain itu, akan muncul demosi dan degradasi peran bagi guru. Jika hasil penilaian guru di sekolah tidak dianggap penting, itu bisa menurunkan motivasi dan profesionalisme guru. Guru mungkin merasa bahwa upaya mereka melakukan penilaian siswa tidak dihargai.
Terlebih, hal ini berpotensi terhadap hilangnya fungsi formatif penilaian. Iman menilai bahwa penyepelean ujian yang dibuat oleh sekolah akan memperparah kesenjangan dan ketidakadilan. Jika TKA menjadi penentu juga dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri, dia khawatir bahwa siswa dari sekolah dengan kualitas penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik akan memiliki keuntungan yang lebih besar.
“Hal ini dapat memperlebar kesenjangan pendidikan antardaerah,” terang Ubaid.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi