tirto.id - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, berencana menerapkan wajib militer (wamil) bagi pelajar yang tertangkap karena terlibat geng motor atau perkelahian. Tak hanya itu, wamil juga bakal dia masukkan ke dalam kurikulum SMA/SMK.
Dedi beralasan bahwa wamil tersebut untuk menumbuhkan karakter bela negara dalam diri pelajar itu.
“Rencananya mereka yang tertangkap karena balapan liar di jalan, kemudian terlibat geng motor, perkelahian antarpemuda, antarsiswa, kami akan masukkan wajib militer. Dan saya berencana memasukkan kurikulum wamil untuk SMA untuk pembentukan karakter bela negara,” tutur Dedi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (20/2/2025) pekan lalu.
Dedi menyebut bahwa wamil tersebut akan dilaksanakan dengan bekerja sama dengan Kodam III/Siliwangi dan Polda Jabar.
Selain wamil bagi siswa SMA/SMK bermasalah, Dedi melarang kegiatan study tour keluar Jabar dan segala bentuk kegiatan yang mengeluarkan biaya tinggi, seperti acara perpisahan dan wisuda, yang memberatkan orang tua siswa.
Menurutnya, selah satu sebab yang membuat angka pinjol di Tanah Pasundan tinggi adalah biaya dan pungutan dari sekolah.
“Tidak semua orang tua mampu membayar study tour atau kunjungan industri. Jangan sampai orang tua berutang ke bank emok atau pinjol,” tutur Dedi.
Dedi menegaskan agar acara kelulusan atau perpisahan sekolah dilakukan secara kreatif oleh siswa melalui OSIS tanpa campur tangan pihak guru dan sekolah. Iuran diperbolehkan, tetapi harus diinisiasi serta dikelola oleh siswa.
“Tidak perlu mendramatisasi serta komentar aneh-aneh,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Jabar, Ono Surono, mengatakan bahwa Pemprov Jabar sebaiknya melakukan pencegahan kenakalan remaja dengan kurikulum budaya dan agama sebelum mengambil pendekatan represif dengan wamil. Hal itu pun sudah tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 69 Tahun 2013.
“Saya setuju gagasan Kang Demul, tapi saya lebih menekankan bagaimana pendidikan agama dan pendidikanbudaya sebagai upaya membentuk anak-anak muda di Jawa Barat yang sesuai dengan akhlaqulkarimah dan juga dengan budaya Sunda,” kata Ono dikutip dari unggahan Instagramnya, Kamis (27/2/2025).
Bangun Kesadaran Kritis, Bukan Militerisme
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengatakan bahwa pendidikan dengan pendekatan militer tidak menunjukkan hasil yang lebih baik. Menurutnya, pendekatan militer justru membawa ke arah sebaliknya.
"Jadi, tidak ada bukti nyata bahwa pendidikan militer itu berdampak baik terhadap perubahan perilaku. Apalagi, kita punya trauma militerisme dan ototarianisme," kata Ubaid saat dihubungi kontributor Tirto, Kamis (27/2/2025).
Ubaid menjelaskan bahwa pendekatan kesadaran kritis melalui dialog yang konstruktif justru lebih tepat untuk membangun kedisiplinan dan karakter pelajar.
"[Pelajar] tidak tawuran itu bukan karena takut masuk penjara, tapi dia sadar itu merugikan. Kalau cara militerisme itu, dia disiplin, tapi kedisiplinannya itu karena ada sanksi atau karena ada tekanan," beber Ubaid.
Dengan pendekatan kesadaran kritis, sikap cinta Tanah Air atau patriotisme yang tumbuh tidak sekadar jargon semata. Pelajar pun jadi lebih mengerti penerapan etika dan moral dalam Pancasila.
Ubaid menilai bahwa pemerintah daerah seharusnya mengikuti kebijakan pendidikan yang telah disusun pemerintah pusat. Itu mencakup peta jalan pendidikan Indonesia terkait literasi, sains, sampai peningkatan karakter.
"Kalau daerah punya inisiatif sendiri yang melenceng dari peta pemerintah pusat, jadi bahaya. Secara birokrasi begitu. Secara filosofis dan tujuan, tidak ada relevansinya itu [wajib militer]," imbuh Ubaid.
Sementara itu, pengamat kebijakan pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan, mengatakan bahwa rencana Dedi Mulyadi menerapkan wamil membutuhkan persyaratan khusus. Lagi pula, kewenangan menerapkan wamil untuk siswa SMA/SMK seharusnya ada di tangan pemerintah pusat, bukan pemda.
Sebelum ide menerapkan wamil itu terlontar pun, kata Cecep, sebenarnya sudah ada pendidikan bela negara yang bertujuan meningkatkan patriotisme, nasionalisme, dan bela Tanah Air.
“Dilatih tentang kemampuan bela negara dari sisi fisik, mental, spiritual sehingga menjadi anak yang tangguh, kuat, dan disiplin. Nah, itu kurikulum sudah ada di Kementerian Pertahanan. Di situ, ada kaitan dengan tugas tentang bela negara,” ujar Cecep saat dihubungi kontributor Tirto, Rabu (26/02/2025).
Cecep menambahkan bahwa konsep bela negara di Indonesia berbeda dengan konsep wamil di negara-negara lain. Membela negara bisa dilakukan dengan menjadi siswa yang baik, disiplin, serta bertanggung jawab.
“Memang pendekatannya bukan ke situ [wajib militer]. Kita yang tepat bukan wajib militer, tapi pendidikan pendahuluan bela negara,” bebernya.
Menurut Cecep, pendekatan disiplin dalam pendidikan bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Jadi, tidak hanya dengan pendekatan militer.
Guru besar UPI itu juga menjelaskan bahwa menangani masalah kenakalan remaja atau pelajar juga harus melihat gambaran besarnya, bukan hanya membenahi kasus per kasus. Pembenahan harus dilakukan secara komprehensif melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD).
“Ya dibenahi di situ, termasuk penganggaran. Sehingga, pendekatannya lebih komprehensif, tetapi harus segera ditindaklanjuti semacam blueprint di Jawa Barat,” tutur Cecep.
Cecep juga mengingatkan bahwa Pemprov Jabar masih punya segudang persoalan krusial di bidang pendidikan. Di antaranya yang butuh pembenahan segera adalah masalah disparitas kualitas sekolah, tingkat partisipasi pendidikan—terutama dari jenjang SMA ke perguruan tinggi, dan akses pendidikan bagi kelompok rentan.
Kontributor Tirto juga mencoba menghubungi Dinas Pendidikan Jabar pada Rabu (26/02/2025) untuk menggali perihal rencana wamil untuk pelajar SMA/SMK yang dilontarkan Dedi Mulyadi. Namun, sampai berita ini diturunkan, Disdik Jabar tidak kunjung membalas pesan kontributor Tirto.
Penulis: Akmal Firmansyah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi