Menuju konten utama

Catatan Kelam Pengelolaan Hutan Lindung di Jawa Barat

Kerusakan hutan di Jawa Barat secara keseluruhan akibat dari berbagai aspek pengelolaan.

Catatan Kelam Pengelolaan Hutan Lindung di Jawa Barat
Alih fungsi hutan untuk pembangunan jalan.

tirto.id - Pengelolaan hutan lindung di Jawa Barat dinilai gagal dikelola oleh negara. Pasalnya, jumlah luasan hutan lindung yang ada di provinsi ini terus menyusut akibat alih fungsi lahan. Dampaknya kerusakan dan kehilangan hutan berkontribusi pada bencana alam yang tiada henti di wilayah Jawa Barat.

Berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor 105 Tahun 2018, hutan lindung adalah hutan yang berfungsi melindungi sistem penyangga kehidupan, salah satunya untuk mengatur tata air dan mencegah bencana banjir. Namun, luas hutan lindung di Jawa Barat menyusut dalam beberapa tahun terakhir.

Mengutip laporan Provinsi Jawa Barat Dalam Angka, pada 2016 Jawa Barat masih memiliki hutan lindung seluas 271 ribu hektare. Setelah itu luasnya berfluktuasi hingga tersisa 230 ribu hektare pada 2024. Secara kumulatif, selama periode 2016-2024 luas hutan lindung di Jawa Barat sudah berkurang sekitar 41 ribu hektare.

Sementara Kementerian Lingkungan Hidup mencatat bahwa 1,2 juta hektare hutan lindung khususnya di kawasan Puncak, Jawa Barat, terbabat sebagai akibat alih fungsi lahan yang masif. Akibatnya, tata ruang kawasan tersebut banyak yang berubah.

“Kita kehilangan 1,2 juta hektare kawasan lindung. Itu sangat berarti. Jadi, agak riskan itu,” kata Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, dalam kunjungan kerjanya ke Posko Penanganan Sampah Laut, Badung, Bali, Sabtu (12/04/2025).

Menteri LH berikan arahan kepada pelaku usaha

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyampaikan arahan kepada pelaku usaha kawasan industri Sejabodetabek dan Karawang di Jakarta, Kamis (10/4/2025). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/Spt.

Pemerintah memang sebelumnya sudah menyegel empat tempat di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, yang melanggar alih fungsi lahan. Empat kawasan yang disegel terdiri atas Pabrik Teh PT Perusahaan Perkebunan Sumber Sari Bumi Pakuan (PPSSBP); PT Jaswita Jabar atau Hibisc Fantasy; bangunan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Regional 2 Agro Wisata Gunung Mas; dan Eiger Adventure Land.

Berdasarkan kajian oleh pihak kementerian, empat bangunan tersebut telah berkontribusi menyebabkan banjir dengan kerugian material yang cukup besar dan korban jiwa. Upaya penyegelan tersebut akan terus berlanjut di sepanjang DAS Ciliwung, mulai dari kawasan hulu di Puncak hingga hilir di wilayah Jakarta.

DAS yang ada di sekitar kawasan tersebut meliputi DAS Bekasi yang mengalir ke arah Kota Bekasi; DAS Ciliwung yang berhulu di kawasan Cisarua dan mengalir ke arah utara menuju Jakarta; DAS Pesanggrahan yang berhulu di sekitar perbukitan Puncak dan mengalir ke arah selatan Jakarta; DAS Cicatih yang menuju Kabupaten Sukabumi di selatan; DAS Cimandiri yang berada di barat daya Puncak; dan DAS Citarum yang hulunya berada di daerah Gunung Wayang.

“Ada enam DAS yang kemudian bertanggung jawab terkait dengan ekosistem di bawahnya, yang jumlahnya hampir 30,4 juta orang. Itu semua DAS besar-besar yang di bawahnya ada penduduk cukup banyak. Itu yang kemudian harus kita kembalikan fungsinya,” tegas Hanif.

Pelanggaran HAM & Potensi Pidana

Deputi Direktur Human Rights Working Group (HRWG), Daniel Awigra, melihat bahwa pembabatan 1,2 juta hektare hutan lindung di Kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat akibat alih fungsi lahan masif bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga pelanggaran serius terhadap hukum dan hak asasi manusia (HAM). Pasal 28H UUD 1945, menjamin hak setiap warga untuk hidup sejahtera dan mendapatkan lingkungan yang sehat.

Alih fungsi hutan lindung di Puncak, Jawa Barat, kata dia, telah mengakibatkan banjir, kerusakan ekosistem, dan ancaman bagi 30,4 juta orang yang bergantung pada enam daerah aliran sungai. Terlebih lagi, pada awal Maret 2025, banjir sempat merendam wilayah Jabodetabek yang disebut menjadi terparah untuk sebagian daerah.

“Perubahan tata ruang ini secara langsung merusak daya dukung lingkungan, yang merupakan fondasi hak hidup dan kesehatan masyarakat dan mengancam ketahanan pangan,” ujarnya kepada Tirto, Minggu (20/4/2025).

Dia menambahkan, alih fungsi lahan untuk proyek wisata dan infrastruktur telah merampas hak-hak agraria masyarakat lokal, termasuk petani dan komunitas adat. Pembangunan ini sering kali dilakukan tanpa partisipasi publik yang bermakna, melanggar prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam hukum HAM internasional.

Maka tidak heran, kata dia, penyegelan empat lokasi di Puncak oleh pemerintah sebelumnya, menunjukkan bahwa pelanggaran telah terjadi bertahun-tahun tanpa penindakan tegas. Lemahnya pengawasan dan koordinasi antar instansi memperparah kerusakan, sementara korporasi yang melanggar jarang dihukum secara proporsional.

“Ini mencerminkan ketidaksetaraan akses keadilan bagi korban lingkungan,” kata dia.

Kasus alih fungsi hutan lindung di Jawa Barat ini, lanjut dia, adalah cerminan dari paradigma pembangunan yang mengorbankan HAM dan lingkungan. Negara harus mengutamakan prinsip keadilan ekologis. Maka harus memastikan pembangunan inklusif yang menghormati hak-hak masyarakat marginal.

“Tanpa itu, kerusakan lingkungan akan terus menjadi krisis HAM yang sistematis,” pungkas dia.

Ilustrasi Kerusakan Hutan

Ilustrasi Kerusakan Hutan

Lebih jauh, Direktur Eksekutif Wahan Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat, Wahyudin Iwang, melihat bahwa kerusakan hutan di Jawa Barat secara keseluruhan akibat dari berbagai aspek pengelolaan. Salah satunya penyusutan tutupan lahan (Tuplah) hampir di semua di bawah pengelolaan kawasan rusak.

Menurutnya yang paling tertinggi kerusakan hutan berada di kawasan Perhutani baik di kawasan lindung serta kawasan produksi. Kerusakan tersebut lebih banyak didominasi oleh kegiatan tambang. Peringkat kedua yaitu di bawah pengelolaan PTPN II Regional I, hampir di 13 kabupaten/Kota Jawa Barat beralih fungsi untuk kegiatan Wisata.

Ketiga kerusakan ada di bawah pengelolaan Berita Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSD) yang seringkali menurunkan status dari hutan konservasi dan hutan Cagar Alam menjadi Taman Wisata Alam (TWA). Belum lagi pengurusan status di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrwngo (TNGP), Taman Nasional Gunung Cermai (TNGC) untuk kepentingan geotermal dan wisata makin marak juga tahun-tahun ini.

“Sehingga tidak heran angka lahan kritis yang disebabkan oleh kegiatan tersebut tidak pernah terjawab oleh pemerintah, bahkan degradasi yang terjadi dan mengusutnya tutupan lahan berdampak terhadap krisis iklim dan bermuara terjadinya bencana dimana-mana,” kata dia kepada Tirto, Minggu (20/4/2025).

Dalam konteks ini, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, melihat ada potensi pidana yang besar, terutama jika ditemukan beberapa unsur-unsur. Pertama terbukti lelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang melarang alih fungsi kawasan hutan lindung tanpa prosedur resmi yang ketat.

Kedua terbukti adanya pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mewajibkan adanya kajian lingkungan (AMDAL) sebelum alih fungsi lahan dilakukan. Serta adanya dugaan praktik korupsi atau penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin, yang dapat dikenakan sanksi sesuai UU Tindak Pidana Korupsi.

“Penegak hukum harus aktif menelusuri izin-izin yang dikeluarkan, transparansi dokumen perizinan, serta potensi pelanggaran hukum yang mungkin terjadi di balik proses alih fungsi lahan ini,” jelas dia kepada Tirto, Minggu (20/4/2025).

Langkah yang Harus Diambil Dedi Mulyadi

Maka, lanjut Iqbal, Dedi Mulyadi selaku Gubernur Jawa Barat yang telah menunjukkan perhatian terhadap isu ini sedari awal, harus mengambil langkah strategis. Pertama, Dedi Mulyadi harus mendorong transparansi proses pemberian izin alih fungsi lahan dan meminta audit lingkungan terhadap kasus ini.

“Menuntut investigasi mendalam oleh pihak berwenang terhadap dugaan pelanggaran pidana maupun administratif terkait alih fungsi lahan,” kata dia.

Selain itu, Dedi juga perlu mendorong kebijakan moratorium pemberian izin baru di kawasan hutan lindung sampai evaluasi menyeluruh dilakukan. Serta membangun aliansi dengan masyarakat sipil dan kelompok lingkungan untuk menekan pemerintah agar memprioritaskan konservasi dan rehabilitasi kawasan hutan lindung.

Dedi juga perlu memanfaatkan kewenangan politiknya untuk mendorong kebijakan penguatan tata kelola lingkungan hidup dan mendorong implementasi solusi jangka panjang. “Kami akan terus mendorong semua pihak agar melakukan langkah nyata demi menjaga kelestarian hutan demi generasi mendatang,” pungkas dia.

Sementara itu, Walhi Jawa Barat mendorong lima poin penting sebagai prioritas utama untuk menjaga kelestarian lingkungan serta menegakkan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi.

Ilustrasi Hutan Tropis di Indonesia

Ilustrasi Hutan Tropis di Indonesia. FOTO/iStockphoto

Pertama, Gubernur diminta untuk mengevaluasi seluruh izin Kerja Sama Operasi (KSO) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang berada di bawah pengelolaan Perhutani dan sektor perkebunan. Evaluasi ini dinilai krusial untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Kedua, disarankan agar penerbitan izin baru dihentikan sementara waktu. Moratorium atas seluruh izin di kawasan hutan Jawa Barat dianggap penting demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah.

Ketiga, pemerintah daerah diharapkan menindak tegas para pelaku usaha yang tidak mematuhi izin yang diberikan serta mengabaikan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat berdampak serius terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat sekitar.

Selanjutnya, Gubernur Jawa Barat juga diminta untuk membongkar seluruh aktivitas pertambangan ilegal. Kegiatan tambang yang tidak memiliki izin resmi menjadi ancaman besar bagi kelestarian lingkungan dan keselamatan warga.

Terakhir, bangunan properti dan kawasan wisata yang tidak sesuai peruntukannya pun menjadi sorotan. Penertiban dan pembongkaran terhadap bangunan-bangunan yang melanggar tata ruang dianggap sebagai langkah penting dalam penataan kembali wilayah Jawa Barat.

Langkah-langkah ini, dinilai sebagai bentuk komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan serta penegakan hukum yang berkeadilan di tengah maraknya alih fungsi lahan dan eksploitasi alam di Jawa Barat.

Dalam upaya mencegah terjadinya alih fungsi lahan, Dedi Mulyadi sebelumnya sudah mengeluarkan Peraturan Gubernur atau Pergub yang melarang alih fungsi lahan di seluruh Provinsi Jawa Barat dalam rangka mencegah banjir dan menjaga swasembada pangan. Pergub ini, akan mempengaruhi seluruh regulasi Provinsi Jawa Barat dan nantinya seluruh areal ini akan berdampak pada peningkatan produktivitas tangan. Lewat Pergub ini, Pemerintah Provinsi Jawa Barat berupaya mengembalikan fungsi sungai, fungsi danau atau situ, dan juga mengembalikan fungsi rawa-rawa sebagaimana mestinya.

Baca juga artikel terkait HUTAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang